Kamis, 17 April 2008

TV Effects

THE TV EFFECTS FOR CHILDREN


Good afternoon Ladies and Gantleman

In this era, there are many home in our country which have TV. We are believe that TV has become essential part of daily life. TV give inform us the news every day, instruct us in many fields of interest and entertaint us with singing, dancing and acting especially, for children on growthly.
But when we consider about violence on TV we relieze that TV has high influences for behavior and mainstream people especially, in this problem of children. TV violence has had a great effect on daily life for children. Why not, as we know that, many children watch TV for several hours everyday; and even though they are watching children’s programe they are still confronted with scenes of violence and terror for example; Naruto, Power Rangers, Satria Baja Hitam etc.
What is the solution to this problem? I try to give solution to spread this problem and I think that this problem very restless for parents;

Firstly, lead the children to choose programe which relevance for them, like Si Bolang, Surat Sahabatku, Laptop Si Unyil etc. are children’s programe which not scenes of violence.

Scondly, attention of warning or symbol on corner up screen right or left screen to certainty children’s programe or not, for example BO (parents lead), DW (adult), SU (all ages).

Thirdly, accompany children to guide about children’s programe which any scenes of violence on TV and give motivation to do acting for results watch TV in daily activities.

Finally, limit children’s time to watch TV. As parents, limited children’s time should be applicated on daily life to conditioning children at study times.
In conclution, that the effect of TV violence on children very dangerous and restless for parents, because they can duplicate scenes of violence on TV. So, be carefull for parents when their children watxh TV even though their children watch children’s programe especially, when they lost of our attention.


Thank you,

Pancasila; Agama dan Negara

Pancasila; Agama dan Negara

Oleh : Khirzul Muhammad*


Pancasila suatu ideologi yang diusung Soekarno. Pluralitas dan hiterogenitas suku, adat semuanya ada disana bahkan sampai pada agama sekalipun, pluralitas-multikultu-ralisme serta hiterogenitas agama bukan menjadi suatu impedansi bagi kita untuk berinteraksi terhadap sesama sekaigus berpartisipasi dalam membangun negara yang diinginkan. Dalam ajaran agama tak ada diskriminasi interaksi kehidupan sosial, agama meng-ajarkan untuk selalu toleran (at tasammuh) dan seimbang (at tawazun) kepada sesama lebih-lebih islam yang mengatur segala bentuk dari kehidupan.

Hampir keseluruhan dari hu-kum-hukum atau pun undang-undang yang dimiliki indonesia bersifat dan bertolok ukur pada aturan-aturan islam, tak semes-tinya kita menuntut negara islam yang didalamnya terdapat ber-bagai jenis dan aspek hitero-genitas kehidupan, memang masyarakat indonesia secara komulatif beragama islam, tapi bukan berarti islam harus dipaksakan dalam kehidupan dan tetanan keseharian mereka, apalagi permasalahan tentang RUU APP yang membuat gempar rakyat indonesia serta mengusik ketahanan NKRI terutama mereka yang merasa kebudayaan dan adatnya tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-islaman. Bali, Papua misalnya, mereka akan melepaskan diri dari indonesia jika RUU APP sampai di syahkan, mereka merasa terusik dan tertekan jika RUU itu disyahkan, Nabi SAW pernah mengatakan “(man adza dzamiyan faqad adzani, siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sesungguhnya dia menganiaya diriku)” bukan berarti kami disini menolak serta menistakan tentang adanya agama (islam), perlu diingat pancasila bukan liberalisme serta sekularisme, pancasila ideologi kita, ideologi yang mampu menampung dan men-fasilitasi pluralitas-multikultur-alisme dan hiterogenitas yang menjadi ciri khas serta karunia yang dimiliki negara kita yang patut disandang indonesia sebagai bentuk dari solidaritas dan konsensus bersama demi tercapainya bangsa dan negara yang mampu mengkonstruksi dan mengayomi serta membawa ke arah development dari berbagai aspek kehidupan tanpa adanya hal yang membatasi. Soekarno seorang tokoh proklamator yang mampu meng-integrasikan berbagai perbedaan yang ada di negeri ini, keberagaman baik agama, maupun suku merupakan suatu hal yang tak perlu diper-debatkan keberadaan nya.

Negara dan islam yang digabungkan menjadi “negara islam” merupakan suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama yang dimorfik, karena negara adalah salah satu kehidupan duniawi yang dimensinya rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang dimensinya spiritual dan bersifat pribadi tanggung jawabnya. Memang negara dan agama tidak dapat dipisahkan namun keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya. Karena negara tak mungkin menempuh dimensi spiritual, guna meng-urus dan mengawasi motivasi sikap dan batin warga negara, maka tak mungkin pula mem-berikan predikat keagamaan kepada negara. Dan semoga tercapai apa yang diinginkan negara dalam menata masya-rakatnya.





* Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lahir di Tuban Jawa Timur di sebuah Desa kecil pesisir pantai utara kota Tuban yang sekarang aktif di PMII “Humaniora Park” Rayon Fakultas Ilmu Sosial dan Humaiora.
.

KEADILAN SOSIAL

KONSEP KEADILAN SOSIAL
TERHADAP KEHIDUPAN JALANAN

Oleh : Khirzul Muhammad*

“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” demikian bunyi UUD 45 ayat 34 sebagai landasan tentang perlindungan dan pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar/jalanan. Mereka (baca: anak-anak terlantar/jalanan) sebagai warga negara yang punya hak untuk dipelihara dan mendapat kehidupan layak sebagai makhluk hidup yang merdeka. Namun apa realita dan aplikasi pemerintah dalam mewujudkan hal ini dalam konteks keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia? Belum ada, mungkin jawaban itu terkesan lebih pantas dan relefan dengan keadaan sekarang ini. Masih banyak GEPENG (gelandangan pengemis) atau anak-anak terlantar/jalanan Yogyakarta dipinggir-pinggir jalan, sering kami lihat di lampu merah ketika kendaraan berhenti atau juga dipinggir jalan trotoar dengan penuh rasa kasihan mereka menengadah sambil menjulurkan tangannya seraya meminta pada orang disekelilingnya. Ironis sekali tentunya. dimana petugas? dimana pemerintah? dimana aparat terkait? Tanda tanya besar dari kami tentunya dan itu pun cuma isapan mulut saja, juga masih sekedar bualan-bualan janji kosong.

Jangan salahkan orang-orang yang memberi uang karena semua itu tak lepas dan berawal dari rasa kasihan yang mendalam akan nasib fakir miskin, GEPENG dan anak-anak terlantar maupun jalanan yang ada disekitarnya khususnya di Yogayakarta yang notabenenya sebagai penyandang kota pendidikan.
Hak yang semestinya mereka terima sebagai warga negara serta wujud kewajiban pemerintah dalam interpretasi aksinya dan bukan cuma sekedar retorika belaka sebagaimana yang termaktub dalam UUD maupun PERDA bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Keadilan sosial semestinya harus bersifat universal-komprehensif dan proporsional dalam kebijakan maupun aktifasinya, karena pada dasarnya keadilan sosial diperuntukkan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang terdistorsi dan terisolasi akibat dari tingkah laku pemimpinnya yang sarat akan ketidakjelasan atau semu (bersifat euphinisme) setiap kali dalam konsensus yang terjadi dan juga kami mencoba untuk melihat adanya indikasi-indikasi kepentingan golongan yang saling tarik menarik keuntungan. Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia 1789 bahwa " ketidaktahuan, pengabaian ataupun merndahkan hak asasi manusia adalah salah satunya penyebab kemalangan rakyat" . Sering kita lihat DINAS Trantib dalam mengatasi masalah ini cuma menggiring dan hanya memberikan bimbingan penyuluhan, namun setelah itu seakan-akan selesai sudah tanggungjawab mereka sebagai pemerintah. Semestinya tidak cukup sampai disitu, pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas yang sesuai dengan hak-hak yang seharusnya mereka (baca: fakir miskin, anak-anak terlantar/jalanan) terima.

Sebagaimana PERDA yang ditetapkan oleh PEMDA DKI Jakarta bahwa bagi setiap orang yang memberi uang pada anak-anak jalanan atau yang lain akan dikenakan sanki. Disini kami coba melihat bahwa solusi yang diterapkan sangat tidak solutif, padahal masalah semacam ini sudah menjadi kewajiban negara dalam hal ini PEMDA sebagai pemerintahan turunan dalam pemeliharaan mereka (fakir miskin, anak-anak terlantar dan lainnya). Mereka juga punya hak yang sama baik dalam hak pendidikan, hidup dan hah-hak yang lain sebagai warga negara. Semestinya pemerintah juga harus menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang dan memenuhi hak-hak mereka sebagaimana yang tertera dalam UUD dan bukan cuma menggiring, penyuluhan dan setelah itu selesai sudah, bukan ini yang dimaksud keadilan sosial. Keadilan sosial yang dimaksud adalah keadilan yang sama tidak ada perbedaan kaya, miskin, hitam, putih, cacat atau pun yang lain. Yang intinya mencakup seluruh aspek (hak) rakyat itu sendiri secara universal-komprehensif sebagai manusia yang sesuai fitrahnya mempunyai hak dan tuntutan sama sebagai makhluk hidup.




* Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lahir di Tuban Jawa Timur di sebuah Desa kecil pesisir pantai utara kota Tuban yang sekarang aktif di PMII “Humaniora Park” Rayon Fakultas Ilmu Sosial dan Humaiora.

AL QURAN

AL-QUR’AN

Oleh : Khirzul Muhammad*


A. Definisi Quran

Quran secara etimologi berasal dari kata qara’a – yaqra’u yang mempunyai arti membaca, mengumpulkan dan menghimpun sedangkan qur’anan/qira’atan bentuk ketiga/masdar (infinitif) dari qara’a dalam grammatical arabic (shorof) qur’anan yang mempunyai arti “bacaan” (Qara’a - Yaqra’u - Qur’anan/Qira’atan). Sedangkan secara termiologi Qur’an adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw bagi yang membacanya merupakan suatu ibadah dan mendapat pahala /yang pembacaannya merupakan suatu ibadah. Tidak hanya membaca yang mendapatkan pahala atau dikatakn ibadah, yang mendengarnya pun akan mendapatkan rahmat/kasuih sayang dari Allah. Dalam Al Qur’an sendiri dijelaskan dalam surat al A’raf [7]:204) “dan ketika Al Quran dibaca, maka dengarkan dan perhatikanlah supaya kamu mendapat rahmat (kasih sayang)”.

B. Nama-Nama Al Quran

Dalam Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran {Manna Khalil Al-Qattan; 2001}, ada enam nama yang disebutkan, sedangkan dalam Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al Qur’an {Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi; 1996} hanya disebutkan lima tanpa menyebutkan nama at Tanzil sebagai nama dari Al Quran, entah apa maksud dari penulis buku di atas. Namun kami mencoba menyebutkan semua sebagai khazanah pengetahuan kami dalam ilmu-ilmu Al Quran;

* Quran
“Sesungguhnya Quran (bacaan) ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.” (Al Isra’ [17]:9)

* Kitab:
“Telah Kami turunkan kepadamu al Kitab (tulisan) yang di dalamnya terdapat sebab –sebab kemuliaan bagimu” (Al Anbiya [21]:10)

* Furqan:
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan al Furqan (pembeda) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam.” (Al Furqan [25]:11).

* Dzikr:
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan az Dzikr (pengingat), dan sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya.” (Al Hijr [15]:9).

* Tanzil:
”Dan Quran ini Tanzil (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” (As Syu’ara [26]:192).

* Nur:
“Wahai manusia, telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhan-Mu, dan telah Kami turunkan kepadmu Nur (cahaya) yang terang benderang.” (An Nisa’ [4]:174).

Namun nama-nama di atas yang lebih populer diketahui dan dimengerti oleh masyarakat pada umumnya adalah al Quran dan al Kitab dari nama-nama al quran yang lain, dinamakan Quran karena ia “dibaca” dengan lisan dan dinamakan Kitab karena “ditulis” dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataan tekstualnya.

C. Perbedaan Al Quran dengan Hadits Qudsi

Sebelum mengetahui perbedaan keduanya, pertama yang lebih dulu adalah mengetahui definisi tentang Hadits Qudsi sehingga akan terasa lebih jelas tentang perbedaan keduanya. Hadits Qudsi adalah hadits yang oleh Nabi saw disandarkan kepada Allah /setiap hadits Nabi Muhammad saw yang perkataannya disandarkan kepada Allah Azza Wa Jalla atau bisa disebut dengan Hadits Ilahi.
Setelah mengetahui definisi hadits qudsi diatas sekarang kita berbicara tentang perbedaan-perbedaan tentang keduanya;

a. Membaca Al Quran merupakan ibadah dan dihitung setiap hurufnya, sedangkan Hadits Qudsi tidak, namun jika berniat untuk mempelajari dan mengaplikasikannya maka itu dihitung ibadah.

b. Al Quran tidak boleh disentuh kecuali orang yang suci (namun, perspektif ini ada khilaf; ada yang mengatakan orang yang suci itu orang yang mempunyai wudlu, ada juga yang mengatakan orang suci itu adalah manusia yang pada fitrahnya memang lahir dalam keadaan fitrah) sedangkan hadits qudsi tidak.

c. Al Quran disebut kumpulan ayat dan surat (mushaf), sedangkan hadits qudsi tidak disepakati adanya ayat dan surat.

d. Seluruh isi Al Quran dinukil secara mutawattir, sehingga kepastiannya sudah mutlak, sedang hadits-hadits qudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan.

e. Al Quran hanya dihubungkan dengan Allah swt, sedang hadits qudsi dihubungkan kepada Allah dari segi isinya saja dan penyampaiannya disandarkan kepada Nabi saw. Maka sering dikatakan “Nabi bersabda tentang sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya.”

f. Al Quran merupakan mu’jizat Nabi Muhammad saw, sedangkan Hadits Qudsi tidak merupakan mu’jizat.

D. Cara Pewahyuan Al Quran

1. Dengan perantaraan
a. Melalui Malaikat Jibril yang menampakan diri dalam bentuknya yang asli, hal ini berdasarkan atas keterangan;
”Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain (yaitu) di sidratul muntaha.” (An Najm; 13-14)

b. Melalui Malaikat Jibril yang menampakan sebagai seorang laki-laki. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab r.a juga dari Aisyah r.a
“Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku dan aku pun memahami apa yang dia katakan.”

c. Melalui malaikat Jibril tetapi tidak menampakkan dirinya, karena itu wahyu lansung dimasukkan kedalam sanubari Nabi Muhammad saw. hal ini berdasarkan Quran;
“Atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izinnya apa yang Dia kehendaki, Dia Maha Tinggi dan Bijaksana”

d. Kadang-kadang wahyu datang kepada Nabi Muhammad saw. seperti suara gemerincingnya lonceng yang menderu-deru. Cara paling berat buat Rasul dan suara itu mungkin sekali suara kepakan sayap-sayap para malaikat, seperti diriwayatkan dalam hadits;
“Apabila Allah mengkendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai diatas batu-batu yang licin”

“Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya.”

2. Tanpa Perantaraan
Melalui mimpi yang benar dalam tidurnya, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah Ummul Mukminin r.a
“Dari Aisyah r.a dia berkata: sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah saw. adalah mimpi yang benar diwaktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi.” (Muttafaq ‘alaih)
Sebagaiman turunnya surat Al Kautsar yang diturunkan melalui mimpi, karena adanya satu hadits mengenahi hal itu. Di dalam “sohih muslim”, dari Anas r.a dia berkata: “Ketika Rasul saw. pada suatu hari berada diantara kami di dalam masjid, tiba-tiba beliau mendengkur, lalu mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum. Aku tanyankan kepadanya: ‘Apakah yang menyebabkan engkau tersenyum wahai Rasul?beliau menjawab: tadi telah turun kepadaku sebuah surat, lalu beliau membacakannya; ‘Bismillaahiarrahmaanirrahiim, innaa a’thainaa kal kautsar, fashalli lirabbika wanhar, innasyaaniaka huwal abtar.”



* Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lahir di Tuban Jawa Timur di sebuah Desa kecil pesisir pantai utara kota Tuban yang sekarang aktif di PMII “Humaniora Park” Rayon Fakultas Ilmu Sosial dan Humaiora.





DAFTAR PUSTAKA

Dr. Muhammad ‘Ajaj al Khatib, Ushulul Hadits (ulumuhu wa mushtholihuhu), Darul Fikr
Drs. Moch. Chadziq Charisma, Tiga Aspek Kemukjizatan, PT Bina Ilmu; Surabaya; 1991

Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, PT Hidakarya Agung; Jakarta

Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an (studi kompleksitas al qur’an), Titihan Ilahi Pres; Yogyakarta; 1996

Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Pustaka Litera Antara, Bogor; 2001

ANTROPOLOGI

ANTROPLOGI

Proses Pembelajaran Budaya

Ada tiga proses pembelajaran budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai bentuk interaksi dalam dunia baik keluarga, lingkungan dan masyrakat pada umumnya, yakni:

1. Proses Internalisasi

Internalisasi merupakan proses belajar kebudayaan, melalui refleksi diri sepanjang hidupnya, dari lahir sampai mati. Internalisasi lebih merupakan proses psikologis, dimana mereka mampu mengembangkan diri. Pengembangan diri ini tidak tidak lepas dari serentetan pengalaman yang dilalui sepanjang hidupnya. Sebagian orang memang dilahirkan dengan gen-gen tertentu yang membawa bakat-bakat tertentu, namun bakat-bakat tersebut tidak akan muncul apabila tidak diikuti dengan pengalaman yang membawa dirinya kedalam kemampuan mengembangkan diri.
Seorang bayi yang baru lahir, ia hanya dapat merespon lingkungan dengan menangis dan tertawa. Ketika lapar, panas, haus, atau digigit semut, ia hanya dapat menangis. Ketika merasa puas, aman, dan dihibur oleh ibunya dengan berbagai gerakan, seorang bayi meresponnya dengan sedikit senyuman. Waktu kemudian membawanya kepada pengalaman hidup yang lebih luas. Sehingga berbagai respon dapat disampaikan kepada orang lain.
Ketika pikiran dan perasaan mulai tumbuh, seorang bayi yang kemudian berkembang menjadi anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua, mereka dapat merespon berbagai pengalaman hidupnya dengan bermacam-macam. Rasa cinta, simpati, gembira, empati, sedih, benci, pelit, dermawan, bergelut dalam diri manusia.

2. Proses Sosialisasi

Setelah manusia menginjak usia kanak-kanak, mereka mualai belajar tentang nilai yang dianut disekelilingnya. Sejak mulai anak-anak hingga dewasa, manusia selalu belajar tentang nilai-nilai yang berlaku di dalam kelompoknya. Ketika anak-anak dengan usia balita, biasanya proses sosialisasi lebih dominan dipengaruhi oleh keluarga ini, seperti ibu, ayah, kakak, nenek atau kakek. Keluarga dari berbagai etnis di Indonesia, umumnya ibu lebih dekat dengan anak-anaknya dimasa-masa balita. Dari kegiatan memandikan, menyuapi, hingga menidurkan dilakukan oleh ibu. Akan tetapi bagi beberapa keluarga yang hidup di kota-kota besar, tidak jarang anak-anak sepanjang hari diasuh pleh pembantu atau baby sister. Anaka-anak dengan kultur itu, dengan sendirinya akan menghasilkan cara pandang yang berbeda terhadap lingkungan dikemudian hari.
Kemudian setelah menginjak besar, anak-anak mulai bermain diluar, bersama teman-teman sebaya (peer group). Berbagai aturan yang ditetapkan didalam keluarga, mulai bersinggungan dengan kelompok bermain. Anak-anak yang di rumah dibesarkan denagn sikap-sikap kemandirian , besar kemungkinan akan menajadi pemimpin didalam kelompok bermainnya. Sebaliknya, anaka-anak yang dididik dengan over protektif, kadang akan mejadi anak yang lebih penakut. Didalam peer group, anak-anak mulai berkenalan solidaritas dan konflik.
Tidak hanya setatus social yang mempengaruhi sosialisasi. Berbagai perbedaan tatacara dan nilai dalam membesarkan anak diberbagai etnis, menyebabkan hadirnay cara pandang yang berbeda diantara anak-anak atau remaja tentang peristiwa-peristiwayang terjadi disekelilingnya Pemahaman tentang ‘marga’ dikalangan etnis Batak yang begitu kental, dipercaya mengahadirkan sikap solidaritas yang tinggi.
Memasuki jenjang pendidikian, anak-anak dan remaja mulai mengenal dunia yang lebih luas. Pergaulan mereka tidak hanya sebatas teman tetangga, tetapi mencakup kelompok social dan etnis yang lebih luas. Mereka mulai mengenal budaya lain yang tidak selalu sama dengan budaya yang dianut oleh keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam situasi konflik, menghasilakan perilaku dan budaya kekerasan. Mereka lebih suka mengidentifisi musuh disatu sisi, dan lawan disisi yang lain (Koeswinarno, 2004). Di Jawa anak-anak sebelum usia usia 5 atau 6 tahun dianggap masih ‘belum bersifat Jawa’ yang maknanya pada masa-masa itu merka masih diberikan kelonggaran yang besar apabila berbuat salah (Geerts, 1983).
Pada fase sosialisasi ini biasanya anak-anak mulai banyak mengalami benturan-benturan budaya. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga kaya, borjuis dan serba berkecukupan mulai mengenal dan belajar dari kehidupan anak-anak yang serba kekurangan. Demikian sebaliknya,anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga miskin, mulai mengenal dunia dunia teman-temannya yang serba berkcukupan. Banyak kasusu-kasus remaja semaja yang melakukan kekerasan terhadap orang tua hanya karena keinginan untuk memiliki kendaraan, merupakan salah satu hasil sosialisasi yang negatif. Sebaliknya, banyaknya remaja yang memiliki kepedulian sosial merupakan hasil sosialisasi yang positif, karena mereka bisa belajar dari sebuah kebudayaan lain.

