Jumat, 16 Mei 2008

TULISAN

Antara nilai dan 75 %
sebuah refleksi dan kegelisahan)

Oleh : Khirzul Muhammad*

Keteraturan merupakan suatu hal yang diidamkan setiap manusia. Untuk mencapainya berbagai macam cara dilakukan, misalnya mempresser psikis mahasiswa demi mencapai target yang ditetapkan yakni 75%. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pihak birokrasi baru-baru ini. Konon, kebijakan itu diberlakukan untuk mendisiplinkan mahasiswa dan mengejar sasaran mutu dengan lulus tepat waktu sesuai ketentuan yang ditargetkan yaitu minimal 80%. Namun, kebijakan itu sudah terlanjur diterapkan bagi mahasiswa. Apa jangan-jangan kebijakan ini hanya untuk menenangkan atau bahasa yang lebih sesuai membungkam lesu kreatifitas serta jam terbang mahasiswa yang katanya dieluh-eluhkan sebagai agent of sosial change. Kadang kebijakan semacam ini dianggap sebagai upaya yang bagus juga biasa oleh sekelompok mahasiswa dan segenap staf pengajar. Tekanan 75% yang terus menghantui mahasiswa tak terbendung bak air bah yang mengguyur Jakarta beberapa waktu lalu. Hasilnya bisa dilihat, budaya titip absen yang menjadi sebuah bentuk implikasi kabijakan tersebut yang mungkin bisa dianggap mencengangkan terjadi di civitas akademika. Parahnya lagi, fenomena semacam ini bahkan sudah menjadi rutinitas yang dianggap biasa dari sebuah ketakutan-ketakutan mahasiswa sebagai syarat nantinya ketika harus mengikuti UAS. Banyaknya mahasiswa yang melakukan hal itu mengindikasikan bahwa kebijakan 75% yang belum tepat diterapkan dalam kontek mahasiswa yang seharusnya ia jauh terbang dan berinteraksi langsung dengan kehidupan sosial, lebih-lebih FisHum yang katanya sebagai jargon serta pelopor perubahan sosial yang konstruktif dan edukatif harus merelakan banyak waktunya untuk bersinggungan langsung dengan masyarakat.
Perlu adanya kontemplasi mendalam kiranya, bahwa tanggungjawab yang diemban mahasiswa bukan sekedar dalam ranah akademik yang terus menerus membentuk mainstream mahasiswanya tunduk dan patuh dan terkesan taken of granted. Tanggungjawab yang semestinya berada pada hal-ihwal sosial menjadi terabaikan. Sikap apatis dan masabodo yang pada akhirnya harus menjadi kontemplasi ulang mahasiswa secara keseluruhan. Namun, hal semacam ini sudah terlanjur mengeras, membeku dalam relung-relung otak mahasiswa. Ketika ia diwisuda ia baru sadar bahwa tugas mahasiswa tidak hanya berkutat di akademik saja, melainkan tugas sosial yang nantinya akan bersinggungan langsung dengan hidupnya. Anehnya lagi, hal seperti itu baru disadari hampir semua mahasiswa ketika ia sudah wisuda, itu pun yang sadar dan berpikir ulang. Pasalnya, dulu ia kuliah hanya berputar pada nilai yang harus dikejar. Katanya sih, biar nanti kalau lulus mudah dapat pekerjaan karena nilai IPKnya bagus atau kumlout. Hal ini pun dibenarkan, “kalau kalian disini (ruangan ini) kuliah itu cuma cari nilai saja, kalau mau cari ilmu di Perpus sana, pada umumnya kan seperti itu” cetus dosen FisHum waktu mengajar Sosiologi 07.
Dulu, mahasiswa tidak masuk kuliah karena ia mengikuti seminar atau hal-hal lain yang bisa dianggap sebagai pengganti kuliah. Berbeda dengan sekarang mahasiswa tidak masuk kuliah karena ia tidur-tiduran di kos/kontrakan atau keluyuran dan terkesan kalu pun toh kuliah hanya sebatas kuliah-kos kuliah kos. cenderung lebih


* Penulis adalah Mahasiswa angkatan 2007 Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora yang sekarang aktif di PMII sebagai Wakil Sekretaris Jendral "Humaniora Park" RaFak Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar: