Kamis, 17 April 2008

ANTROPOLOGI

ANTROPLOGI

Proses Pembelajaran Budaya

Ada tiga proses pembelajaran budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai bentuk interaksi dalam dunia baik keluarga, lingkungan dan masyrakat pada umumnya, yakni:

1. Proses Internalisasi

Internalisasi merupakan proses belajar kebudayaan, melalui refleksi diri sepanjang hidupnya, dari lahir sampai mati. Internalisasi lebih merupakan proses psikologis, dimana mereka mampu mengembangkan diri. Pengembangan diri ini tidak tidak lepas dari serentetan pengalaman yang dilalui sepanjang hidupnya. Sebagian orang memang dilahirkan dengan gen-gen tertentu yang membawa bakat-bakat tertentu, namun bakat-bakat tersebut tidak akan muncul apabila tidak diikuti dengan pengalaman yang membawa dirinya kedalam kemampuan mengembangkan diri.
Seorang bayi yang baru lahir, ia hanya dapat merespon lingkungan dengan menangis dan tertawa. Ketika lapar, panas, haus, atau digigit semut, ia hanya dapat menangis. Ketika merasa puas, aman, dan dihibur oleh ibunya dengan berbagai gerakan, seorang bayi meresponnya dengan sedikit senyuman. Waktu kemudian membawanya kepada pengalaman hidup yang lebih luas. Sehingga berbagai respon dapat disampaikan kepada orang lain.
Ketika pikiran dan perasaan mulai tumbuh, seorang bayi yang kemudian berkembang menjadi anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua, mereka dapat merespon berbagai pengalaman hidupnya dengan bermacam-macam. Rasa cinta, simpati, gembira, empati, sedih, benci, pelit, dermawan, bergelut dalam diri manusia.

2. Proses Sosialisasi

Setelah manusia menginjak usia kanak-kanak, mereka mualai belajar tentang nilai yang dianut disekelilingnya. Sejak mulai anak-anak hingga dewasa, manusia selalu belajar tentang nilai-nilai yang berlaku di dalam kelompoknya. Ketika anak-anak dengan usia balita, biasanya proses sosialisasi lebih dominan dipengaruhi oleh keluarga ini, seperti ibu, ayah, kakak, nenek atau kakek. Keluarga dari berbagai etnis di Indonesia, umumnya ibu lebih dekat dengan anak-anaknya dimasa-masa balita. Dari kegiatan memandikan, menyuapi, hingga menidurkan dilakukan oleh ibu. Akan tetapi bagi beberapa keluarga yang hidup di kota-kota besar, tidak jarang anak-anak sepanjang hari diasuh pleh pembantu atau baby sister. Anaka-anak dengan kultur itu, dengan sendirinya akan menghasilkan cara pandang yang berbeda terhadap lingkungan dikemudian hari.
Kemudian setelah menginjak besar, anak-anak mulai bermain diluar, bersama teman-teman sebaya (peer group). Berbagai aturan yang ditetapkan didalam keluarga, mulai bersinggungan dengan kelompok bermain. Anak-anak yang di rumah dibesarkan denagn sikap-sikap kemandirian , besar kemungkinan akan menajadi pemimpin didalam kelompok bermainnya. Sebaliknya, anaka-anak yang dididik dengan over protektif, kadang akan mejadi anak yang lebih penakut. Didalam peer group, anak-anak mulai berkenalan solidaritas dan konflik.
Tidak hanya setatus social yang mempengaruhi sosialisasi. Berbagai perbedaan tatacara dan nilai dalam membesarkan anak diberbagai etnis, menyebabkan hadirnay cara pandang yang berbeda diantara anak-anak atau remaja tentang peristiwa-peristiwayang terjadi disekelilingnya Pemahaman tentang ‘marga’ dikalangan etnis Batak yang begitu kental, dipercaya mengahadirkan sikap solidaritas yang tinggi.
Memasuki jenjang pendidikian, anak-anak dan remaja mulai mengenal dunia yang lebih luas. Pergaulan mereka tidak hanya sebatas teman tetangga, tetapi mencakup kelompok social dan etnis yang lebih luas. Mereka mulai mengenal budaya lain yang tidak selalu sama dengan budaya yang dianut oleh keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam situasi konflik, menghasilakan perilaku dan budaya kekerasan. Mereka lebih suka mengidentifisi musuh disatu sisi, dan lawan disisi yang lain (Koeswinarno, 2004). Di Jawa anak-anak sebelum usia usia 5 atau 6 tahun dianggap masih ‘belum bersifat Jawa’ yang maknanya pada masa-masa itu merka masih diberikan kelonggaran yang besar apabila berbuat salah (Geerts, 1983).
Pada fase sosialisasi ini biasanya anak-anak mulai banyak mengalami benturan-benturan budaya. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga kaya, borjuis dan serba berkecukupan mulai mengenal dan belajar dari kehidupan anak-anak yang serba kekurangan. Demikian sebaliknya,anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga miskin, mulai mengenal dunia dunia teman-temannya yang serba berkcukupan. Banyak kasusu-kasus remaja semaja yang melakukan kekerasan terhadap orang tua hanya karena keinginan untuk memiliki kendaraan, merupakan salah satu hasil sosialisasi yang negatif. Sebaliknya, banyaknya remaja yang memiliki kepedulian sosial merupakan hasil sosialisasi yang positif, karena mereka bisa belajar dari sebuah kebudayaan lain.

3. Proses Enkulturasi

Menurut Koentjaraningtrat proses ini jika di Indonesiakan menjadi ‘pembudayaan’ yakni proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, system norma, serta peraturan yang berlaku dalam kebudayaannya.
Proses terjadi sejak manusia lahir hingga sepanjang hidupnya. Seringkali anak-anak berawal dengan melakukan imitasi (meniru perilaku orang lain), terutama orang-orang terdekatnya, setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan imitasi telah diinternalisasikan kedalam kepribadiannya. Proses imitasi yang berulang –ulang tentu saja menjadi sebuah kebiasaan dan terpola denagn mantap, yang pada gilirannya tindakan itu benar-benar mengatur perilaku.
Tidak semua proses imitasi berlangsung secara utuh, kadang imitasi berlangsung secara sepenggal-sepenggal atau bagian-perbagian, melalui berbagai cara, seperti mendengar atau bahkan melihat secara langsung. Ada pula proses belajar yang memang sengaja dilakukan, seperti di sekolah-sekolah, tempat kerja, atau perkumpulan keagamaan. Selain aturan-aturan formal, baik dalam kehidupa bernegara, atau pun berorganisasi, proses belajar juga menyangkut norma atau aturan hukum etis yang tidak tertulis yang berlaku secara terbatas.
Ketika orang pergi haji misalnya, kadang bukan hanya persoalna ibadah yang dipikir dan dilakukan. Setelah pulang haji, biasanya orang membagi-bagikan buah tangan atau oleh-oleh kepad kerabat, tetangga atau teman-teman kerja. Ini disebabkan karena kebiasaan orang Indonesia jika bepergian jauh selalu memberikan oleh-oleh kepada orang-orang yang dipandang dekat. Oleh-oleh bukan semata pemberian, tetapi ia merupakn refleksi dari sebuah kehidupan yang rukun, harmoni, dan semangt gotong-royong. Sebab dalam diri orang Indonesia ada norma ynag ditanamkan, bahwa ketika orang membantu dengan ikhlas kepada orang lain, suatu ketika mendapat kesusahan pasti juga akan ditolong orang lain.
Enkulturasi nilai-nilai semacam itu juga terdapat dalam slametan (slametan) sebuah tradis ritual Jawa untuk menunjukkan rasa syukur atas karunia Tuhan. Slametan juga dilakukan untuk orang yang sudah meninggal pada 3 hari, 7 hari, 40 hari hari, 100 hari hingga 1000 hari. Slametan seringkali harus dilakukan, meskipun dalam kondisi ekonomi yang serba terbatas. Tidak nada sanki hokum apapun ketika orang Jawa tidak mengadakn slametan, kecuali perasaan yang begitu menekan dalam diri seseorang ketika harus meninggalkan ritual slametan.

Tidak ada komentar: