Kamis, 22 Mei 2008

SISTEM SOSIAL INDONESIA; DAMPAK INDUSTRIALISASI

DAMPAK INDUSTRIALISASI; HASRAT PETANI DAN NELAYAN

I. PENDAHULUAN

Industrialisasi merupakan bentuk kecil dari modernitas akibat dari dinamika dunia. Bagaiamana tidak, Indonesia yang dulu kokoh dan kuat dalam hal pangan berdasar atas sistem agraria dan laut yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok kerja warganya bergeser, beralih pada pekerja buruh pabrik dan TKI. Sampai saat ini pun buruh dan TKI belum jelas nasibnya dan pemerintah terkesan tutup mata. Hal itu didasari atas maraknya protes dan tuntutan demonstran 1 Mei 2008 (May Day) kemarin. Mereka hanya ingin hasil kerjanya pada kaum-kaum borjuis dianggap, dihargai sepantasnya demi sejahteranya seluruh buruh di negeri ini.
Dampak industrialisasi menyebabkan tuntutan kehidupan yang lebih tinggi dalam proses mempertahankan hidup. Jelas nantinya menggeser sedikit, banyak daya nalar dan berpikir masyarakat. Masyarakat yang dulu nyaman dengan bertani dan nelayan (melaut) sebagai pekerjaan pokok kadang harus rela melihat generasinya (anaknya) ogah mengikuti jejak langkahnya. Takut hitam, iming-iming kota besar dengan bebagai macam fasilitas industri, gaji yang agak lumayan besar. Akibatnya, fakumnya pertanian dan nelayan yang menjadi sumber pokok indonesia (agraria dan bahari) harus merelakan pemudanya bersimpuh lutut pada kaum-kaum borjuis yang terus dengan angkuhnya memeras tenaga.
Imbasnya Indonesia menjadi pemasok TKI paling besar, Malaysia, Arab Saudi, Brunei dan lain-lain. Data para TKI, diperkirakan tiga juta TKI bekerja di luar negeri lihat data di Depnakertrans Tahun 2002, ke seluruh dunia dikirimkan 480.393 orang TKI (116.779 laki-laki dan 363.614 wanita). Dari jumlah itu, yang ke negara-negara Timur Tengah 50 persennya ialah 241.961 orang (18.771 laki-laki dan 223.190 wanita). Negara-negara Timur Tengah yang paling banyak menerima TKI adalah Arab Saudi 213.603 (18.256 laki-laki dan 195.347 wanita), Uni Emirat Arab 7.7776 (332 laki-laki dan 7447 wanita), Kuwait 16.418 (37 laki-laki dan 16.381 wanita). TKW ke Timur Tengah itu adalah PRT. Di luar PRT, seperti perawat, sedikit sekali jumlahnya. Negara di luar Timur Tengah yang menerima banyak TKW ialah Singapura 16.071 orang (80 laki-laki dan 15.991 wanita) dan Malaysia 152.680 orang (wanita 65.114 orang dan 87.566 laki-laki). Tidak cukup disitu, hingga akhir September 2006, jumlah TKI yang bekerja di Korsel sebanyak 28.693 orang. Jumlah itu terdiri atas 141 TKI program penanaman modal asing, 5.360 program G to G, 2.510 TKI pelaut, dan 20.682 TKI program Korea Federation of Small and Medium Business/KFSB. (suarapembaruan.com).
Data di atas menjadi bukti betapa besar paralihan daya nalar dan pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Toh nyatanya, berbagi macam kasus terjadi seperti pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan [Institute for Migrant Workers (IWORK) mencatat 45 buruh migran Indonesia (BMI) meninggal dunia di berbagai negara sepanjang bulan Januari-April 2008]. Hal ini mengindikasikan perlindungan terhadap buruh masih sangat kurang (suaramerdeka.com).

II. PEMBAHASAN

A. Kerangka Teori

a. Teori Konflik
Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial serta melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Teoritisi konflik apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas dan menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Masyarakat disatukan oleh ”ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
Sosiologi Marx (1818-1883) tentang konflik didasarkan atas dua asumsi pokok: Pertama, ia memandang kegiatan-kegiatan ekonomi sebagai faktor-penentu utama semua kegiatan kemasyarakatan. Kedua, ia melihat masyarakat manusia terutama dari sudut konflk di sepanjang sejarah. Menurut Marx, motif-motif ekonomi dalam masyarakat mendominasi semua struktur lainnya. Ia menganggap cara produksi (mode of production) di sepanjang sejarah manusia secara sedemikian rupa, sehingga sampai-sampai ia berpandangan sebagian besar sumber daya ekonomi sebagai dikuasai oleh segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat lainnya sebagai ditakdirkan untuk bekerja demi mereka dan tetap bergantung pada kemurahan hati segelintir penguasa sebagian besar seumber daya itu. Karenanya, Marx melihat masyarakat terbagi menjadi dua kelas: 1). kelas pemilik yang selalu mengeksploitasi, 2). kelas buruh yang senantiasa tereksploitasi. Pengeksploitasian terus-menerus ini, menurut Marx, mengharuskan terjadinya revolusi-revolusi. Namun demikian, karena para pemimpin revolusi tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang cara produksi yang lain, kata Marx, maka mereka kemudian mengikuti sistem ekonomi yang sama, dengan menjadikan diri sebagai pemegang sebagian sumber daya ekonomi, dan sekali lagi menempatkan massa sebagai buruh yang terampas hak-haknya. Proses pengeksploitasian ini, demikian Marx kian menjadi-jadi seiring dengan gelombang industrialisasi dan matangnya kapitalisme di Eropa.
Pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar sebagai berikut:
a. Setiap masyarakat senantiasa berada didalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.

b. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.

c. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.

d. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang lain.

Konflik diyakini merupakan suatu fakta utama dalam masyarakat. Sejumlah tradisi intelektual, menyediakan perangkat analisis interpretasi terhadap masalah tersebut. Konflik merupakan suatu fakta dalam masyarakat industri modern. Meskipun ada pembahasan perihal sifat dan fungsi konflik tersebut, namun tidaklah mudah mengakui keberadaannya. Konflik lebih banyak dipahami sebagai keadaan tidak berfungsinya, komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gejala penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Tetapi, secara empiris konflik, tidak diakui karena, orang lebih memilih stabilitas sebagai hakikat masyarakat. Konflik merupakan realitas yang harus diahadapi oleh para ahli teori sosial dalam membentuk model-model umum perilaku sosial.
Konflik mempunyai fungsi-fungsi positif. Salah satunya adalah, a). mengurangi ketegangan dalam masyarakat, b). juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Dari sudut pandang ini, konflik sosial mempunyai fungsi katarsis. Karenanya konflik mempunyai dampak yang menyegarkan pada sistem sosial itu sendiri, namun konflik meciptakan perubahan-perubahan di dalam sistem, dan konsekuensinya sistem itu bisa lebih efektif. Tidaklah mudah menyamakan antara teori konflik dalam masyarakat dengan pandangan yang khas mengenahi masyarakat sendiri.

B. Analisis
Bergesernya pemikiran masyarakat tentang bagaimana cara mempertahankan hidup untuk memenuhi kebutuhan pangan menjadi titik pokok bahasan kali ini. Hal ini disebabkan modernisasi dan industrialisasi yang terus menggerogoti indonesia. Meski memang modernisasi Barat didahului oleh komersialisasi dan industrialisasi, sedangkan di negara non-Barat, modernisasi didahului oleh komersialisasi dan birokrasi. Jadi, modernisasi dapat dilihat terlepas dari industrialisasi-di Barat modernisasi disebabkan oleh industrialisasi, sedangkan dikawasan lain modernisasi menyebabkan industrialisasi. Yang jelas, baik modernisasi maupun industrialisasi menyangkut unsur penting pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan ekonomi tak dapat terjadi terlepas dari industrialisasi, dan industrialisasi ini senantiasa menjadi bagian integral dari modernisasi.
Dalam analisis ini, para petani yang dulunya banyak dan mampu menghasilkan hasil panen yang baik harus rela sebagian tanah yang ia miliki dijual kepada kaum-kaum borjuis. Sejak awal ingin memonopoli dan menindas serta mengeksploitasi besar-besaran negeri ini. Tak dielakkan lagi, kemudian muncullah kapitalisme yang jelas hanya ingin mengeksploitasi dan merusak Indonesia sebagai lahan subur dunia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Belum lagi penciptaan mitos pasar-global yang selalu menghantui rakyat dan sistem perekonomian Indonesia. Kenyataan ini dilihat dalam kurun waktu yang cukup begitu singkat pada tahun ’90-an tanah persawahan yang dulu luasnya berhektar-hektar menyempit akibat dibangunnya pabrik-pabrik industri yang dalam taken kontraknya jelas-jelas kurang begitu menguntungkan pemerintah dan penduduk setempat terutama.
Masalahnya adalah di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masyarakat, termasuk dunia bisnis, justru sering menghendaki campur tangan pemerintah, walaupun dalam retorika, mereka menghendaki deregulasi. Antara deregulasi dan intervensi sering sangat kabur batas-batasnya. Sebagai contoh PP No.20/1994 yang dinilai bertentangan dengan UU PMA No.1/1967. Di satu pihak peraturan itu memang lebih memperlancar masuknya modal asing dan penanaman modal umumnya. Di lain pihak hal itu mengandung campur tangan pemerintah atau yang menguntungkan grup-grup bisnis besar tertentu.
Sebelum itu, pada tahun '60-an pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemerosotan sehingga menimbulkan krisis politik pada tahun 1965-1966. Higgins, ekonom yang pernah bekerja di Indonesia, juga menyebut perekonomian Indonesia hingga pertengahan ’60-an sebagai the chronic droup-out, belajar dari pengalaman itu pemerintah Orde Baru mengundang kembali modal asing untuk melaksanakan industrialisasi lewat UU No.1/1967. segera setelah membuka pintu kepada modal asing, pemerintah Orde Baru juga memberi kesempatan kepada modal dalam negeri untuk melaksanakan tugas yang sama melalui UU No.1/1968. Sebagaimana di duga dan telah di sadari, misalnya oleh Menteri EKUIN pada waktu itu, Sri Sultan H.B IX, pemodal dalam negeri yang telah siap adalah pengusaha non-pribumi. Sekali lagi, industrialisasi semasa Orde Baru mengahadapi ganjalan baru dalam sistem pemilikan. Pada dasawarsa ’80-an menjadi jelas bahwa golongan etnis inilah yang mendominasi perekonomian. Monopoli dan oligopoli dipersoalkan. Ini di ikuti dengan identifikasi gejala konglomerasi. Sebagian besar aset industri dan perusahaan-perusahaan besar pada awal ’90-an ternyata berada di tangan golongan etnis tersebut.
Pemilikan pribadi modern ini sesuai dengan negara modern, yang pelan-pelan dibeli oleh orang-orang yang mempunyai milik dengan cara perpajakan--telah jatuh semuanya ke dalam tangan orang-orang ini lewat hutang nasional, dan kehadiran negara itu telah menjadi tergantung sepenuhnya kepada kredit komersial, yang diberikan kepada negara oleh para pemiliki-pemilik, yaitu kaum borjuis, sebagaimana tercerminkan oleh naik turunnya dana negara di bursa saham.
Seperti halnya di Jepang pada awal tahun-tahun modernisasinya hasil pajak tanah merupakan bagian terbesar dari seluruh hasih pajak, yang bagi pemerintah Jepang merupakan biaya untuk usaha modernisasinya. Pada tahun 1868 bagian itu adalah 68, 7 % dan pada tahun 1877 83,2%. Sementara itu ini berarti, mahwa petani di Jepang harus memikul korban yang berat untuk modernisasi yang dipaksakan itu. Ini terbukti dari kenyataan, bahwa selama periode 1868-1912 telah terjadi 210 kali pemberontakan petani. Dilihat dalam lingkup masyarakat pedesaan sendiri mungkin modernisasi itu dipandang sebagai suatu yang tidak menyenangkan, yang maunya sedapat mungkin hendak dihindari, atau sebagai sesuatu yang terpaksa harus diterima, suatu yang merugikan kehidupan dan tata cara sendiri. Belum lagi para pemimpin negara yang feodalis terus menggerogoti tanah rakyat dengan segenap kekuasannya.
Dilain pihak pandangan tentang kota-kota besar mengakibatkan daya pikir pemuda yang sekarang terkesan hura-hura (hedonis) belaka menjadi indikasi cukup signifikan dalam dunia pertanian. Mereka (pemuda) menganggap bahwa bekerja di kota lebih-lebih Jakarta sebagai kota metroplitan, di pabrik industri merupakan sebuah kebanggaan yang mahal harganya. Akibatnya sangat jelas mereka melakukan perpindahan dari desa ke kota (urbanisasi) hanya untuk mencari pekerjaan dikota dan berharap dengan mudah mendapatkannya. Dalam pandangan konflik ini, mungkin industrilisasi sebagai kepentingan para pemimpin/kaum-kaum borjuis untuk mengkosongkan lahan pertanian, membeli dengan uang yang ia miliki dan mengeruk habis/eksplotasi sumber daya alam di Indonesia, sebagai gantinya iming-iming gaji dan kahidupan kota yang hedonis belaka.
Semua itu dimungkinkan oleh adanya uang. ”Barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak-cendikia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya--sejauh satu sen.” Carlyle dan Marx sepakat bahwa misteri uang, yakni transendensinya, sebagaimana terungkap melalui pakaian yang menandai perbedaan kelas dan perbedaan kekuasaan, menyangga tatanan sosial. Keduanya sama-sama
berpendapat bahwa berbelanja untuk menjaga penampilan adalah sesuatu yang perlu, meskipun Karl Marx, tidak seperti Carlyle, mengangap keperluan semacam itu teramat sangat irasional.
Ada beberapa faktor yang seolah-olah mengusir penduduk dari pedesaan, dan engganya untuk menjadi petani dan nelayan sehingga pertanian dan nelayan fakum tanpa orang. Ada faktor-faktor yang menyebabkan hal semacam itu, diantara:

a. Jelas ada daya tarik ekonomi dari kota (industri), orang berharap akan mendapat pekerjaan di sana dan dengan demikian mendapat uang. Bagi banyak orang ini suatu keharusan, karena di desa-desa tidak ada mata pencaharian lagi atau tidak ada kesempatan untuk mencari uang. Orang-orang mencari perbaikan nasib di kota atau mencari kesempatan kerja yang dipandang lebih sesuai dengan pendidikannya di sekolah. Bertani (menjadi petani) dan nelayan menjadi hal yang dianggap level rendah, tidak sesuai dengan pendidikannya.

b. Yang erat hubungannya dengan usaha mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan pendidikan, ialah usaha untuk mengangkat posisi sosialnya dengan cara pergi ke kota dan bekerja di pabrik sana. Pendidikan modern menciptakan pola nilai dan pola harapan baru. Anggapan kehidupan kotalah yang sesuai dengan pendidikannya itu. Akibatnya pertanian dan nelayan fakum tanpa perhatian.
c. Kota-kota itu merupakan daya tarik, karena fasilitas pendidikan di situ di nilai lebih baik dari pada di pedesaan. Dilain pihak orang tua yang ingin agar anaknya dapat memanfaatkan kesempatan baru untuk naik tangga masyarakat, akan pindah ke kota. Daya tarik itu juga dapat timbul karena adanya fasilitas-fasilitas sosial lainnya, kemudian daya nalar anak akan terbiasa dengan kehidupan serta fasilitas di kota dan enggan kembali ke desa untuk meneruskan dan memberdayakan agraria dan lautnya (tani dan nelayan)

d. Sepanjang masa kota-kota itu merupakan daya tarik sebagai pusat kesenangan dan hiburan dan sebagai tempat dimana orang dapat mencari pengalaman baru dalam bayangan suasana hangat dan meriah. Jelas daya tarik yang satu ini, kelap-kelip lampu kota hedonisitas kehidupan malam kota, hura-hura pemuda membuat miring pikiran pemuda, akhirnya kehidupan di desa dan menjadi petani dan nelayan merupakan hal yang dianggap menurunkan martabatnya sebagai pemuda.

e. Life style dan gengsi yang menjadi tren pemuda membuat fakumnya penerus pertanian bagi proses agraria negeri ini. Merupakan imbas dari adanya industrialisasi yang disebabkan oleh modernisasi yang merebak di desa-desa.. Hal ini diperparah lagi limbah pabrik yang meresahkan dan mampu mempengaruhi proses tumbuh berkembangnya tanaman padi, jagung dan lain-lian yang mengakibatkan merosotnya harga cukup jauh akibat dari bahan kimia yang ada pada limbah tadi. Belum lagi limbah yang dibuang ke laut, dan jelas akan merusak ekosistem yang ada.

f. Parahnya lagi, generasi muda petani ogah melanjutkan pekerjaan orang tuanya disebabkan adanya iming-iming atau tawaran gaji yang dianggap cukup menggiurkan dari pihak industri (pabrik) untuk menjadi buruh yang sampai saat ini tidak jelas diperhatikan nasibnya. Belum lagi pembagian kerja dan jabatan dalam produksi pabrik-pabrik industri yang nantinya akan menyebabkan stratifikasi antara orang yang atas dan bawah berdasar atas kepetingan-kepentingan semata.
Menurut Marx, kelas-kelas akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beraneka ragam, yang memungkinkan terjadinya surplus produksi.

g. Para anak nelayan takut pergi melaut. Daya nalar modernis yang telah merasuk dalam pikiran kaum pesisir. Alasan takut hitam merupakan jelas implikasi dari modernitas, lanjutnya orang senantiasa menjadi konsumen. Membeli produk pemutih wajah atau cream pemutih yang menjadikan hal itu sangat rawan terjadinya rasisme, etnosentris masyarakat untuk tidak mau mengikuti orang tua. Padahal melaut merupakan proses menghindari diri dari sifat arrogant dan hedonis dampak modernisasi, meski sangat sedikit presentasinya. Alasanya, ketika ia seharian melaut menangkap ikan, ia hanya akan menangkap modernitas yang ada secara parsial dan berdampak sedikit pada dirinya.

h. Selain itu alasan lain yang melatar belakangi adalah keinginan untuk terus bepergian (jawa; ngeluyur) karena ia mempunyai produk industri yang dihasilkan oleh produk asing tentunya, motor menjadi harga mati bagi para pemuda di desa-desa lain dan parahnya lagi ini jiga merebak di kubu orang-orang pesisir. Pemuda ynag semestinya membantu orang tuanya mencari penghidupan garus pergi dengan teman-temannya dan tidak tentu tujuannya.

i. Dilain pihak, teman nelayan untuk melaut (jawa; belah) untuk melaut jelas mengalami kekurangan karena disebabkan urbanisasi yang dengan iming-iming gaji dan kehidupan kota tadi. Belum lagi harga ikan yang dulunya mahal sekarang harus turun murah karena alasan dari pabrik industri pemasok, jangan-jangan ada konspirasi untuk membeli murah ikan demi keuntungan besar oknum-oknum tertentu.
Kemungkinan industrialisasi terus berjalan, berdasar logika industrialisme maka masyarakat industri akan mengikuti pola-pola tertentu sejalan dengan kebutuhan sistem industrial. Beberapa ciri yang lebih umum dari masyarakat industri adalah: 1) terjadinya kemerosotan pengaruh dan kewibawaan lembaga-lembaga keagamaan serta pemisahan urusan politik, ekonomi dan keduaniawian umumnya dengan masalah agama yang bersifat pribadi, 2) tumbuhnya masyarakat kota dengan perilaku yang mengikuti budaya kota, 3) masyarakat mudah bergerak dan berubah menurut tempat dan jenis pekerjaan, 4) proses politik menjadi semakin demokratis, 5) pecahnya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan dan ikatan-ikatan primodial lainnya yang digantikan dengan ikatan-ikatan baru, dan 6) pudarnya hubungan-hubungan tatap muka, kebersamaan, alami, akrab atau paguyuban (gemeinshaft) digantikan dengan hubungan patembayan (gesellshaft) yang didasarkan kepada kepentingan dan konflik.

C. Data Urbanisasi
Secara meyakinkan penduduk di setiap daerah meningkat, khususnya Jakarta tiap tahunnya meningkat sekitar 200-250 ribu orang. “Kalau pertumbuhan penduduk tiap tahun 200-250 ribu orang, tiap gubernur yang jabatannya lima tahun tinggal kalikan lima saja, dan kalau tiga kali ganti gubernur, tinggal kalikan saja pertambahan penduduknya,” kata Sutiyoso ketika membuka seminar mengenai pengembangan kebijakan kependudukan era otonomi daerah di Balai Kota DKI. Saat ini, kepadatan penduduk di DKI sudah mencapai 15 ribu orang per kilometer persegi. Sementara lahan Jakarta sempit dan Pemda DKI belum mampu mengembangkan. Adapun laju penambahan penduduk dari urbanisasi selama lima tahun terakhir rata-rata 188 ribu orang yang datang. Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung pendatang terbanyak.
Sebanyak 231.528 orang pendatang baru telah memasuki Jakarta bersamaan arus balik mudik setiap tahunnya. Jumlah tersebut merupakan data terakhir yang diperoleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemda DKI. Dibandingkan angka rata-rata pendatang ke Jakarta dalam lima tahun ke belakang yang mencapai 230.091 orang, jumlah pendatang tahun ini menunjukkan peningkatan lebih dari 1500 orang.
Perhitungan jumlah tersebut adalah berdasarkan jumlah warga Jakarta yang melakukan mudik sebanyak 2.643.273 orang, sedangkan yang kembali ke Jakarta mencapai 2.874.801 orang, sehingga mengalami peningkatan 8,76 persen. (www.tempointeraktif.com)
Telah jelas kiranya, bahwa beberapa faktor di atas merupakan indikator yang menunjukkan adanya beberapa efek atau dampak yang kurang baik bagi pertanian dan kelautan dalam hal ini petani dan nelayan. Pertanian harus sangat diperhatikan oleh negara dengan sistem agraria menggunakan konsep yang jelas dan yang paling penting adalah demi terciptanya kesejahteraan rakyat indonesia. Sebagaimana laut pun merupakan lahan yang sangat bagus untuk tetap terus menjadi perhatian pemerintah dalam memakmurkan rakyatnya ini. Indonesia sebagai negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar semestinya mampu mensejahteraan rakyatnya dan harus tetap melindungi tumpah darahnya, demi tercapai harapan-harapan bangsa dan negara sesuai pembangunan nasional yang direncanaka. Semoga tetap semangat Indonesiaku.


III. PENUTUP

Dengan alasan kompleks di atas hasrat untuk bertani (petani) dan melaut (nelayan) menurun drastis baik dari pemuda maupun orang tua mereka. Tidak mempunyai penerus yang menghidupkan sawah atau ladanganya. Lama kelamaan tanah yang ia punya akan dijual dan kaum borjuis yang akan mengambil alih. Berbagai cara memperdaya, membius masyarakat dan meraup seganap keuntungan dengan skala besar. Kepentingan-kepentingan yang konspiratif dilakukan oleh para birokrasi pemerintahan guna mengeruk keuntungan besar dengan adanya lahan kosong yang ingin dijual oleh petani tersebut. Selanjutnya kemiskinan yang terus mengintai rakyat indonesia.
Demikian pula para nelayan, kekuatan laut dalam mencari ikan menjadi kekuatan Indonesia dalam menentukan bagaimana rakyat mampu menghidupi dan mempertahankan hidup. Pengeboran minyak lepas pantai di laut, kadang juga mengganggu para nelayan dalam mencari ikan. Maklum, kalau minyaknya diperjalbelikan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Sebaliknya, hal itu diambil dan diperuntukan perusahaan asing. Terbukti minyak Pertamina hanya disisakan untuk kita konsumsi, setelah para investor asing (exon-mobile) mengeksploitasi penuh Pertamina. Hal ini diperparah oleh Pertamina (pemerintah) tidak mampu mengolah minyaknya sendiri. Sangat mengesalkan dan merugikan rakyat tentunya. Kekayaaan yang begitu besar toh nyatanya pihak asing yang merasakan hasil alam nusantara kita, sangat dan sangat ironis.
Maka industrialisasi merupakan hal yang seyogyanya dihindari [industrialisasi boleh ada, namun harus jelas bagaimana mensejahterakan (take and give) negara maupun buruh/pegawainya, sesuai UMK (upah minimum kerja), UMR (upah minimum regional) dan yang terpenting bukan orang-orang asing yang menguasainya, agar aset negara tidak dimonopoli dan di eksploitasi, serta para petani dan nelayan masih tetap eksis tanpa ada intervensi dari pihak industri maupun pabrik setempat] bagi kalangan pekerja tradisional seperti halnya petani dan nelayan, imbasnya jelas seperti di atas mulai dari hasil nelayan, lahan pertanian menyempit, kekurangan penerus, teman melaut (jawa; belah) kurang, sampai harga yang mengalami kongkalikong. Hal di atas bukan untuk pribadi tentunya, melainkan untuk kehidupan bangsa, negara, generasi selanjutnya dan kekuatan pangan di negeri indonesia baik agraria maupun bahari sebagaimana terciptanya swasembada pangan 1994.
Selanjutnya, makalah ini kami dedikasikan buat para pejuang kemerdekaan dalam momen hari ”Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008” sebagai bentuk penghormatan kami atas segenap pengorbanannya bagi negeri ini ”Indonesia”. Demikian makalah kami buat sebagai bentuk komitmen tinggi generasi bangsa terhadap nasionalisme negeri ini. Serta demi meneruskan perjuangan dan cita-cita luhur pahlawan dalam memperjuangkan serta memerdekakan NKRI. Hanya ada satu kata ”Bangkit Indonesia”.


DAFTAR PUSTAKA

Lauer, Robert H., 2003, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta
Prof. Dr. Schoorl, J.W 1982, Modernisasi; Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta,
www.suarapembaruan.com
Prof Dr Bachtiar, Wardi MS., 2006, Sosiologi Klasik, Rosdakarya, Bandung,
www.suaramerdeka.com
Dalziel Duncan, Hugh, 1997, Sosiologi Uang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
www.tempointeraktif.com
Ba Yunus, Ilyas-Ahmad, Farid 1996, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Mizan, Bandung,
Dr. Nasikun, 2007, Sistem Sosial Indonesia, Rajawali Perss, Jakarta,
M. Dawam Raharjo, 1999, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta,
Anthony Giddens, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, Jakarta,
Ritzer, George - Goodman, Douglas J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta,

Tidak ada komentar: