Kamis, 17 April 2008

KEADILAN SOSIAL

KONSEP KEADILAN SOSIAL
TERHADAP KEHIDUPAN JALANAN

Oleh : Khirzul Muhammad*

“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” demikian bunyi UUD 45 ayat 34 sebagai landasan tentang perlindungan dan pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar/jalanan. Mereka (baca: anak-anak terlantar/jalanan) sebagai warga negara yang punya hak untuk dipelihara dan mendapat kehidupan layak sebagai makhluk hidup yang merdeka. Namun apa realita dan aplikasi pemerintah dalam mewujudkan hal ini dalam konteks keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia? Belum ada, mungkin jawaban itu terkesan lebih pantas dan relefan dengan keadaan sekarang ini. Masih banyak GEPENG (gelandangan pengemis) atau anak-anak terlantar/jalanan Yogyakarta dipinggir-pinggir jalan, sering kami lihat di lampu merah ketika kendaraan berhenti atau juga dipinggir jalan trotoar dengan penuh rasa kasihan mereka menengadah sambil menjulurkan tangannya seraya meminta pada orang disekelilingnya. Ironis sekali tentunya. dimana petugas? dimana pemerintah? dimana aparat terkait? Tanda tanya besar dari kami tentunya dan itu pun cuma isapan mulut saja, juga masih sekedar bualan-bualan janji kosong.

Jangan salahkan orang-orang yang memberi uang karena semua itu tak lepas dan berawal dari rasa kasihan yang mendalam akan nasib fakir miskin, GEPENG dan anak-anak terlantar maupun jalanan yang ada disekitarnya khususnya di Yogayakarta yang notabenenya sebagai penyandang kota pendidikan.
Hak yang semestinya mereka terima sebagai warga negara serta wujud kewajiban pemerintah dalam interpretasi aksinya dan bukan cuma sekedar retorika belaka sebagaimana yang termaktub dalam UUD maupun PERDA bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Keadilan sosial semestinya harus bersifat universal-komprehensif dan proporsional dalam kebijakan maupun aktifasinya, karena pada dasarnya keadilan sosial diperuntukkan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang terdistorsi dan terisolasi akibat dari tingkah laku pemimpinnya yang sarat akan ketidakjelasan atau semu (bersifat euphinisme) setiap kali dalam konsensus yang terjadi dan juga kami mencoba untuk melihat adanya indikasi-indikasi kepentingan golongan yang saling tarik menarik keuntungan. Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia 1789 bahwa " ketidaktahuan, pengabaian ataupun merndahkan hak asasi manusia adalah salah satunya penyebab kemalangan rakyat" . Sering kita lihat DINAS Trantib dalam mengatasi masalah ini cuma menggiring dan hanya memberikan bimbingan penyuluhan, namun setelah itu seakan-akan selesai sudah tanggungjawab mereka sebagai pemerintah. Semestinya tidak cukup sampai disitu, pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas yang sesuai dengan hak-hak yang seharusnya mereka (baca: fakir miskin, anak-anak terlantar/jalanan) terima.

Sebagaimana PERDA yang ditetapkan oleh PEMDA DKI Jakarta bahwa bagi setiap orang yang memberi uang pada anak-anak jalanan atau yang lain akan dikenakan sanki. Disini kami coba melihat bahwa solusi yang diterapkan sangat tidak solutif, padahal masalah semacam ini sudah menjadi kewajiban negara dalam hal ini PEMDA sebagai pemerintahan turunan dalam pemeliharaan mereka (fakir miskin, anak-anak terlantar dan lainnya). Mereka juga punya hak yang sama baik dalam hak pendidikan, hidup dan hah-hak yang lain sebagai warga negara. Semestinya pemerintah juga harus menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang dan memenuhi hak-hak mereka sebagaimana yang tertera dalam UUD dan bukan cuma menggiring, penyuluhan dan setelah itu selesai sudah, bukan ini yang dimaksud keadilan sosial. Keadilan sosial yang dimaksud adalah keadilan yang sama tidak ada perbedaan kaya, miskin, hitam, putih, cacat atau pun yang lain. Yang intinya mencakup seluruh aspek (hak) rakyat itu sendiri secara universal-komprehensif sebagai manusia yang sesuai fitrahnya mempunyai hak dan tuntutan sama sebagai makhluk hidup.




* Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lahir di Tuban Jawa Timur di sebuah Desa kecil pesisir pantai utara kota Tuban yang sekarang aktif di PMII “Humaniora Park” Rayon Fakultas Ilmu Sosial dan Humaiora.

Tidak ada komentar: