Rabu, 10 Juni 2009

RESUME; METODE ETNOGRAFI JAMES P. SPRADELY

RESUME; METODE ETNOGRAFI
James P. Spradley

Dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam saat ini semakin mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif diberbagai lini disepanjang keilmuan di dunia akademik. Kemampuannya menghasilkan produk analisis yang mendalam sejalan dengan alur dan settingnya, diakui sebagai paradigma yang patut diperhitungkan dalam rangka melohat, mengatahui dan menghadirkan refleksi bagi kajian Sosiologi pada konteks zamannya. Apakah teori-teori Sosiologi itu mampu eksis dan melebur dengan konteks sosial masyarakat sekitar? Serta mampukah teori-teori sosiologi itu menjawab problematika sosial yang ada hingga sekarang?. Jawabannya tentunya kita akan melakukan koreksi berbagai macam teoritis dengan salah satu jalan adalah model-model penelitian kualitatif yang sekarang digandrungi oleh segenap ilmuan. Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini--analisis wacana, studi kasus, semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para ilmuwan maupun peneliti baik mahasiswa yakni sosiologi lebih khususnya sosiologi fishum yang menurut kami lebih condong pada kualitatif, entah itu etnografi, studi kasus dan lain sebagainya.

Kajian etnografi yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini--merupakan salah satu metode penelitian kualitatif. Dalam kajian sosiologi, Etnografi digunakan untuk meneliti kelompok atau komunitas relasi--interaksi manusia atau masyarakat berkaitan dengan perkembangan sosial dan budaya tertentu yang didasarkan atas kajian-kajian danm teori yang dianut dan dipakai, misalnya penelitian mengenai anak-anak jalanan, pengamen dan lain sebagainya. Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian masyaraktnya itu.

Namun, tidak seberuntung analisis wacana, studi kasus dan semiotik, selama ini belum banyak buku-buku khusus yang membahas metode penelitian etnografi, khususnya di Indonesia. Pun metode ini juga belum terlalu banyak diadaptasi oleh para peneliti dalam kajian komunikasi, sosiologi dan keilmuan lain– walaupun diakui sumbangsihnya dalam menyediakan refleksi mengenai masyarakat dan perkembangan budaya masyarakat terhitung tidak sedikit. Beberapa keunikan dan fenomena yang mengikuti eksistensi metode penelitian etnografi dalam sosiologi ini membuat penulis meliriknya sebagai salah satu metode yang laik dikenalkan, dikembangkan dan dirujuk dalam penelitian. Untuk itu, dengan mengacu pada beberapa referensi buku, kami mencoba akan memetakan secara ringkas (resume) metode penelitian etnografi.

A. Metode Etnografi – James Spradley
Dalam sejarah panjang etnografi secara harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun sebagai metode penelitian, dianggap sebagai asal-usul ilmu antropologi. Dalam buku “Metode Etnografi” ini, James Spardley mengungkap perjalanan etnografi dari mula-mula sampai pada bentuk etnografi baru. Kemudian dia sendiri juga memberikan langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian etnografi yang disebutnya sebagai etnografi baru ini.

Pada proses kemunculannya Etnografi (akhir abad ke-19). Etnografi mula-mula dilakukan untuk membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Tak ubahnya analisis wacana, mereka – ilmuwan antropologi pada waktu itu – melakukan kajian etnografi melalui tulisan-tulisan dan referensi dari perpustakaan yang telah ada tanpa terjun ke lapangan. Namun, pada akhir abad ke-19, legalitas penelitian semacam ini mulai dipertanyakan karena tidak ada fakta yang mendukung interpretasi para peneliti. Akhirnya, muncul pemikiran baru bahwa seorang antropolog harus melihat sendiri alias berada dalam kelompok masyarakat yang menjadi obyek kajiannya.
Beranjak pada Etnografi Modern yakni sekitar tahun 1915-1925. Dipelopori oleh antropolog sosial Inggris, Radclifffe-Brown dan B. Malinowski, etnografi modern dibedakan dengan etnografi mula-mula berdasarkan ciri penting, yakni mereka tidak terlalu mamandang hal-ikhwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat (Spradley, 1997). Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini, yaitu tentang the way of life masayarakat tersebut. Menurut pandangan dua antropolog ini tujuan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Untuk itu peneliti tidak cukup hanya melakukan wawancara, namun hendaknya berada bersama informan sambil melakukan observasi.

Lebih lanjut lagi, Ethnografi Baru Generasi Pertama kurang lebih 1960-an. Berakar dari ranah antropologi kognitif, “etnografi baru” memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Analisis dalam penelitian ini tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari anggota masyarakat yang dikorek keluar oleh peneliti. Karena tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran dari suatu masyarakat, maka pemahaman peneliti akan studi bahasa menjadi sangat penting dalam metode penelitian ini. “Pengumpulan riwayat hidup atau suatu strategi campuran, bahasa akan muncul dalam setiap fase dalam proses penelitian ini.

Tidak cukup berhenti sampai disitu, Etnografi baru generasi kedua. Inilah metode penelitian hasil sintesis pemikiran Spardley yang dipaparkan dalam buku “Metode Etnografi” ini. Secara lebih spesifik, Spardley mendefinisikan budaya – sebagai yang diamati dalam etnografi – sebagai proses belajar yang mereka gunakan untuk megintepretasikan dunia sekeliling mereka dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam pandangannya ini, Spardley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk meneliti “Other culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita sendiri, masyarakat multicultural di seluruh dunia. Pemikiran ini kemudian dia rangkum dalam “Alur Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima ,prinsip, yakni: Peneliti dianjurkan hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data; mengenali langkah-langkah pokok dalam teknik tersebut., misalnya 12 langkah pokok dalam wawancara etnografi dari Spardley.; setiap langkah pokok dijalankakn secra berurutan; praktik dan latihan harus selalu dilakukan; memberikan problem solving sebagai tanggung jawab sosialnya, bukan lagi ilmu untuk ilmu dan cukup belajar dan mengkaji teori-teori dibangku kuliah.

Namun, inti dari “Etnografi Baru” Spardley ini adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami melalui kebudayaan mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya manusia dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara orang bertidak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan. Namun, dalam buku ini, Spradley memfokuskan secara khusus pembuatan keksimpulan dari apa yang dikatakan orang. Wawancara etnografik dianggap lebih mampu menjelajah susunan pemikiran masyarakat yang sedang diamati.

Sebagai metode penelitian kualitatif, etnografi dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu. Spradley mengungkapkan beberapa tujuan penelitian etnografi, sbb: pertama, untuk memahami rumpun manusia. Dalam hal ini, etnografi berperan dalam menginformasikan teori-teori ikatan budaya; menawarkan suatu strategi yang baik sekali untuk menemukan teori grounded. Sebagaii contoh, etnografi mengenai anak-anak dari lingkungan kebudayaan minoritas di Amerika Serikat yang berhasil di sekolah dapat mengembangkan teori grounded mengenai penyelenggaraan sekolah; etnografi juga berperan untuk membantu memahami masyarakat yang kompleks. Kedua, etnografi ditujukan guna melayani manusia. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip ke lima yang dikemukakan Spradley di atas, yakni meyuguhkan problem solving bagi permasalahan di masyarakat, bukan hanya sekadar ilmu untuk ilmu.

Ada beberapa konsep yang menjadi fondasi bagi metode penelitian etnografi ini. Pertama, Spradley mengungkapkan pentingnya membahas konsep bahasa, baik dalam melakukan proses penelitian maupun saat menuliskan hasilnya – dalam bentuk verbal. Sesungguhnya adalah penting bagi peneliti untuk mempelajari bahasa setempat, namun, Spredley telah menawarkan sebuah cara, yakni dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan etnografis. Konsep kedua adalah informan. Etnografer bekerja sama dengan informan untuk menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan. Informan merupakan sumber informasi; secara harafiah, mereka menjadi guru bagi etnografer (Spradley, 1997: 35).

Sisa dari buku yang ditulis Spradley ini mengungkap tentang langkah-langkah melakukan wawancara etnografis – sebagai penyari kesimpulan penelitian dengan metode etnografi. Langkah pertama adalah menetapkan seorang informan. Ada lima syarat yang disarankan Spradley untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1) enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang cukup, (5) non-analitis. Langkah kedua adalah melakukan wawancara etnografis. Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan (speech event) yang khusus (ibid, hal. 71). Tiga unsur yang penting dalam wawancara etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan dan pertanyaannya yang bersifat etnografis. Langkah selanjutnya adalah membuat catatan etnografis. Sebuah catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari. Langkah ke empat adalah mengajukan pertayaan deskriptif. Pertanyaan deskriptif mengambil “keuntungan dari kekuatan bahasa untuk menafsirkan setting” (frake 1964a: 143 dalam Spradley, 1991: 108). Etnografer perlu untuk mengetahui paling tidak satu setting yang di dalamnya informan melakukan aktivitas rutinnya. Langkah ke lima adalah melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis ini merupakan penyelidikan berbagai bagian sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh informan. Langkah ke enam, yakni membuat analisis domain. Analisis ini dilakukan untuk mencari domain awal yang memfokuskan pada domain-domain yang merupakan nama-nama benda. Langkah ketujuh ditempuh dengan mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap lanjut setelah mengidentifikasi domain.

Langkah selanjutnya adalah membuat analisis taksonomik. Langkah ke sembilan yakni mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol diyakini daoat ditemukan dengan menemukan bagaimana sebuah simbol berbeda dari simbol-simbol yang lain. Langkah ke sepuluh membuat analisis komponen. Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Langkah ke sebelas menemukan tema-tema budaya. Langkah terakhirnya yakni menulis sebuah etnografi.

Pemikiran Spradley ini memberi pemetaan historis yang jelas mengenai metode penelitian etnografi selain mamberi gambaran mengenai langkah-langkahnya. Dengan cerdas, Spradley memaparkan bahwa etnografi baru bukan hanya dapat diadaptasi sebagai metode penelitian dalam antropologi melainkan dapat digunakan secara luas pada ranah ilmu yang lain. Penulis meletakkan pemikiran Spradley ini di bagian awal dengan maksud agar kita memperoleh pemahaman awal mengenai metode etnografi yang masih murni, umum, yang berasal dari akarnya, yakni ilmu antropologi. Berikut, penulis akan menyajikan pemikiran-pemikiran lain mengenai metode penelitian etnografi dalam ranah kajian ilmu yang lebih spesifik, ilmu komunikasi.

Metode etnografi yang diuraikan dalam buku ini adalah tipe metode yang bersumber pada ethnoscience, atau yang dikenal sebagai etnografi baru. Bila etnografi modern, yang dipelopori oleh Radcliffe-Brown dan Malinowski, berusaha mengarahkan kajian etnografi pada upaya generalisasi, yakni penyusunan kaidah-kaidah umum tentang masyarakat (melalui komparasi antara organisasi internal masyarakat dan sistem sosial), maka etnografi baru justru berusaha menemukan keunikan' dari suatu masyarakat, yakni persepsi dan organisasi pikiran dari masyarakat atas fenomena material yang ada di sekelilingnya. Oleh karenanya, objek kajian antropologi tidak lagi berkenaan dengan fenomena material, melainkan dengan cara fenomena tersebut diorganisasikan di dalam pikiran (mind) manusia. Singkatnya, lantaran budaya berada di dalam pikiran manusia, dan bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material, maka tugas etnografi adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut. Dengan acuan perspektif yang demikian itu, di dalam buku ini Spradley melukiskan empat tipe analisis etnografis, yakni analisis domain; analisis taksonomik; analisis komponen; dan analisis tema.

Anjuran serupa juga disampaikan oleh James P. Spradley di dunia etnografi. Menurutnya, cara terbaik untuk belajar etnografi adalah dengan melakukan etnografi. Dan, agar proses tersebut bisa berjalan secara sistematis, terarah, dan efektif, Spradley melengkapinya dengan suatu panduan metode yang khas, yang disebutnya The Developmental Research Sequence, yang didasarkan pada lima prinsip, yaitu teknik tunggal, identifikasi tugas, maju bertahap, penelitian orisinal, dan problem-solving. Kemudian, dengan menggunakan pendekatan etnosemantik, Spradley mengajak para (calon) etnografer untuk menekuni dua belas langkah pokok yang dapat digunakan sebagai panduan dalam teknik wawancara etnografis.

Dalam tingkatan kebutuhan yang paling praktis, buku ini cukup tepat untuk digunakan sebagai buku panduan perihal cara melakukan entografi selangkah demi selangkah. Oleh karenanya, buku ini sangat dianjurkan sebagai buku acuan bagi para peneliti etnografi pemula. Di samping itu, untuk kepentingan kajian komparasi dan pengembangan lebih lanjut mengenai metode penelitian, buku ini juga relevan untuk digunakan sebagai referensi pembanding jika pun bukan sebagai referensi utama bagi kalangan etnografer berpengalaman.

PROPOSAL METODE PENELITIAN KUANTITATIF; KOMUNITAS DISKUSI SEBAGAI GHIRAH PERUBAHAN MAHASISWA

A. Latar Belakang
Universitas Islam Negeri (UIN), yang dulu dikenal dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga adalah satu dari sekian perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki tradisi diskusi yang kuat. Realitas itu tidak bisa dilepaskan dari menjamurnya komunitas-komunitas diskusi di pojok-pojok kampus.”demikian marakknya kajian-kajian diskusi, dulu kita kesulitan mencari area yang bebas dari kerumunan-kerumunan mahasiswa” ujar Muhammad Shodiq sambil mengenang masa lalunya
Namun seiring dengan perputaran waktu komunitas-komunitas diskusi itu kian meredup bahkan menuju titik kepunahan. Hal ini bisa kita buktikan oleh minimnya kajian-kajian diskusi di pojok-pojok kampus saat ini. Saat ini kita jarang menemukan mahasiswa duduk membentuk lingkaran membahas, berdealektika, adu argumentasi serta mendiskusikan diskursus-diskursus suatu disiplin keilmuan atau memperpincangkan seputar realitas kebangsaan. Kalaupun ada, saat ini keberadaan komunitas diskusi bisa dihitung dengan jari. Padahal dulu kampus UIN Sunan Kalijaga sesak dengan kelompok-kelompok diskusi.

Ini merupakan fenomena menarik dan sekaligus permasalahan krusial yang mesti diperhatikan oleh elemen-elemen kampus, entah itu mahasiswa, karyawan, dosen, terlebih birokrat kampus mulai; tidak lain adalah jajaran Rektorat serta staf-stafnya karena beliaulah orang yang paling bertanggung jawab atas maju tidaknya out put UIN Sunan Kalijaga. Fenomena ini tidak bisa kita biarkan begitu saja, apalagi kita apatis. Permasalahan ini adalah permasalahan serius oleh karenanya kita mesti segara mencari penawar dari “krisis komunitas” ini. Kalau tidak, maka krisis komunitas akan terus berlangsung secara turun temurun yang pada akhirnya akan menjadi bongkahan karang yang sulit kita hancurkan.

Saya yakin semua mahasiswa sama-sama mengidealkan terciptanya iklim kampus yang akademis-ilmiah. Mahasiswa sudah bosan dengan aktifitas-aktifitas dan kebungkaman yang tanpa arti, tanpa makna dan esensi filosofis. Mahasiswa juga telah bosan dengan main stream berfikir bahwa ilmu pengetahuan hanya kita dapatkan dibangku kulia (kampus) apalagi hanya dari dosen. Lebih dari itu mahasiswa sangat jengkel dengan model pengajaran monoton (sistem ceramah) guru dikelas. Kita mengiginkan ruang-ruang dealektika yang lebih fleksibel, enjoy, alami serta mengasikkan. Menjamurnya kembali komunitas-komunitas diskusi merupakan jawaban dari sekian impian itu.

Kita lihat, bangunan-bangunan yang begitu megah pasaca konversi IAIN ke UIN dan mall-mall seperti halnya Carrefour, Saphir Square, Grand Stock Well dan banyak lagi yang lain merupakan salah satu indikasi atau motif meredupnya komunitas-komunitas diskusi yang ada. Tak heran model-model bangunan, life style yang semakin memanjakan mahasiswa menjadikan mahasiswa lebih asyik menikmati dan berbelanja dengan fasilitas-fasilitas mall yang ada disekelilingnya (baca; UIN). Belum lagi mahasiswa yang bisa dikatan kurang mampu ketika itu IAIN kini harus berganti juga pasca konversi ke UIN. Mahaiswa IAIN dulu yang rata-rata berasal dari menengah kebawah secara garis besar kini semakin berubah dengan beberapa style-style pakaian dan model-model rambut yang identik dengan zaman modern-posmodern yang telah mejangkint disekitarnya. Pada era antara 80-90an mahasiswa yang ber-rambut gondrong masih banyak ditemui di kampus IAIN Sunan Kalijaga yang sekarang UIN. Namun, sekarang sudah hampir tidak ada lagi disepanjang mata memandang.

B. Rumusan Masalah
Berdasar atas uraian latar belakang di atas, maka dapat disusun rumusan penelitian ini sebagai berikut:
1 Motif apa saja yang mempengaruhi meredupnya komunitas diskusi di UIN Sunan Kalijaga?
2 Seputar apakah komunitas-komunitas diskusi itu berdialektika?

C. Tujuan Penelitian
a. Proses belajar kepada dinamika sosial untuk menciptakan mahasiswa yang sadar akan realita kehidupannya untuk selalu progres dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
b. Memberikan pengetahuan dan merangsang nalar intelektual mahasiswa agar berfikir dan berperilaku secara kritis-partisipatif.
c. Meningkatkan wawasan dan pemahaman terhadap dialektika gagasan-gagasan mahasiswa.
d. Mempertajam kritis-intelektualitas dalam memahami Visi dan Misi komunitas diskusi mahasiswa.
e. Memahami peran dan fungsi mahasiswa sebagai kaum intelektual terdidik.

D. Tinjauan Pustaka
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa . Dilain pihak ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.

E. Definisi Operasional
Mahasiswa sebagai insan terdidik yang mempunyai pandangan kritis terhadap segala problematika kehidupan sosial masyarakat merupakan sebuah tanggungjawab besar yang harus ia jalankan. Tak cukup hanya sekedar kritis saja tentunya untuk melakukan sebuah perubahan sosial yang di inginkan seluruh elemen masyarakat demi terciptanya sistem atau tatanan yang tepat sasaran.

Hal ini dapat di lihat, sejarah Indonesia modern telah menunjukkan bahwa generasi muda yang diwakili oleh mahasiswa hampir selalu tampil sebagai penentu perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan bangsa. Setelah Indonesia merdeka, tampaknya gerakan kaum muda itu analog dengan perjuangan intelektual yang terjadi pada awal abad 20, dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Perubahan yang terjadi senantiasa ditentukan oleh kalangan muda kampus; mahasiswa.
Diskusi mahasiswa yang ada di kampus-kampus merupakan bentuk dari implementasi dan refleksi diri mahasiswa di bidang ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari bangku perkuliahan dan langsung diimplementasikan dalam bentuk riil sebuah diskusi dan pembacaan terkait isu-isu ataupun kebijakan yang dilakukan pemimpinnya guna menuntut perbaikan, mengkritisi dan menolak segala bentuk kebijakan sistem yang di bangun atas dasar kepentingan dan keinginan yang tidak jelas serta mengkungkung kreatifitas serta aktifitas mahasiswa dan masyarakat.

F. Kerangka Teori
Teori Interaksinisme Simbolik
Menurut Joel M. Charon, setidaknya ada tiga model pemikiran yang sangat mempengaruhi Mead, yaitu: filsafat pragmatisme, darwinisme, dan behaviorisme. Dari filsafat pragmatisme, setidaknya ada empat ide dasar yang nantinya juga menjadi pondasi dasar perspektif interaksionisme simbolik, yaitu: (1) segala sesuatu yang bersifat riil bagi kita selalu tergantung pada intervensi aktif kita sendiri, maksudnya, manusialah yang menginterpretasikan segala sesuatu; (2) pengetahuan bagi manusia selalu dikaitkan dengan situasi dan dinilai berdasarkan kegunaannya; (3) obyek yang kita alami dalam situasi tertentu selalu didefinisikan menurut kegunaannya bagi kita; dan (4) memahami manusia harus disimpulkan dari apa yang ia lakukan. Dari keempat ide tersebut setidaknya kita bisa menilai seberapa penting filsafat pragmatisme bagi perspektif interaksionisme simbolik yang memang menempatkan interpretasi sebagai poin penting dalam memahami perilaku manusia.

Kalau kita coba untuk merunut ide-ide awal dari para tokoh utama perspektif ini, seperti Mead, Cooley, Thomas, dan Park, yang kemudian disintesiskan oleh Blumer sebagai pencetus istilah interaksionisme simbolik hingga munculnya generasi penerus seperti Manford Kuhn melalui mazhab Iowa-nya serta Erving Goffman lewat dramaturginya, setidaknya ada beberapa istilah kunci yang perlu untuk kita pahami terlebih dahulu sebelum kita bisa menggambarkan lebih jauh bagaimana perspektif ini bekerja. Beberapa istilah kunci tersebut berkenaan dengan definisi tentang makna simbol, diri (self), interaksi sosial, dan masyarakat.

Dari nama perspektif ini saja kita bisa memahami sejauh mana urgensi simbol mempengaruhi seluruh konsep dasar dan cara kerja perspektif ini. Oleh karena itu, definisi tentang simbol perlu untuk kita kaji lebih jauh. Definisi tentang simbol yang dianut oleh perspektif ini tercermin dari ide-ide Mead yang kemudian dielaborasi lebih jauh oleh tokoh-tokoh sesudahnya, termasuk Blumer sendiri. Simbol dalam perspektif ini didefinisikan sebagai objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apapun yang disepakati untuk direpresentasikan. Bisa dikatakan, sebagian besar tindakan manusia merupakan simbol, karena ditujukan untuk merepresentasikan sesuatu melebihi kesan pertama yang kita terima, seperti orang akan tersenyum ketika menyukai lawan bicaranya, atau seseorang menyalakan lampu sinyal mobil untuk menunjukkan bahwa ia akan berbelok. Begitu juga dengan obyek lainnya. Bunga, misalnya, ia bisa menjadi simbol tetapi bisa juga bukan merupakan simbol. Ketika bunga digunakan sebagai obat-obatan atau untuk campuran makanan, maka ia bukanlah simbol. Tetepi apabila bunga digunakan untuk menyatakan rasa cinta pada orang lain maka ia menjadi simbol. Definisi tentang simbol seperti ini membawa kita pada tiga premis dasar dalam perspektif interaksionisme simbolik,sebagaimana yang diungkapkan oleh Blumer, yaitu: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki oleh sesuatu tersebut bagi mereka; (2) makna dari sesuatu tersebut muncul dari interaksi sosial seseorang dengan yang lainnya; dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui sebuah proses interpretasi pada saat seseorang berhubungan dengan sesuatu tersebut. Dari ketiga premis yang dilontarkan oleh Blumer ini, bisa kita simpulkan bahwa kedudukan makna simbol sangatlah urgen, sebab ia menjadi dasar bagi manusia untuk melakukan suatu tindakan. Disamping itu, hal ini juga mengindikasikan begitu pentingnya ketiga istilah kunci lainnya dalam memahami perspektif interaksionisme simbolik.

Istilah kunci kedua yaitu definisi tentang diri (self). Dalam perspektif interaksionisme simbolik, secara sederhana “self”didefinisikan sebagai suatu objek sosial dimana aktor bertindak terhadapnya. Maksudnya, kadangkala aktor atau individu bertindak terhadap lingkungan yang berada di luar dirinya, namun terkadang ia juga melakukan tindakan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Dengan menjadikan “diri” sebagai obyek sosial, seseorang mulai melihat dirinya sendiri sebagai obyek yang terpisah dari obyek sosial lain yang ada di sekelilingnya karena dalam berinteraksi dengan yang lain, ia ditunjuk dan didefinisikan secara berbeda oleh orang lain, semisal: “kamu adalah mahasiswa”, atau “kamu adalah mahasiswa yang pintar.” Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa “diri” akan selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali dalam interaksi sosial sesuai dengan situasi yang dihadapi. Dengan demikian, persoalan tentang penilaian dan identitas diri juga sangat terkait dengan situasi bagaimana seseorang harus mendefinisikan dan mengkategorikan dirinya. Salah satu contoh kongkret perubahan yang radikal tentang bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri terlihat jelas melalui studi Goffman tentang institusi penjara, tempat dimana para tahanan “dipaksa” untuk memanipulasi dunia personalnya melalui serangkaian isolasi, degredasi, maupun penghinaan diri sehingga ia harus mendefinisikan kembali konsep tentang dirinya.

Istilah ketiga yang perlu kita perhatikan disini adalah konsep tentang interaksi sosial. Dalam perspektif interaksionisme simbolik, interaksi sosial didefinisikan berkenaan dengan tiga hal: tindakan sosial bersama, bersifat simbolik, dan melibatkan pengambilan peran. Contoh yang sederhana untuk menggambarkan interaksi sosial adalah permainan catur. Ketika seseorang menggerakkan sebuah biji catur, seringkali ia sudah memiliki rencana untuk menggerakkan biji catur berikutnya. Namun, ketika pihak lawan merespon dengan menggerakkan biji tertentu, maka ia akan berupaya untuk menginterpretasikan langkah lawannya, mencoba untuk memahami makna dan maksud dari langkah pihak lawan dan kemudian berupaya untuk bisa menentukan langkah terbaik yang harus diambil, meski langkah tersebut berbeda dengan rencana sebelumnya. Dari contoh sederhana ini nampak jelas bahwa dalam interaksi sosial kita belajar tentang orang lain dan berharap sesuatu dari orang tersebut melalui pengambilan peran atau memahami situasi melalui perspektif orang lain untuk selanjutanya memahami diri, apa yang kita lakukan, dan harapkan. Oleh karena itu, interpretasi menjadi faktor dominan dalam menentukan tindakan manusia. Tidak seperti kebanyakan teoritisi psikologis yang melihat tindakan manusia berdasarkan pendekatan rangsangan dan respon, akan tetapi, setelah manusia menerima respon maka ia akan melakukan proses interpretasi terlebih dahulu sebelum menentukan tindakan apa yang harus diambil.

Istilah keempat yang cukup mendasar dalam perspektif interaksionisme simbolik adalah konsep tentang masyarakat. Sejalan dengan konsep-konsep dasar sebelumnya, yang lebih menekankan pada pentingnya individu dan interaksi, perspektif ini lebih melihat masyarakat sebagai sebuah proses, dimana individu-individu saling berinteraksi secara terus-menerus. Blumer sendiri menegaskan bahwa masyarakat terbentuk dari aktor-aktor sosial yang saling berinteraksi dan dari tindakan mereka dalam hubungannya dengan yang lain. Jadi jelas, bahwa masyarakat merupakan individu-individu yang saling berinteraksi, saling menyesuaikan tindakan satu dengan lainnya selama berinteraksi, serta secara simbolik saling mengkomunikasikan dan menginterpretasikan tindakan masing-masing. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa masyarakat merupakan produk dari individu yang dipandang sebagai aktor yang bersifat aktif dan selalu berproses.

G. Hipotesis
Akhirnya, bisa disimpulkan disini bahwa interaksionisme simbolik sebagai suatu perspektif melalui empat ide dasar. Pertama, sismbolik interaksionisme lebih memfokuskan diri pada interaksi sosial, dimana aktivitas-aktivitas sosial secara dinamik terjadi antar individu. Dengan memfokuskan diri pada interaksi sebagai sebuah unit studi, perspektif ini telah menciptakan gambaran yang lebih aktif tentang manusia dan menolak gambaran manusia yang pasif sebagai organisme yang terdeterminasi. Kedua, tindakan manusia tidak hanya disebabkan oleh interaksi sosial akan tetapi juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi dalam diri individu. Ketiga, fokus dari perspektif ini adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan pada waktu sekarang, bukan pada masa yang telah lampau. Keempat, manusia dipandang lebih sulit untuk diprediksi dan bersikap lebih aktif, maksudnya, manusia cenderung untuk mengarahkan dirinya sendiri sesuai dengan pilihan yang mereka buat.

H. Sample
Adapun sample dalam penelitian ini adalah Mahasiswa angkatan 2003, 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008 yang berjumlah 27 orang siswa. Dengan rencian :
- Sample Mahasiswa angkatan 2003: 2 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2004: 3 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2005: 4 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2006: 5 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2007: 6 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2008: 7 orang

I. Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sekitar Depan Gedung Multy Purpose dan halaman parkir Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.


J. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah deskriptif korelatif, yakni jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, seberapa eratnya hubungan tersebut, serta berarti atau tidaknya hubungan itu (Arikunto,2002).

K. Daftar Pustaka- Wersely, Peter, Pengantar Sosiologi sebuah Pembanding, Jilid 2, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992
- Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Sosial Psikologi Kelompok Terapan, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
- Nawawi, H. Hadari, Mimi H. Martini, Penelitian Terapan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
- Drs. Mardarlis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan proposal, Bunga Aksara, Jakarta, 2006
- Nasution, Prof. Dr. S. Metode Research Penelian Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta, 2006
- Berger, Peter L. Invitation to Sociology (New York: Anchor Books, 1963), hlm.106.
- Goffman, Erving Asylums: Essays on the Social Situation of Mental Patients and other Inmates (New York: Anchor Books, 1961), hlm.14-60.
- Blumer, Herbert Symbolic Interactionism: Perspective and Method (New Jersey: Prentice Hall, 1969
- Karim, M Rusli, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997
- Sanit, Arbi Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999.
- Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001
- Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001

SOSIOLOGI PEMBANGUNAN; DAMPAK INDUSTRIALISASI TERHADAP NASIP PETANI

Pendahuluan

Industrialisasi merupakan bentuk kecil dari modernitas akibat dari dinamika dunia. Bagaiamana tidak, Indonesia yang dulu kokoh dan kuat dalam hal pangan berdasar atas sistem agraria dan laut yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok kerja warganya bergeser, beralih pada pekerja buruh pabrik dan TKI. Sampai saat ini pun buruh dan TKI belum jelas nasibnya dan pemerintah terkesan tutup mata. Hal itu didasari atas maraknya protes dan tuntutan demonstran 1 Mei 2008 (May Day) kemarin. Mereka hanya ingin hasil kerjanya pada kaum-kaum borjuis dianggap, dihargai sepantasnya demi sejahteranya seluruh buruh di negeri ini.

Dampak industrialisasi menyebabkan tuntutan kehidupan yang lebih tinggi dalam proses mempertahankan hidup. Jelas nantinya menggeser sedikit, banyak daya nalar dan berpikir masyarakat. Masyarakat yang dulu nyaman dengan bertani sebagai pekerjaan pokok kadang harus rela melihat generasinya (anaknya) ogah mengikuti jejak langkahnya. Iming-iming kota besar dengan bebagai macam fasilitas industri, gaji yang agak lumayan besar. Akibatnya, fakumnya pertanian yang menjadi sumber pokok Indonesia (agraria) harus merelakan pemudanya bersimpuh lutut pada kaum-kaum borjuis yang terus dengan angkuhnya memeras tenaga. Imbasnya Indonesia menjadi pemasok TKI paling besar, Malaysia, Arab Saudi, Brunei dan lain-lain, lihat (suarapembaruan.com dan www.tempointeraktif.com).

Namun hal ini berbanding terbalik. Padahal pemerintah Indonesia pernah bertekad untuk mencapai swasembada beras dalam tempo lima tahun ketika Repelita I dimulai pada tahun 1969. Negara tidak berhasil mencapai tujuan ini, namun swasembada beras menjadi tujuan implisit dan eksplisit dalam semua kebijakan pertanian Indonesia sampai tujuan tersebut dicapai 15 tahun kemudian pada tahun 1984, 1994 dan tahun kemarin 2008. Misi ini sesungguhnya merupakan misi yang sangat berat bagi Indonesia, yang relatif mudah direncanakan namun jauh lebih rumit dan sukar dalam pencapaiannya.
Untuk mengerti pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya. Ketika harga beras melonjak sampai pada titik dimana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.

PEMBAHASAN

Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud. Gambaran tersebut seharusnya tidak lantas mengisolir perekonomian nasional sebagaimana kerap dicurigai sebagian kalangan. Kerja sama dengan negeri-negeri lain di seluruh dunia, tentu sangat penting sehingga perlu dipererat. Namun kerja sama tersebut bukan dalam bentuk hubungan yang eksploitatif tapi, hubungan yang setara dan saling memajukan. Bahkan, apabila kedaulatan dan kemajuan berhasil dicapai, akan semakin membuka potensi kita memajukan negeri-negeri terbelakang lain yang saat ini masih senasib.
Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern, dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif, negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme. Tanpa ketahanan ekonomi, kedaulatan negeri ini - terutama kedaulatan rakyatnya - berhenti sebatas cita-cita.

Menjelaskan program industrialisasi nasional secara konkret, baik rangkaian transaksi maupun variabel-variabelnya, bukan perkara sederhana. Sebabnya, transaksi dan variabel industrialisasi merupakan peta jalan, menuju cita-cita industrialisasi nasional yang berhubungan dengan rincian dalam aspek mikro maupun makro ekonomi sebagaimana pertanian yang menjadi khas pencaharian penduduk Indonesia. Tapi, di sini saya coba mengurai dalam batasan secara umum, dengan berangkat dari apa yang ada, serta menghadirkan apa yang seharusnya sudah ada tapi belum ada, dalam syarat sebagai negeri modern dan berkeadilan sosial.

Variabel kerja pokok yang saling berhubungan dalam batasan tersebut: pertama, bagaimana program industrialisasi nasional dapat melindungi lahan pertanian dan faktor lingkungan, sehingga tidak semakin hancur karena pencemaran limbah-limbah pabrik yang merusak. Kedua, bagaimana program industrialisasi nasional dapat mengambil-alih atau melakukan proses transfer kepemilikan atas sumber daya produksi vital, energi, teknologi dan ilmu pengetahuan, yang masih dikontrol oleh korporasi asing ke dalam kontrol negara (meski tidak harus berbentuk BUMN, melainkan lewat pengetatan kebijakan ekonomi); ketiga, bagaimana program industrialisasi nasional dapat menciptakan dan mengembangkan sumber daya produksi baru tentunya tnpa meninggalkan pertaniain (agraria) sebagai tonggak pencaharian penduduk pada umumnya. Pada tahap awal (sumber daya produksi baru tersebut), diciptakan dan dikembangkan menurut kebutuhan memajukan sektor-sektor produksi vital yang masih tertinggal dari segi teknologi dan sistem produksi seperti, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Mungkin bagi sebagian pembaca, persoalan imperialisme atau neoliberalisme sebagai bentuk mutakhir imperialisme, sudah sering ditelaah. Namun, pengantar pada dua sub judul berikut sengaja ditampilkan untuk mengerucutkan masalah.
Menilik pada sejarah kehadirannya, seluruh industri termaju di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Bila dibandingkan, sistem yang berjalan sekarang hanya kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial, yang sempat terinterupsi sejenak di masa revolusi kemerdekaan dan separuh masa pemerintahan nasionalis Soekarno. Latar belakang sebagai negeri yang perekonomiannya bergantung pada asing ini, membawa kerawanan yang sudah diramalkan sedari awal. Padahal rata-rata adalah agraria mata pencahariannya.

Akhir 1960-an sampai dekade 1970-an, industri tambang menjadi primadona dengan sebagian besar hasil eksploitasi dibawa ke luar negeri, baik barang dagangan maupun akumulasi keuntungannya. Pada dekade 1980-an industri manufaktur mulai berkembang, sebagai akibat kebijakan deregulasi pada sektor finansial. Deregulasi sendiri merupakan hasil desakan ekspansi finance capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa negeri berkembang—karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi pada sektor produktif di negeri-negeri asal (kapitalis maju). Peran finance capital ini, selain melahirkan pembangunan jalan raya, pelabuhan, bendungan, infrastruktur lainnya, dan industri manufaktur, juga melahirkan praktek rente besar-besaran. Selain oleh utang luar negeri, praktek rente juga kian disuburkan oleh kredit-kredit yang begitu mudahnya dikeluarkan oleh bank-bank dalam negeri. Utang-utang tersebut, kini menjadi jerat atau dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan ekonomi sesuai kehendak korporasi internasional. Selain itu masih harus dibayar oleh negara dengan pemotongan terhadap hak-hak rakyat akan jaminan kesejahteraan.

Modal yang masuk dalam bentuk utang dan spekulasi tadi, baik pada sektor pertambangan, manufaktur maupun yang sekedar berputar di pasar modal, tidak memberi landasan bagi industri yang mandiri, dan tanpa arah strategis yang jelas. Sampai saat ini, Indonesia masih harus membeli bahan baku setengah jadi hasil olah teknologi dari luar. Contohnya, hasil pertambangan bauksit masih harus dikirim ke Jepang untuk dapat diolah menjadi alumunium, dan banyak contoh lainnya. Mesin-mesin juga masih didatangkan dari luar, karena investasi yang masuk tidak berkepentingan memroduksi mother machine (induk mesin/mesin pencetak mesin). Satu-satunya perusahaan di Indonesia yang pernah memiliki induk mesin adalah PT. Texmaco Engeneering, namun tidak berlangsung lama karena bangkrut (dibangkrutkan?). Ketergantungan lainnya adalah terhadap pasar (dengan semboyan: orientasi ekspor), sementara seringkali kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.

Dalam penetrasi modal demikian, sektor pertanian menjadi sasaran praktek eksploitasi kota terhadap desa. Saat industri manufaktur tumbuh pesat pada dekade 80-an dan 90-an awal, tenaga produktif pertanian sama sekali tidak berkembang. Industri hanya menyentuh sektor pertanian sebagai pasar, sehingga proyek-proyek di pedesaan pun dilakukan semata untuk memuluskan tujuan tersebut. Bila dilihat sekilas, pembangunan infrastruktur jalan raya, bendungan, pengenalan terhadap bibit dan pupuk jenis baru, tampak menguntungkan masyarakat desa. Namun, karena tujuannya bukan untuk memajukan pertanian maka, dampak yang dihasilkan pun merugikan dalam jangka panjang. Misalnya, dampak penggunaan pupuk pada kesuburan tanah, dsb. Ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi sehingga, tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Bidang pendidikan menerima ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan yang sama sekali tidak mengembangkan cara berpikir kritis.

Kelemahan dalam perkembangan tenaga produktif (teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga dari (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.

Semua kebijakan ini bekerja sama dan berperan penting dalam kemajuan pembangunan sektor pertanian Indonesia. Kemajuan ke arah swasembada beras tidaklah gampang. Impor beras yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini telah banyak memberatkan para petani. Keterpurukan sektor pertanian di lndonesia bisa dikatakan dimulai ketika pemerintah Orde Baru mempraktikkan program pertanian yang berorientasi kepada “Ideologi Revolusi Hijau” tahun 1970-an hingga 1980-an. Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah. Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. lronisnya harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah.
Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni:
 Menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
 Memperpuruk tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.

Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme. Kebijakan lmpor beras adalah pemenuhan kesepakatan AOA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AOA terdiri dari:
1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri., baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya.
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.
3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.

Dampak pemenuhan kesepakatan AOA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di lndonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan AOA WTO, lndonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun.

Sementara itu, beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985 dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi ekologis. Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975, ”Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan. Namun demikian, fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam, bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan” (Timmer 1975, hal.198, dalam Prawiro 1998, hal. 175).

Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan ’shared poverty’ (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin. Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa mengubah struktur sosial secara besar-besaran, ”Setiap usaha untuk mengubah arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk diatas lahan pertanian di Jawa yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis” ( Geertz 1963, hal. 146, dalam Prawiro 1998, hal. 176).

Hasil survei LSM KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) tahun 2003 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektar kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektar untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp. 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain. Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektar yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp. 3,5 juta hingga Rp. 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp. 1 juta sampai Rp. 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp.700ribu/bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini. Padahal, Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
2. Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian.
3. Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan.

Kebijakan pemerintah saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.

Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, diantaranya :
1. Dari segi sarana dan prasarana, tidak ada dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian pada industrialisasi yang kadang pula kurang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para politikus membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum. (http://www.kompas.com)

Analisis
Bergesernya pemikiran masyarakat tentang bagaimana cara mempertahankan hidup untuk memenuhi kebutuhan pangan menjadi titik pokok bahasan kali ini. Hal ini disebabkan modernisasi dan industrialisasi yang terus menggerogoti indonesia. Meski memang modernisasi Barat didahului oleh komersialisasi dan industrialisasi, sedangkan di negara non-Barat, modernisasi didahului oleh komersialisasi dan birokrasi. Jadi, modernisasi dapat dilihat terlepas dari industrialisasi-di Barat modernisasi disebabkan oleh industrialisasi, sedangkan dikawasan lain modernisasi menyebabkan industrialisasi. Yang jelas, baik modernisasi maupun industrialisasi menyangkut unsur penting pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan ekonomi tak dapat terjadi terlepas dari industrialisasi, dan industrialisasi ini senantiasa menjadi bagian integral dari modernisasi.

Dalam analisis ini, para petani yang dulunya banyak dan mampu menghasilkan hasil panen yang baik harus rela sebagian tanah yang ia miliki dijual kepada kaum-kaum borjuis. Bahkan tidak menuntut kemungkinan birokrasi dalam menentukan kebijkakan seolah-olah dengan bebasnya konversi lahan pertanian dengan bebas. Padahal, sejak awal adanya kaum borjuis ingin memonopoli dan menindas serta mengeksploitasi besar-besaran negeri ini. Tak dielakkan lagi, kemudian muncullah kapitalisme yang jelas hanya ingin mengeksploitasi dan merusak Indonesia sebagai lahan subur dunia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Belum lagi penciptaan mitos pasar-global yang selalu menghantui rakyat dan sistem perekonomian Indonesia. Kenyataan ini dilihat dalam kurun waktu yang cukup begitu singkat pada tahun ’90-an tanah persawahan yang dulu luasnya berhektar-hektar menyempit akibat dibangunnya pabrik-pabrik industri yang dalam taken kontraknya jelas-jelas kurang begitu menguntungkan pemerintah dan penduduk setempat terutama. Meskipun sekrang sedangn marak-maraknya perbincangan tentang nasionalaisasi aset-aset bangsa dan perjelas pembagian labanya.
Masalahnya adalah di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masyarakat, termasuk dunia bisnis, justru sering menghendaki campur tangan pemerintah, walaupun dalam retorika, mereka menghendaki deregulasi. Antara deregulasi dan intervensi sering sangat kabur batas-batasnya. Sebagai contoh PP No.20/1994 yang dinilai bertentangan dengan UU PMA No.1/1967. Di satu pihak peraturan itu memang lebih memperlancar masuknya modal asing dan penanaman modal umumnya. Di lain pihak hal itu mengandung campur tangan pemerintah atau yang menguntungkan grup-grup bisnis besar tertentu.

Sebelum itu, pada tahun '60-an pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemerosotan sehingga menimbulkan krisis politik pada tahun 1965-1966. Higgins, ekonom yang pernah bekerja di Indonesia, juga menyebut perekonomian Indonesia hingga pertengahan ’60-an sebagai the chronic droup-out, belajar dari pengalaman itu pemerintah Orde Baru mengundang kembali modal asing untuk melaksanakan industrialisasi lewat UU No.1/1967. segera setelah membuka pintu kepada modal asing, pemerintah Orde Baru juga memberi kesempatan kepada modal dalam negeri untuk melaksanakan tugas yang sama melalui UU No.1/1968. Sebagaimana di duga dan telah di sadari, misalnya oleh Menteri EKUIN pada waktu itu, Sri Sultan H.B IX, pemodal dalam negeri yang telah siap adalah pengusaha non-pribumi. Sekali lagi, industrialisasi semasa Orde Baru mengahadapi ganjalan baru dalam sistem pemilikan. Pada dasawarsa ’80-an menjadi jelas bahwa golongan etnis inilah yang mendominasi perekonomian. Monopoli dan oligopoli dipersoalkan. Ini di ikuti dengan identifikasi gejala konglomerasi. Sebagian besar aset industri dan perusahaan-perusahaan besar pada awal ’90-an ternyata berada di tangan golongan etnis tersebut.

Pemilikan pribadi modern ini sesuai dengan negara modern, yang pelan-pelan dibeli oleh orang-orang yang mempunyai milik dengan cara perpajakan--telah jatuh semuanya ke dalam tangan orang-orang ini lewat hutang nasional, dan kehadiran negara itu telah menjadi tergantung sepenuhnya kepada kredit komersial, yang diberikan kepada negara oleh para pemiliki-pemilik, yaitu kaum borjuis, sebagaimana tercerminkan oleh naik turunnya dana negara di bursa saham.

Seperti halnya di Jepang pada awal tahun-tahun modernisasinya hasil pajak tanah merupakan bagian terbesar dari seluruh hasih pajak, yang bagi pemerintah Jepang merupakan biaya untuk usaha modernisasinya. Pada tahun 1868 bagian itu adalah 68, 7 % dan pada tahun 1877 83,2%. Sementara itu ini berarti, mahwa petani di Jepang harus memikul korban yang berat untuk modernisasi yang dipaksakan itu. Ini terbukti dari kenyataan, bahwa selama periode 1868-1912 telah terjadi 210 kali pemberontakan petani. Dilihat dalam lingkup masyarakat pedesaan sendiri mungkin modernisasi itu dipandang sebagai suatu yang tidak menyenangkan, yang maunya sedapat mungkin hendak dihindari, atau sebagai sesuatu yang terpaksa harus diterima, suatu yang merugikan kehidupan dan tata cara sendiri. Belum lagi para pemimpin negara yang feodalis terus menggerogoti tanah rakyat dengan segenap kekuasannya.

Dilain pihak pandangan tentang kota-kota besar mengakibatkan daya pikir pemuda yang sekarang terkesan hura-hura (hedonis) belaka menjadi indikasi cukup signifikan dalam dunia pertanian. Mereka (pemuda) menganggap bahwa bekerja di kota lebih-lebih Jakarta sebagai kota metroplitan, di pabrik industri merupakan sebuah kebanggaan yang mahal harganya. Akibatnya sangat jelas mereka melakukan perpindahan dari desa ke kota (urbanisasi) hanya untuk mencari pekerjaan dikota dan berharap dengan mudah mendapatkannya. Dalam pandangan ini, mungkin industrilisasi sebagai kepentingan para pemimpin/kaum-kaum borjuis untuk mengkosongkan lahan pertanian, membeli dengan uang yang ia miliki dan mengeruk habis/eksplotasi sumber daya alam di Indonesia, sebagai gantinya iming-iming gaji dan kahidupan kota yang hedonis belaka.

Semua itu dimungkinkan oleh adanya uang. ”Barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak-cendikia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya--sejauh satu sen.” Carlyle dan Marx sepakat bahwa misteri uang, yakni transendensinya, sebagaimana terungkap melalui pakaian yang menandai perbedaan kelas dan perbedaan kekuasaan, menyangga tatanan sosial. Keduanya sama-sama berpendapat bahwa berbelanja untuk menjaga penampilan adalah sesuatu yang perlu, meskipun Karl Marx, tidak seperti Carlyle, mengangap keperluan semacam itu teramat sangat irasional. (Dalziel Duncan, Hugh, 1997)
Ada beberapa faktor yang seolah-olah mengusir penduduk dari pedesaan, dan engganya untuk menjadi petani sehingga pertanian fakum tanpa orang. Ada faktor-faktor yang menyebabkan hal semacam itu, diantara:

a. Daya tarik ekonomi dari kota (industri), orang berharap akan mendapat pekerjaan di sana dan dengan demikian mendapat uang. Bagi banyak orang ini suatu keharusan, karena di desa-desa tidak ada mata pencaharian lagi atau tidak ada kesempatan untuk mencari uang. Orang-orang mencari perbaikan nasib di kota atau mencari kesempatan kerja yang dipandang lebih sesuai dengan pendidikannya di sekolah. Bertani menjadi hal yang dianggap level rendah, tidak sesuai dengan pendidikannya.

b. Pekerjaan yang lebih sesuai dengan pendidikan, ialah usaha untuk mengangkat posisi sosialnya dengan cara pergi ke kota dan bekerja di pabrik sana. Pendidikan modern menciptakan pola nilai dan pola harapan baru. Anggapan kehidupan kotalah yang sesuai dengan pendidikannya itu. Akibatnya pertanian fakum tanpa perhatian.

c. Kota-kota itu merupakan daya tarik, karena fasilitas pendidikan di situ di nilai lebih baik dari pada di pedesaan. Dilain pihak orang tua yang ingin agar anaknya dapat memanfaatkan kesempatan baru untuk naik status sosialnya, ketika pindah ke kota. Daya tarik itu juga dapat timbul karena adanya fasilitas-fasilitas sosial lainnya, kemudian daya nalar anak akan terbiasa dengan kehidupan serta fasilitas di kota dan enggan kembali ke desa untuk meneruskan dan memberdayakan bidang agraria.

d. Kota merupakan daya tarik sebagai pusat kesenangan dan hiburan dan sebagai tempat dimana orang dapat mencari pengalaman baru dalam bayangan suasana hangat dan meriah. Jelas daya tarik yang satu ini, kelap-kelip lampu kota hedonisitas kehidupan malam kota, hura-hura pemuda membuat miring pikiran pemuda, akhirnya kehidupan di desa dan menjadi petani merupakan hal yang dianggap menurunkan martabatnya sebagai pemuda.

e. Life style dan gengsi yang menjadi tren pemuda membuat fakumnya penerus pertanian bagi proses agraria negeri ini. Merupakan imbas dari adanya industrialisasi yang disebabkan oleh modernisasi yang merebak di desa-desa.

f. Iming-iming atau tawaran gaji yang dianggap cukup menggiurkan dari pihak industri (pabrik) untuk menjadi buruh yang sampai saat ini tidak jelas diperhatikan nasibnya. Belum lagi pembagian kerja dan jabatan dalam produksi pabrik-pabrik industri yang nantinya akan menyebabkan stratifikasi antara orang yang atas dan bawah berdasar atas kepetingan-kepentingan semata. Menurut Marx, kelas-kelas akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beraneka ragam, yang memungkinkan terjadinya surplus produksi.

Kemungkinan industrialisasi terus berjalan, berdasar logika industrialisme maka masyarakat industri akan mengikuti pola-pola tertentu sejalan dengan kebutuhan sistem industrial. Beberapa ciri yang lebih umum dari masyarakat industri adalah: 1) terjadinya kemerosotan pengaruh dan kewibawaan lembaga-lembaga keagamaan serta pemisahan urusan politik, ekonomi dan keduaniawian umumnya dengan masalah agama yang bersifat pribadi, 2) tumbuhnya masyarakat kota dengan perilaku yang mengikuti budaya kota, 3) masyarakat mudah bergerak dan berubah menurut tempat dan jenis pekerjaan, 4) proses politik menjadi semakin demokratis, 5) pecahnya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan dan ikatan-ikatan primodial lainnya yang digantikan dengan ikatan-ikatan baru, dan 6) pudarnya hubungan-hubungan tatap muka, kebersamaan, alami, akrab atau paguyuban (gemeinshaft) digantikan dengan hubungan patembayan (gesellshaft) yang didasarkan kepada kepentingan dan konflik.

Telah jelas kiranya, bahwa beberapa faktor di atas merupakan indikator yang menunjukkan adanya beberapa efek atau dampak yang kurang baik bagi pertanian dalam hal ini petani sebagai subyek. Pertanian harus sangat diperhatikan oleh negara dengan sistem agraria menggunakan konsep yang jelas dan yang paling penting adalah demi terciptanya kesejahteraan rakyat indonesia. Sebagaimana laut pun merupakan lahan yang sangat bagus untuk tetap terus menjadi perhatian pemerintah dalam memakmurkan rakyatnya ini. Indonesia sebagai negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar semestinya mampu mensejahteraan rakyatnya dan harus tetap melindungi tumpah darahnya, demi tercapai harapan-harapan bangsa dan negara sesuai pembangunan nasional yang direncanaka. Semoga tetap semangat Indonesiaku.

PENUTUP

Dengan alasan kompleks di atas nasib pertanian dan kesejahteraan petani pun menurun drastis baik dari produk penghasilan, pemuda-pemudanya maupun orang tua mereka. Tidak mempunyai penerus yang menghidupkan sawah atau ladanganya. Lama kelamaan tanah yang ia punya akan dijual dan kaum borjuis yang akan mengambil alih. Berbagai cara memperdaya, membius masyarakat dan meraup seganap keuntungan dengan skala besar. Kepentingan-kepentingan yang konspiratif dilakukan oleh para birokrasi pemerintahan guna mengeruk keuntungan besar dengan adanya lahan kosong yang ingin dijual oleh petani tersebut. Selanjutnya kemiskinan yang terus mengintai rakyat indonesia.
Maka industrialisasi merupakan hal yang seyogyanya dihindari [industrialisasi boleh ada, namun harus jelas bagaimana mensejahterakan (take and give) negara maupun buruh/pegawainya, sesuai UMK (upah minimum kerja), UMR (upah minimum regional) dan yang terpenting bukan orang-orang asing yang menguasainya, agar aset negara tidak dimonopoli dan di eksploitasi, serta para petani masih tetap eksis tanpa ada intervensi dari pihak industri maupun pabrik setempat. Bagi kalangan pekerja tradisional maupun modern seperti halnya petani, imbasnya jelas seperti di atas mulai dari hasil produksi, lahan pertanian menyempit, kekurangan penerus, sampai harga yang mengalami kongkalikong. Hal di atas bukan untuk pribadi tentunya, melainkan untuk kehidupan bangsa, negara, generasi selanjutnya dan kekuatan pangan di negeri Indonesia yakni agraria dan tentunya mampu bersaing tingkat global.
DAFTAR PUSTAKA

 Lauer, Robert H., 2003, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta
 Prof. Dr. Schoorl, J.W 1982, Modernisasi; Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta,
 www.suarapembaruan.com
 Prof Dr Bachtiar, Wardi MS., 2006, Sosiologi Klasik, Rosdakarya, Bandung,
 www.suaramerdeka.com
 Dalziel Duncan, Hugh, 1997, Sosiologi Uang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
 www.tempointeraktif.com
 Ba Yunus, Ilyas-Ahmad, Farid 1996, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Mizan, Bandung,
 Dr. Nasikun, 2007, Sistem Sosial Indonesia, Rajawali Perss, Jakarta,
 M. Dawam Raharjo, 1999, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta,
 Geertz, Clifford (1963), Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, Berkeley: University of California Press.
 Anthony Giddens, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, Jakarta,
 Ritzer, George - Goodman, Douglas J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta.
 Departemen Penerangan 1969, vol. 2a, hal. 10
 Prawiro, R. (1998), “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi”, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

GERAKAN SOSIAL; GERAKAN MAHASISWA DAN PERGOLAKANNYA

BAB I
PENDAHULUAN


Berbicara mahasiswa, tentunya tak lepas dari gerak-geriknya sebagai insan kritis-terdidik dalam menanggapi sekian problem sosial-kemasyarakatan, baik sistem kenegaraan, problem kebangsaan sampai pada public policy (kebijakan publik). Dan tentunya hal ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan jika kita berbicara mahasiswa, karena mahasiswa adalah predikat yang amat "eksklusif". Disebut eklsusif karena mahasiswa adalah sosok yang istimewa dipandang dari sudut apapun dan dari manapun serta mempunya cerita yang istimewa mahasiswa dari masa ke masa, baik di Negara maju maupun di Negara berkembang layaknya negeri kita ini, Indonesia.

Di negara Indonesia sendiri, mahasiswa mempunyai peranan sangat penting dalam mengawal masyarakat, memotifasi masyarakat dan bahkan mampu merubah sejarah kebangsaan dan perjalanan demokrasi di bumi Nusantara ini. Sebut saja peristiwa tumbangnya Orde Lama 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) 1974, NKK/BKK 1978, pencabutan NKK/BKK 1990 dan runtuhnya rezim Orde Baru sebagai tonggak Reformasi 1998. Catat saja bagaimana peranan mahasiswa mampu merubah wajah perpolitikan saat itu yaitu dengan Gerakan-gerakan politik moral. Jauh beberapa tahun kebelakang kita mengenal angkatan gerakan kemahasiswaan dengan segala momentum sejarah kebangsaan di tanah air. Tak heran kemudian, keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, torehan sejarah keberadaan gerakan mereka menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni birokrat. Taruhlah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagai organisasi mahasiswa yang yang tentunya tak lepas dari sumber gerakan mahasiswa itu sendiri. Karena kita tahu bahwa organisasi tersebut jelas memiliki ideologi masing-masing dengan berdasar atas kesepakatan bersama sebagai sebuah organisasi mahasiswa. Meskipun pada sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa sekarang ini gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dan kecenderungan terhadap partai politik dalam entitas dan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama lain.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Sekilas Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia(Era Reformasi)

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998 (era Reformasi)
Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR dan gerakan mahasiswa mencapai klimaksnya pada tanggal 12 Mei 1998 Soeharto tumbang dari kursi kepresidenannya. Sebelumnya, hal ini di diawali dengan terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997. harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa Orde Baru, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto (dikenal dengan sebutan jalur ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar) dalam pemerintahannya) melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.

B. Gerakan Mahasiswa Islam Ekstra Kampus
Sebagaimana telah disebutkan di atas, gerakan mahasiswa atau yang koordinir beberapa organisasi mahasiswa seperti HMI, PMII, KAMMI dan IMM merupakan organisasi atau sebuah wadah gerakan bagi mahasiswa diluar lingkungan kampus. Organisasisi ini hingga sekarang masih eksis dalam dunia monitoring, kaderisasi, pengawalan, motivasi dan sebagai organisasi atau gerakan control terhadap public policy (kebijakan public) birokrasi maupun tindakan-tindakan yang dianggap mengganggu stabilitas sosial-masyarakat. Tak heran kemudian organisasi ekstra kampus ini dilirik oleh berbagai pihak, karena secara gagasan dan organisatoris pun terlihat baik.

Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

Dilain pihak ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi. Diantara organisasi itu adalah:

1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.

Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.”

1. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di petengahan tahun 1972 PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU dalam Musyawarah Besar di Munarjati Malang 14 Juli 1972.

Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.

2. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.

Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.

Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.

3. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998. Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.

Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat. Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya, harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.

C. Organisasi; Mahasiswa Islam dalam Pergulatan Teologis
Sejak awal berdirinya, sebagian organisasi mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. Misalnya saja IMM yang terang-terangan mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII meski secara struktural independen, namun masih memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan organisasi mahasiswa yang lain, HMI dan KAMMI, tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul akibat beragamnya metode pendekatan teologis, sebagai basis ideologi yang mereka bangun.

Kebebasan berpikir yang telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi yang telah ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini merupakan hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu. Terlebih lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang baru.
Pemikiran teologi dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.

Dalam melakukan telaah keagamaan, mahasiswa Islam mengadopsi beberapa pemikir-pemikir Islam kontemporer, baik tokoh pemikiran Islam di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat dan lainnya, sampai tokoh dunia Islam yang cukup berpengaruh saat ini, diantaranya Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Yusuf Qardlawi, M. Abed Aljabiri, Fazlur Rahman dan masih banyak lagi. Ketajaman analisis dan disiplin dalam mempergunakan metode, membuat para tokoh tersebut dikagumi banyak kalangan mahasiswa Islam. Sampai kemudian pemikiran mereka menjadi referensi utama bagi gerakan mahasiswa Islam, bahkan tidak jarang dikritisi dan dianalisis secara mendalam.

Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia. Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide.

Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relatif dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia.
Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam Islam. Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan perbedaan dari orang lain.

HMI Dipo telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.
Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya. Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan (status quo) struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut.
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru. Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena orientasi hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh dipegangi dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dan kehidupan sosial. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.

Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.
Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan bermuara pada satu titik yang sama yakni Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan suatu bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki Tuhan. Yang terpenting bagi agama saat ini adalah harus membawa kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.

Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai kritik wacana agama. Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan ideologi. Titik perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau cara-cara berpikir yang secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara sadar maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid. Makna “Islam Liberal” dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat wacana. Gagasan tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan umat di lapisan bawah.
Berbeda lagi dengan IMM, ormas mahasiswa Islam yang satu ini tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh kultur yang ada di Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, tentu saja tidak bisa lepas dari agama sebagai landasan teologis dalam berpikir, bertindak dan berinovasi. Aspek teologis ini penting karena dari sinilah Muhammadiyah melancarkan purifikasi agama atau pemurnian tauhid dari segala bentuk praktek keagamaan yang berbau takhayyul, bid’ah dan khurafat. Dengan langkah ini sebenarnya Muhammadiyah ingin melangkah ke arah praksis, yaitu memperbaharui pola pikir umat yang lebih “membumi”, tidak mistis dan metafisis semata.
Pada konteks historis, dulu pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis di Muhammadiyah, sehingga seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah cukup mengesankan. Namun saat ini, citra Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan Islam modernis telah memberikan “kepuasan” tersendiri yang secara tidak disadari telah “memanjakan” Muhammadiyah dalam kemapanan wacana keagamaannya. Azyumardi Azra mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang monolistik (salafiyah). Padahal kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.

Dengan demikian, Muhammadiyah telah mengalami kebekuan dalam mengkontruksi wacana teologinya. Muhammadiyyah terlalu disibukkan dengan aktivitas amal usahanya yang secara tidak langsung mendorong formalisasi agama.
Kondisi semacam ini berimbas pada IMM secara langsung. Krisis wacana yang dialami kader-kader IMM kemudian berakibat pada semakin banyaknya mereka yang menyibukkan diri di amal usaha Muhammadiyah. Meski begitu, tetap saja ada kelompok minoritas kreatif yang tekun melakukan rekontruksi wacana teologi serta relevansinya dengan tantangan umat Islam dan Bangsa Indonesia saat ini. Salah satunya adalah Fajar Riza Ul Haq kader muda Ketua Pimpinan Cabang IMM Sukoharjo. Fajar dengan fasih berbicara tentang kelemahan teologi inklusifnya Nurcholish Madjid yang berhenti pada tataran wacana tidak membumi dalam bentuk praksis pembebasan. Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, Fajar menyatakan perlunya menggeser teologi inklusif kearah teologi pluralis yang liberatif terhadap kaum tertindas. Bangunan epistimologi teologi pluralis adalah meyakini setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, jadi menghargai pluralitas teologi agama-agama. Sayangnya wacana ini belum berkembang di sebagian besar pemikir-pemikir Muhammadiyah.

KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak pergerakan yang khas. Jaringan mereka sangat luas dan telah ada hampir diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di puji banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini. Kehadiran massa dalam jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan KAMMI dalam mendukung gerakan reformasi.

Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem yang total (kaffah) merupakan solusi terbaik dalam menjawab tantangan kemanusian. Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi individu, tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial. Karena itu kemenangan Islam dalam keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan.
Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci. Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur’an dan Hadits. Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang (ghiroh) tersendiri bagi KAMMI.

D. Analisis; Relasi Politik dan Gerakan Mahasiswa
Untuk mengetahui relasi politik gerakan mahasiswa terhadap kondisi sosial politik yang berlangsung, tidak bisa dilepaskan dari tesis Clifford Geertz tentang politik aliran. Aliran menurut Clifford Geertz ditandai oleh beberapa ciri. Pertama, aliran adalah suatu gerakan sosial yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi pengelompokan politik. Kedua, walaupun suatu aliran didefinisikan secara ideologis, namun biasanya ia dijiwai oleh cita-cita moral yang lebih luas. Ketiga, walaupun mengalami kristalisasi menjadi suatu pengelompokan politik, sebuah aliran biasanya dikelilingi oleh sebuah organisasi sukarela yang terikat secara resmi maupun tidak resmi dengan pengelompokan politik yang menjadi pusatnya.

Tipologi Geertz ini kemudian dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance Castle yang membagi pemikiran politik Indonesia waktu itu ke dalam lima golongan: marxisme, Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal, Islam (terdiri dari modernisme Islam dan tradisionalisme Islam) dan tradisionalisme Jawa. Tipologi ini kemudian berkembang tidak hanya pada wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu mempengaruhi afiliasi pemilih waktu itu.

Menurut Geertz, afiliasi pemilih juga berdasarkan pada pengelompokan budaya ini. Kelompok santri kebanyakan berafiliasi ke NU dan Masyumi, abangan sebagian ke PKI, priyayi lebih banyak berafiliasi ke PNI. Basis aliran ini kemudian berkembang menjadi ideologi politik aliran yaitu Islam, nasionalis, komunis dan sosialis meskipun kelompok terakhir jumlahnya sangat kecil. Pemilu pertama tahun 1955 membuktikan dari sekian banyak partai yang muncul, empat partai besar sebagai pemenang dan semuanya mengambl tipologi Geertz sebagai basis ideologi mereka yaitu nasionalis diwakili PNI, Islam dengan Masyumi dan NU, Komunis dengan PKI dan Sosialis dengan PSI.

Perkembangan pemilu 1999 menunjukkan gejala yang hampir sama meskipun tidak seratus persen. Bahkan ada kecenderungan pada sebagian partai untuk menghidupkan fenomena politik tahun 1955. Ada sisi menarik dari dalam hal afiliasi politik yang sifatnya cenderung ideologis. Suara NU dan PNI tidak mungkin beralih ke partai- partai yang identik dengan Masyumi (PBB, PK atau PAN) sementara suara Masyumi juga tidak beralih ke partai-partai yang identik dengan NU, PNI atau PKI (PDI P, PKB dan PRD). Kecenderungan ideologis ini tidak lepas dari tubuh Islam yang terbagi dalam dua kutub: modernis dan tradisionalis. NU mewakili tradisionalis dan Masyumi mewakili kutub modernis.

Dua bentuk pemikiran ini selalu berbenturan dalam hampir semua hal termasuk dalam bidang syariah. Kutub tradisionalis mengental dalam organisasi Nahdlotul Ulama, sementara Kutub modernis diwakili organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri merupakan organisasi reformis yang kehadirannya dimaksudkan untuk menjernihkan keyakinan umat Islam dari berbagai bentuk takhyul, bid’ah dan khufarat. Bagi Muhammadiyah, keyakinan umat telah banyak terkontaminasi dngan masuknya praktik peribadatan yang berbau Hindhu-Budha-Jawa. Sementara kelahiran NU salah satu latar belakangnya adalah untuk menyelamatkan tradisi. Dalam hal ini, NU merasa keyakinannya dalam menjalankan ibadah terusik dengan hadirnya Muhammadiyah. Dari sinilah muncul berbagai ketegangan dan bahkan konflik yang sampai sekarang ada.
Kondisi gerakan mahasiswa Islam saat ini juga terjebak dalam polarisasi dan fragmentasi yang tidak jauh berbeda dengan politik aliran Geertz, meski dalam beberapa hal mengalami beberapa metamorfose. Organisasi massa mahasiswa Islam lahir dengan dipayungi kelompok politik yang dominan waktu itu, atau sebagai underbow partai. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) lahir dari generasi muda NU (Nahdlatul Ulama), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) lahir dibidani kelompok Islam modernis Masyumi. Selanjutnya, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang jelas berasal dari Muhammadiyah. Sementara, keberadaan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada praktik politik selanjutnya juga tidak bisa dilepaskan dari PK (Partai Keadilan) yang sekarang PKS (partai keadilan sejahtera.

Pada tahap selanjutnya, polarisasi lebih tajam terlihat pada kalangan Islam modernis yang diwakili HMI, IMM dan KAMMI dengan kalangan Islam tradisionalis secara kultur saja yang diwakili PMII. Hal ini dapat dicermati lebih rinci terutama pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Beberapa waktu menjelang lengsernya Gus Dur dan pada awal-awal pemerintahan Megawati, terdapat friksi antar ormas Islam yang lebih disebabkan karena alasan ideologis. Memang berkembang berbagai rumor di seputar pro dan kontra turunnya Gus Dur, seperti permasalahan kesehatan Gus Dur, kapabilitas managerial ataupun konstitusi. Namun apabila ditelisik mendalam, turunnya Gus Dur semata terjadi karena konflik ideologis yang sekian lama terpendam.
Meskipun naiknya Gus Dur dengan bantuan poros tengah yang terdiri dari PPP, PAN, PBB, PK, namun aspirasi dan kepentingan kelompok poros tengah relatif diabaikan. Apabila ditelurusi, tentu saja hal ini bukan hal yang baru. NU atau dalam hal ini PKB jelas tidak mungkin berafiliasi dengan kelompok modernis terutama poros tengah. NU lebih mudah bergandengan tangan dengan kalangan abangan seperti dengan PDI P.
Fenomena yang sama juga terjadi pada ormas mahasiswa Islam. PMII lebih mudah bekerja sama dengan kelompok kiri dibandingkan dengan ormas Islam lainnya. Hal seperti ini sering terjadi seperti pada waktu pro kontra penurunan Gus Dur. PMII bekerja sama dengan ormas kiri seperti PRD, PMKRI untuk mendukung atau pro Gus Dur tetap menjadi presiden. Sementara, kelompok yang kontra Gus Dur seperti HMI, IMM, dan KAMMI secara serentak, bersama menuntut Gus Dur mundur. Hal senada juga diungkapkan oleh kelompok modernis yang lain seperti HMI, dan IMM.

Pada dasarnya mereka sama-sama memiliki keyakinan bahwa kapasitas dan kapabilitas Megawati diragukan. Sedangkan alasan lainnya adalah asumsi yang selama ini terbukti bahwa kekuasaan itu cenderung korup, sebagaimana adagium Lord Acton. Sebagai organisasi yang independen, ormas Islam modernis lebih menitikberatkan perjuangannya pada kepentingan rakyat karena selama ini rakyat selalu berada dalam posisi yang tertindas padahal dalam konteks demokrasi, mereka adalah pemegang kekuasaan tertinggi.

Selanjutnya, kita tahu bahwa baik sebelum dan pasca reformasi 98 hampir seluruh kader organisasi mahasiswa diangkat untuk menjadi birokrat dan politisi. Artinya bahwa orientasi yang ditelurkan oleh para senior-organisasi mencerminkan sebuah legitimasi akan menjadi birokrat dan politisi bagi junior-juniornya diorganisasi. Misal Akbar Tanjung, Yusuf Kalla, Amien Rais, Muhaimin Iskandar, Lukman Edy, Tiffatul Sembiring dan masih banyak lagi para senior-senior gerakan mahasiswa ada disana. Karena hal ini memang wajar jika terjadi. Sikap-sikap politik dan strategi pun cenderung menonjolkan poilitik dalam aplikasi kesehariannya. Baik dalam proses suksesi kepengurusan dan konflik yang terjadi pasca susksesi itu. Tak heran tentunya. Memang dalam proses gerakan seperti ini berbagai macam kepentingan tertarik dengan sekian hal yang muncul dari generasi ini sebagai kaum muda yang dianggap cukup kompeten untuk melanjutkan estafet baik politik maupun birokrasi. Partai politik tentunya menawarkan bahkan menjanjikan jabatan strategis di partai dan track karirnya pun akan semakin meningkat ketika ia dipercaya untuk membidanginya. Tak butuh banyak waktu untuk meraihnya jika afliasi politik dan relasi politiknya jelas diorganisasi.




DAFTAR PUSTAKA

 Anonim, 1999. Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah.
 Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
 Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
 Modul Pelatihan Kader Dasar PMII, first edition, soshum
 Feith, Herbert & Lance Castle, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
 Modul BIMTES dan TryOut PMII UIN Sunan Kalijaga, 2003
 Huda, Nurul, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001
 Kleden, Ignas, 1988. Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz. Jakarta: LP3ES.
 Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.
 Larrain, Jorge, 1996. Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.
 Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, 2001. Perlawanan dari Masjid Kampus. Surakarta: Purimedia.
 Salim HS, Hairus, dan Muhammad Ridwan, 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural. Yogyakarta: LKiS.
 Sanit. Arbi, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
 Surur, Bahrus, 2001, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
 Riyadi, Dr. Ali, Dekonstruksi tradisi, kaum muda NU merobek tradisi,
 http://sejarah-komsat.blogspot.com/
 http://id.www.wikipedia.org.id

SOSIOLOGI AGAMA; SEKULAR-SEKULARISASI-SEKULARISME

1. Pengertian dan Sejarah Sekular, Sekularisasi, Sekularisme
Sekular seringkali kita pahami sebagai ajaran yang menakutkan, sehingga kita harus menghindari ajaran sekular, mengingat ajarannya yang radikal yang dapat menggulingkan keimanan seseorang serta dapat membuat orang meninggalkan ajaran-ajaran agama yang ia imani. Istilah sekular sudah di kenal oleh golongan agamawan atau cendikiawan sejak puluhan tahun yang lalu. Tidak terkecuali Islam, agam Islam juga mempunyai pemahaman sendiri terkait dengan sekular, walau porsi pemahaman serta pengimplementasian dalam kehidupan sehari-hari sangat jauh berdeda dengan orang barat (Kristen). Sebab Islam dan Kristen mempunyai perbedaan yang sangat mendasar baik sebagai agama maupun sebagai suatu peradaban.

Setidaknya ada berbagai alasan mengapa paham Sekular muncul dikalangan orang barat pada saat itu, namun yang paling mendasar adalah problem trauma sejarah. Dalam perjalanan sejarahnya orang barat mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut zaman kegelapan. Pada saat itu gereja mendominasi semua hal yang berkaitan dengan masyarakat baik dari sector ekonomi, budaya, politik dll. Mereka juga mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan dimuka bumi ini. Bersamaan dengan itulah gereja memanfaatkan kekuatannya melakukan tindakan brutal yang tidak manusiawi. Berangakat dari itulah para cendikiawan, masyarakat pada umumnya ingin melepaskan diri dari belenggu gereja pada saat itu. Maka timbullah paham sekular yang secara tidak langsung menentang ajaran agama Kristen yang di intervensi gereja saat itu.
Dalam pemahami sekular, sekularisasi, maupun sekularisme, paling tidak kita akan mempunyai dua pijakan yakni, Islam atau barat (Kristen). Sebagaimana yang sudah tertulis di atas bahwa Islam dan Kristen berbeda, oleh sebab itu kita perlu memisahkan antarkeduanya dalam memahami ajaran sekular, sekularissasi, ataupun sekularisme, supaya tidak terjadi kerancuan atau benturan dalam memahaminya.
Namun sebelum kita beranjak jauh membahas sekular, sekularisasi, atau sekularisme, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengetahui apa sekular itu baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah sekular diartikan sebagai bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian, sehingga sekularisasi berarti membawa ke arah kecintaan kepada kehidupan dunia. Norma-norma tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sementara dalam ensiklopedi Indonesia, kata sekularisasi diartikan (latin: saeculum; waktu, abad, generasi, dunia) suatu proses yang berlaku sedemikian rupa, sehingga orang atau masyarakat yang bersangkutan semakin berhaluan dunia, dalam arti terlepas dari nilai-nilai atau norma-norma yang dianggap kekal dan sebagainya (1984: 3061).

Sekular diadopsi dari kata latin “seaculum”, yang mempunyai arti dua konotasi waktu dan lokasi: yakni waktu menunjukkan masa sekarang, sedang loksi menunnjuk kepada pengertian dunia. Artinya sekurlar adalah semua hal yang berakitan dengan dunia sekarang, peristiwa apa yang tetjadi dan berkembang di dunia ini.
Sedang konotasi ruang dan waktu yang dibawa dalam konsep sekular ini secara historis dibawa dari pengalaman dan kesadaran yang terlahirkan dari peleburan tradisi Gracco-Roman dan tradisi Yahudi dalam Kristen Barat, peleburan dari unsur yang saling berselisih dari dari pandangan dunia Hellenik dan Yahudi yang digabung dalam kekrisstenan dengan sengaja, inilah yang kemudian di kenal para theologi dan cendikiawan Kristen sebagai problematik. Mereka menganggap apa yang terjadi pada saat itu adalah pembohongan sejarah.

Sekularisasi didefinisikan pembebasan manusia, pembebasan dari agama, metafisika. Menurut paham sekularisasi, manusia harus terlepas dari pengerian relegius-semu. Penganut ini menginginkan manusia agar tidak terlena dengan dogma agama yang membuat manusia menjadi utopis dalam memandang hidup yang serba nyata ini dengan doktrin yang membuat mereka para penganutnya terlena oleh ajaran agama. Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek kehidupan sosial dan politik, namun juga menjalar keranah kultural. Itu artinya paham sekularisasi ingin membebaskan manusia yang terbelenggu oleh jerat agama, mitos-mitos yang selama ini mengikatnya, paham ini menginginkan mausia berada di atas pikirannya sendiri. Jadi, paham sekularisme intinya adalah pemisahan agama dari kehidupan. Dari doktrin ini melahirkan ide liberalisme yakni kebebasan: kebebasan beragama “freedom of believe” kebebasan berpendapat freedom of opinion” kebebasan kepemilikan “freedom of ownership” dan kebebasan berperilaku atau berekspresi “personal freedom”, pluralisme, relativitas kebenaran, dan sebagainya.

Sekularisasi juga didefinisikan sebagai pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapanya dalam membina kehidupan duniawi. Dan terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya. Paham ini adalah paham keduniawian, paham ini mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir. Tiada lagi kehidupan sesudahnya kita semua, yang hidup ini adalah makhluk sekuler, artinya kita sekarang masih berada di dalam alam sekuler duniawi karena belum pindah ke alam akhirat.

2. Pandangan dan Pikiran Tokoh
Sekular, Sekularisasi, maupun sekularisme dewasa ini bukan hanya dikenal orang barat, melainkan sekarang sudah masuk di kalangan kaum muslimin, namun seperti yang telah dibahas di atas bahwasanya sekular dan teman-temannya itu bukanlah merupakan produk dari Islam. Orang muslim atau para tokoh ulama’nya mempunyai berbagai pendapat terkait dengan Sekular. Pendapat yang ekstrim mengatakan paham sekular secara mutlak tidak diterima di dalam Islam, sebab paham Sekular ini dapat menimbulkan keraguan atau skeptis terhadap ajaran agama Islam. Pendapat yang lain mengatakan cara berfikir sekular sah-sah saja dipelajari, karena itu merupakan pendalaman daripada ajaran agama tersebut.

Muhammad al-Naquib al-Attas. Ia mengkaji masalah sekularisasi secara holistik, dalam arti ingin menjembatani pemikir Barat dan Muslim. Menurutnya, Islam tidak sama dengan Kristen. Karenanya, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Muslim.
Mengawali pendapatnya tentang sekularisasi, al-Attas membedakan antara pengertian sekular yang mempunyai konotasi ruang dan waktu, yaitu menunjuk pada pengertian masa kini atau dunia kini. Selanjutnya, sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dalam agama dan metafisika atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika atau terlepasnya dunia dari pengertian religius (dalam istilah weber), pembebasan alam dari noda-noda keagamaan, sekularisme yang menunjukkan pada suatu ideologi.

Selanjutnya, menurut al-Attas, Islam menolak penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekular, sekularisasi maupun sekularisme, karena semua itu bukan milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Dengan kata lain, Islam menolak secara total manifestasi dan arti sekularisasi baik eksplisit maupun implisit, sebab sekularisasi bagaikan racun yang bersifat mematikan terhadap keyakinan yang benar (iman).
Dimensi terpenting dari sekularisasi, menurut al-Attas, sebagaimana pendapat Harvey Cox, adalah desakrisasi atau penidak keramatan alam. Dimensi inilah yang tidak diterima oleh kalangan Kristen Barat. Sedangkan Islam menerima pengertian tersebut dalam arti mencampakkan segala macam tahayul, kepercayaan animistis, magis serta tuhan-tuhan palsu dari alam. Pengertian Islam tentang keramatan alam ini adalah pengertian wajar tanpa mendatangkan sekularisasi bersamanya.

Namun disini perlu dibedakan antara Sekularisasi dengan Sekularisme. Menurut pendapat Cox “Sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews). Jadi, intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Selain itu, lanjut Cox, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf tertentu, ia adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bible terhadap sejarah Barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme, yaitu idiologi (isme) yang tertutup”.

Sementara itu, pandangan para cendekiawan muslim Indonesia pun berbeda-beda dalam mendefinisikan sekularisme dan sekularisasi. Nurcholish Madjid, misalnya, melihat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme (ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating development). Proses pembebasan ini diperlukan umat Islam karena akibat perjalanan agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, yakni mana yang transendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi umat Islam.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, sekularisasi memperoleh maknanya dalam desakralisasi segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah (transendental), sehingga sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Dalam artian ini, konsep sekularisasi Nurcholish Madjid digunakan untuk membedakan bukan untuk memisahkan persoalan duniawi dan ukhrowi. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid mencoba memberikan penafsiran baru mengenai peristilahan tersebut, yakni sarana untuk membumikan ajaran Islam (Islamisasi atau pentauhidan).

Nampaknya, pengertian tersebut digunakan pada istilah sosiologi sebagaimana pendapat Talcott Parsons, Harvey Cox dan Robert N. Bellah yang lebih merujuk pada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu tahayul dalam beberapa aspek kehidupan. Jadi, sekularisasi tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan, akan tetapi seperti pendapat Bellah adalah devaluasi radikal. Oleh karena itu, Nurcholish Madjid juga mengajukan konsep-konsep seperti sekularisasi, desakralisasi dan rasionalisasi.

Sejalan dengan itu juga, Nurkholis Majid menambahkan “ Pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam”.

Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran
Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis.

Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasio. Dengan rasio inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep "Hari Dunia" dan "Hari Agama". Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al- Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/ spiritual keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat.
Sebelum Nurcholish menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar sekularisasi ada di dalam ajaran- ajaran Bible.

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaraan suatu nilai dihadapkan kenyataan material, moral atapun hitoris, menjadi sifat kaum muslimin.
Sekularisme dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifa Allah di dunia. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu dihadapan Tuhan.

Perbedaan sekularisme dan sekularisasi sebagai paham dan proses. Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin bahwa telah terjadi dan akan terus terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari kemudian dan prinsip ketuhanaan.
Namun karena gempuran kritik yang begitu gencar terhadap istilah sekularisasi itupun ditinjau kembali oleh Nurcholis madjid. Dalam tulisannya, “sekularisasi ditinjau kembali” Nurcholis mengatakan terhadap perbedaan istilah “sekular” sekularisasi dan sekularisme itu, maka adalah bijaksana untuk tidak mengunakan istilah-istilah tersebut dan mengantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.

Sebenarnya, subtansi pemikiran Nurcholis Madjid adalah ia ingin menempatkan hal-hal yang sifatnya dunia yang profan pada tempatnya dan yang sifatnya keakhiratan atau kaitannya dengan masalah teologis juga pada tempatnya. Namun tampaknya ia kesulitan dalam menemukan istilah yang tepat sehingga menimbulkan reaksi yang bertubi-tubi.
Dengan beberapa pandangan di atas sudah sangat jelas, bahwasanya orang yang mendalami suatu agama kita harus berproses agar kemantapan dalam menjalankan ajaran-ajran agama yang dianut ditak mentah, sekular merupakan jalan alternatif ntuk menuju apayang kita harapakan, dalam hal ini keteguhan iman.

Cara berfikir Sekular menurut saya bukan seperti halnya yang orang secara umum mendefinisikannya, artinya berfikir Sekular menurut saya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Contoh, dalam agama Islam mengenal yang namanya kiai sebagai pewaris nabi Muhammad s.a.w itu benar. Namun akan menjadi salah ketika kiayi tersebut tidak bisa disentuh, artinya kebanyakan masyarakat terutama sekali masyarakat tradisional mengagung-ngagungkan kiayianya sehingga ia menjaga jarak, tidak bisa duduk bersama untuk diskusi mempelajari agama. Jadi paham sekular menurut saya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan tidak ubahnya sebagai sebuah keadilan.




DAFTAR PUSTAKA

• Madjid, Nurcholish. 1989. Islam kemoderenan dan keindonesiaan. Bandung: Mizan.
• Madjid, Nurchlish.2000. Islam doktrin dan peradaban. Jakarta: Paramadina.
• http://swaramuslim.net
• Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafindo.
• http://www.insistnet.com
• Syed Muhammad Naquid Al-Attas, 1981, Islam dn Sekularisme, Pustaka, Bandung.
• http://www.geocities.com