3. Proses Enkulturasi

Menurut Koentjaraningtrat proses ini jika di Indonesiakan menjadi ‘pembudayaan’ yakni proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, system norma, serta peraturan yang berlaku dalam kebudayaannya.
Proses terjadi sejak manusia lahir hingga sepanjang hidupnya. Seringkali anak-anak berawal dengan melakukan imitasi (meniru perilaku orang lain), terutama orang-orang terdekatnya, setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan imitasi telah diinternalisasikan kedalam kepribadiannya. Proses imitasi yang berulang –ulang tentu saja menjadi sebuah kebiasaan dan terpola denagn mantap, yang pada gilirannya tindakan itu benar-benar mengatur perilaku.
Tidak semua proses imitasi berlangsung secara utuh, kadang imitasi berlangsung secara sepenggal-sepenggal atau bagian-perbagian, melalui berbagai cara, seperti mendengar atau bahkan melihat secara langsung. Ada pula proses belajar yang memang sengaja dilakukan, seperti di sekolah-sekolah, tempat kerja, atau perkumpulan keagamaan. Selain aturan-aturan formal, baik dalam kehidupa bernegara, atau pun berorganisasi, proses belajar juga menyangkut norma atau aturan hukum etis yang tidak tertulis yang berlaku secara terbatas.
Ketika orang pergi haji misalnya, kadang bukan hanya persoalna ibadah yang dipikir dan dilakukan. Setelah pulang haji, biasanya orang membagi-bagikan buah tangan atau oleh-oleh kepad kerabat, tetangga atau teman-teman kerja. Ini disebabkan karena kebiasaan orang Indonesia jika bepergian jauh selalu memberikan oleh-oleh kepada orang-orang yang dipandang dekat. Oleh-oleh bukan semata pemberian, tetapi ia merupakn refleksi dari sebuah kehidupan yang rukun, harmoni, dan semangt gotong-royong. Sebab dalam diri orang Indonesia ada norma ynag ditanamkan, bahwa ketika orang membantu dengan ikhlas kepada orang lain, suatu ketika mendapat kesusahan pasti juga akan ditolong orang lain.
Enkulturasi nilai-nilai semacam itu juga terdapat dalam slametan (slametan) sebuah tradis ritual Jawa untuk menunjukkan rasa syukur atas karunia Tuhan. Slametan juga dilakukan untuk orang yang sudah meninggal pada 3 hari, 7 hari, 40 hari hari, 100 hari hingga 1000 hari. Slametan seringkali harus dilakukan, meskipun dalam kondisi ekonomi yang serba terbatas. Tidak nada sanki hokum apapun ketika orang Jawa tidak mengadakn slametan, kecuali perasaan yang begitu menekan dalam diri seseorang ketika harus meninggalkan ritual slametan.

Rabu, 16 April 2008

USHUL FIQH

USHUL FIQIH

A. Sejarah Kemunculan

Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala segala persoalan hokum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hokum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Quran. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut Hadits atau Sunnah. Al-Quran dan penjelasannya dalam bentuk hadits disebut “Sumber Poko Hokum Islam”.
Al-Quran turun dalam bahasa arab. Demikian pula hadits yang disampaikan Nabi, juga berbahasa arab. Para sahabat Nabi mempunya I pengetahuanyang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafadznya dan maksud dari setiap ungkapanya. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan NAbi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mengetahui rahasia dari setiap hokum yang ditetapkan Allah. Karenanya, mereka tidak merasa memerlukan sesuatu di balik itu dalam usaha mereka dalam menformulasikan hokum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaedah bahasa dalam memahami al-Quran dan hadits Nabi yang berbahasa Arab itu.
Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka mencarai jawabannya dalam al-Quran. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam al-Quran, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadits Nabi. Bila dalam hadits Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka mneggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadits. Mereka selalu mendasarkan pertimabangan pada usaha”memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi dasar penetapan hukum syara’.
Dengan cara sepeti itulah Muaz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog diantara keduanya sewaktu Muaz diutuis Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan qadhi.

Nabi : “Bagaimana cara anda menetapkan hukum bila kepada anda dihadapkan
perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah.”
Nabi : “Bila anda tidak menemukan jawabannya dalam kitab Allah?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum dengan sunnah Nabi.”
Nabi : “Bila dalam sunnah, anda juga tidak menemukannya?”
Muaz : “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah dalam ijtihadku.”

Jawaban Muaz dengan urut-urutan seperti itu mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad SAW.
Allah berfirman dalam kitab-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, pastuhlah kamu kepada Allah dan patuhlah kamu kepada Rasul dan orang-orang yang memimpin urusanmu. Bila kamu berselisih pendapat sesuatu, kembalikanlah kepada Allal dan Rasul.” [surat al-Nisa’ (4): 59]
Suruhan Allah dalam ayat ini untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Suruhan untuk mentaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama’ mujtahid dalam menetapka hukum, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam bidang hukum.suruhan untuk memulangkan hal dan urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan qiyas dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran, hadits dan tidak ada pul ijma’ atau kesepakatan ulama’ mujtahid.dengan demikian dalil hukum syara’ yang disepakati dikalangan ulama’ jumhur adalah empat yaitu al-Quran, Hadits atau Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa dimana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaedah-kaedah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami al-Quran dan hadits yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Kemudian para ulama’ mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaedah atau aturan permainan yang dijadiak pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan asasa dan kaedah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan mengguanakan bahasa Arab secara baik. Disamping itu, juga memperhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggungjawab hukum. Kaedah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.

B. Perkembangan Ushul Fiqh

1. Periode Sahabat

Ilmu ushul fiqih bersamaan munculnya dengan ilmu fiqih meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqih dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqih. Sebenarnya keberadaan fiqih harus didahului oleh ushul fiqih, karena ushul fiqih itu adalah ketentuan atau kaedah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqihnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqih datang belakangan.
Perumusan sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat yaitu pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqih telah ada pada waktu perumusan fiqih itu. Para sahabat diantaranya Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali ibn Abi Thalib umpamanya pada waktu mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukum cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia minum akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan tuduhan berbuat zina.” Dari pernyataan Ali itu, akan diketahui bahwa Ali rupanya mengguankan kaedah “sad al-dzari’ah”
Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tenyang wanita hamil yang kematian suami iddahnya adalah melahirakan anak, mengemukakan argumennya dengan firman Allah dalam surat al-Thalaq (85) ayat 4, meskipun juga ada firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) yang menjelaskan bahwa isteri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 surat al-Thalaq datang sesudah ayat 234 surat al-Baqarah (2).
Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan fatwanya ia menggunakan kaedah ushul tentang “naskh-mansukh”, . Dari apa yang dilakukan Ali dan Ibnu Mas’ud contoh diatas kita dapat memahami bahwa para sahabat dala melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak dirumuskan secara jelas.

2. Periode Tabiin

Pada periode tabiin lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang ulama’ tabiin tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul; umpamanya Sa’id ibn Musayyab di Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di Irak. Masing-masing ulama’ ini mengetahui secara baik ayat-ayat hhukum dalam al-Quran dan mempunayai koleksi yang lengkap tentang hadits Nabi. Jika mereka tidak menemukan jawaban hukum dalam al-Quran atau hadits, sebagian mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha istinbath hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha’I dan ulama’ Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan ‘illat hukum dari nash dan menetapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan dikemudian hari.
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa metode yang digunakan dalam merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan bentuknya. Namun, perbedaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqih.
Sebagaimana Abu Hanifah dengan menggunakan qiyas dan istihsan dalam menggali hukum, sedangkan Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang hidup dikalangan penduduk Madinah, Imam Malik yang dianggap pantulan dari aliran Hijaz menggunakan maslahat mursalah yang tidak digunakan ulama’ jumhur sebagai imbangan dari istihsan yang digunakan Abu Hanifah sebagai pantulan dari aliran Irak. Hal ini berlanjut setelahnya, Imam Syafi’i penerus selanjutnya sebagai tokoh yang dianggap penggagas peletak pedoman dalam metode berpikir yang disebut “ushul fiqih”. Yang kitab pertama di karang adalah Ar-Risalah sebelum kitab itu belum ada kitab ushul fiqih. Dan dipergunakan sebagai sumber-sumber penetapan hukum setelahnya, yaitu pada masa tabi tabi’in, yang dulu hanya diketahui dan berkembang di negara-negara tertentu sekarang sudah merambah di berbagai negara-negara belahan dunia dan di Indonesia khususnya.

3. Periode Sekarang

Ushul fiqih merambah diberbagai belahan negara didunia sebagai ilmu yang mengantarkan pada sebuah jalannya hukum yang akan ditentukan. Meski ushul fuqih dulunya dipelajari sedikit atau sebagian dari jumlah negara Islam di dunia ini, karena memang persebaran Islam pada waktu itu masih kurang menyeluruh. Namun, lambat laun peersebaran Islam mengalami peningkatan dan memicu akan perkembangan dalam mempelajari ushul fiqih, baik negara maupun umat Islam umumnya.
Perkembangan ushul fiqih dalam periode sekarang lebih kami fokuskan pada perkembangan ushul fiqih di tanah air sebagai bentuk analisis kepedulian kami terhadap Indonesia. Perkembangan ushul fiqih sudah sangat menjamur dikalangan pesantren-pesantren tradisional yang masih memegang teguh ciri khas tradisionalitasnya dengan setiap sub-sub dari pelajaran yang wajib dikaji. Berbagai ajang adu argumen dan musyawarah tentang ushul fiqih maupun fiqih pada umumnya diselenggarakan untuk mengkaji dan menggali hukum baik dengan dengan Bahtsu Masail, Tarjih, Hisbah atau pun yang lain.
Tidak ketinggalan pula sekolah-sekolah agama di tanah air sebagai materi pelajaran yang diajarkan oleh guru-guru pembimbing, baik itu ditingkatan dasar, menengah maupun atas, tidak hanya tiga dilokus sentral tadi saja, bahkan hal demikian diajarkan pula ditingkatan perguruan tinggi yang berbasis ke-Islaman.
Perkembangan demikian itu tidak luput dari peran aktif setiap anggota terkait dalam mengembangkan khazanah-khazanah pengetahuan yang dimiliki Islam sebagai sebuah entitas ajaran yang penuh dan kental dengan keilmuan Timurnya.





DAFTAR PUSTAKA

K.H Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Pustaka Tarbiyah, Jakarta; 1995
Prof. Dr. H. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 1, Logos wacana ilmu, Jakarta; 1997
Al-Dahlawi, Syah Waliyullah, Lahirnya Madzhab-madzhab Fiqh, Rosda Karya, Bandung; 1989
Djamaluddin, A. Syinqithy, Sejarah Legislasi Islam, Al-Ikhlas, Surabaya; 1994
Hasan, M. Ali, Perbandingan Madzhab, Rajawali Pers, Jakarta; 1996

MADZHAB

MADZHAB

Madzhab merupakan sebuah pilihan hidup dalam menentukan dan bersinggungan langsung dengan sebuah pilihan akan hukum-hukum yang diinginkan dalam proses ia ber Tuhan. Keberadaan madzhab dan berbagai macamnya merupakan hal yang patut disyukuri sebagai sebuah khazanah intelektual manusia dalam proses pengejawantahan kreasi dari ciptaan Tuhan yang Maha dahsyat dan manusia adalah representasi Tuhan menurut perspektif Al-Farabi, serta bagiamana manusia harus meneruskan cita-cita Tuhan dalam proses dinamika di dunia ini sebagai khalifah fil alam.
Keanekaragaman bentuk madzhab dalam menentukan pandangan hukumnya dan pengambilan hukum-hukumnya dengan berbagai jalan serta syarat yang ia harus tempuh merupakan keagungan Tuhan yang tidak bisa dipungkiri. Para madzhab-madzhab lain, baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hanbali adalah putra-putra agung yang dimiliki orang Islam sebagai waratsatul anbiya’ penerus perjuangan lewat ajaran-ajaran hukumnya dalam menfsiri kehebatan nash-nash Tuhan dan hadits-hadits Nabi.
Eksistensinya sangat terasa dan tak akan terlupakan dalam pergolakan sejarah dunia Islam secara menyeluruh, siapapun mengakui kehebatan madzhab ini. Daya nalar, tafsir dan pengambilan hukum yang begitu hebat dengan melibatkan seluruh aspek keilmuan yang dimilikinya merupakan bentuk dedikasi yang sangat-sangat hebat.
Keadaan hukum yang kurang begitu jelas dapat terselesaikan dengan dasar-dasar bagiamana hukum itu di ambil dengan mengunakan metode-metode ijtihad, ushul fiqh atau yang lain yang dibentuk atau yang sudah dibukukan oleh para pendahulu kita, Imam Syafi’i sebagai pelaksana pembukuan terhadap metode-metode ushul fiqh pada waktu itu.
Ushul fiqh merupakan dasar hukum yang sangat urgen sebelum menentukan langkah kedalam pengambilan hukum fiqh, bahan mentah atau dasarnya ada di ushul fiqh. Perkembangan yang mencengangkan kiranya dalam perkembangan ushul fiqh sendiri yang sampai saat ini tetap eksis sebagai ilmu atau kaedah dalam pengambilan setiap keputusan yang berkenaan dengan hukum sekitar.
Namun, berbagai macam perspektif pasti terus mewarnai setiap kebijakan hukum yang ada, tergantung cara pengambilan dan madzhab apa atau siapa yang ia jadikan sebagai hujjah dalam pengambilan kebijakan tadi. Meski demikian, kiranya menjadi pelajaran dan renungan bahwa keberagaman perspektif yang dianut tidaklah menjadi stereotype yang membayangi dalam pengambilan kebijakan itu, karena pelangi tak kan tampak indah jika ia tak berwarna-warni.

A. Sejarah Kemunculan
Berawal dari sebuah perbedaan pendapat dikalangan sahabat dan tabiin dalam furu’ dan belum terbukukannya fiqih pada waktu itu. Pemahaman hukum waktu itu tidak seperti pembahasan para fuqaha’ yang dengan segenap kemampuannya berusaha menjelaskan beberapa rukun, syarat, dan adab, membedakan suatu hal dari yang lain berdasarkan dalil-dalil, memperkirakan dan membicarakan peristiwa-peristiwa yang yang akan terjadi, lengkap dengan hukum-hukumnya, membatasi susuatu hal yang dapat dibatasi dan lain-lain.
Sebagaimana mereka menyaksikan Rasul shalat, mereka langsung mengikuti shalat, serta ketika Rasulullah wudlu dan disaksikan oleh para sahabat lalu mereka mengikuti tanpa menunggu penjelasan yang ini rukun yang ini adab. Beliau melaksanakan haji mereka mengikutinya. Walhasil, mereka berbuat seperti apa yang diperbuat oleh Rasul tanpa disertai penjelasan bahwa fardlu wudlu itu enam atau empat tidak pula diperkirakan muwalah sehingga dihukumi sah atau tidak, dan sedikit sekali mereka bertanya tentang hal semacam itu.
Perbedaan dari sebuah penalaran dan perbedaan pula dalam memahami sebuah ‘illat hukum merupakan beberapa akar kemunculan madzhab . Serta perbedaan penafsiran terhadap nash-nash al-Quran karena jelaslah berlainannya akal yang memahaminya . Hal ini yang menyebabakan atau merupakan indikasi munculnya madzhab dan berbagai penafsiran yang berbeda itu juga mengakibatkan muncul beberapa aliran madzhab.

B. Perkembangan Madzhab
Madzhab yang dulunya hanya ada di beberapa negara tertentu saja seperti halnya Irak, Arab dan sekelumit dari negara-negara Timur yang belum banyak dikenal oleh banyak kalangan sekarang madzhab terus berkembang diberbagai negara di belahan dunia, baik Timur maupun Barat, sesuai siapa yang membawa.
Demikian halnya di Indonesia, perkembangan madzhab mengalami kemajuan seiring proses penyebaran Islam sebagai sebuah ajaran normatif yang dianut dan dipercaya oleh sebagian penduduk dunia pada umumnya. Perkembangan madzhab tidak jauh dari mana Islam itu dan oleh siapa Islam itu sebagai agama dibawa dan dipelajari bahkan dianut oleh penduduk mayoritas di Indonesia. Hal inilah yang mungkin melatar belakangi proses berkembangnya madzhab di Indonesia yang pada umumnya penduduk dan sistem hukum maupun ajaran fiqih di Indonesia menganut salah satu madzhab empat yakni Imam Syafi’i sebagai pedoman. Karena hal itu tidak jauh dari orang-orang Arab dan India Selatan pada waktu itu, berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam di Indonesia yang dulu orang India Selatan ini menganut madzhab Syafi’i, akibat pengaruh yang dibawa oleh pedagang dan para mubaligh Arab yang menyiarkan ajaran Islam, sehingga Indonesia (pasai) yang menjadi tempat persinggahan para pedagagang Arab dan India, juga berpaham Syafi’i.sebagai bukti Sultan al Malikus Sahir raja pertama menganut paham Syafi’I diantara raja-raja Samudera Pasai. Kemudian pada perkembangannya, paham Syafi’I banyak berkembang diseluruh pelosok Indonesia yang dibawakn oleh para Wali di Indonesiayang terkenal dengan “wali songo”, mereka pun dalam pengajarannya berpedoman pada madzhab Syafi’i.
Dari jasa para wali yang gigih didalam mengajarkan Islam dengan berbagai cara yang sesuia dengan situasi dan kondisi pada waktu itu, maka lahirlah ulama’-ulama’ Jawa yang duduk dipesantren dan berperan serta dalam perjuangan bangsa, negara dan agama, dengan gayanya yang khas pesantren ala Syafi’i dengan bukti bahwa hampir seluruh kitab-kitab fiqih yang disajika sebagi pegangan adalah kitab fiqih yang bermadzhab Syafi’i. Hal demikian itu berkembang dan berlanjut sampai sekarang ini sebagai sebuah pilihan dalam bermadzhab.

Kamis, 10 April 2008

Sumpah Mahasiswa Indonesia

Sumpah Mahasiswa Indonesia

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah

Bertanah Air satu,
Tanah Air tanpa Penindasan

Berbangsa Satu,
Bangsa yang gandrung akan Keadilan

Berbahasa Satu,
Bahasa Kebenaran

Syahadat Pembebasan

Asyhadu an lailaha illa Allah,
Wa Asyhadu anna Muhammad Rasulullah


Barang siapa ingin menindas orang lain
Berarti ia ingin Menjadi Tuhan
Padahal tiada Tuhan selain Allah

Barang siapa ingin menjadi tiran
Berarti ia Ingin menjadi Tuhan
Padahal tiada Tuhan selain Allah

Barang siapa ingin merendahkan orang lain
Berarti ia ingin menjadi Tuhan
Padahal Tiada Tuhan Selain Allah

Penguasa yang ingin menindas rakyatnya
Berarti ia ingin menjadi Tuhan
Padahal tiada Tuhan selain Allah

Kita Menerima siapapun orangnya dan
Dari manapun asalnya
Asalkan bisa menjadi saudara bagi
Sesamanya.