Jumat, 16 Mei 2008

JIHAD

AYAT-AYAT JIHAD; DEFINISI DAN PENJELASANNYA

I PENDAHULUAN

Jihad merupakan bentuk aktifitas yang dilakukan dengan penuh kesungguhan sebagai bagian dari masyarakat yang sanggup dalam mengarungi dinamika hidup bermasyarakat dari sebuah ekspresi pertahanan, atau pembelaan terhadap diri sendiri, keluarga, akidah dan lain-lain sebagai makhluk yang mempunyai integrasi kuat dengan lingkungan sekitar dengan berbagai macam ancaman dan bahaya yang selalu mengintai, yang kadang membuat resah dan was-was diri serta masyarakat sekitar.
Berbagai macam ancaman, godaan baik materi, jasmani maupun rohani sering merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari manusia sebagai bagian dari masyarakat-masyarakat yang tinggal di negara-negara maupun komunitas tertentu. Lebih-lebih di Indonesia dengan berbagai macam kebudayaan, adat, suku atau etnis yang begitu besar juga kadang rawan akan terjadinya konflik. Upaya-upaya demikianlah yang disebut dengan jihad sebagai dasar pembelaan dari pihak luar yang tidak diinginkan.
Sejak dahulu hingga sekarang, jihad merupakan diskursus yang paling dilazimi baik oleh kalangan pro dan kontra syari’at. Juga di lazimi oleh kalangan luar Islam, serta paling disalahtangani [baca; salahpahami] pula oleh kaum orientalis Barat dan organisasi Islam sendiri. Kesalahpahaman ini timbul pertama dan terutama dari pencampur-adukan antara jihad dan qital [perang], serta pencitraannya sebagai satu tema, bahkan pendominasian perang atas jihad dan penyikapan jihad sebagai perang lebih dari yang semestinya.
Ini merupakan kesalahan fatal. Jihad adalah terminologi yang memiliki akar kata dan derifasi bahasa yang menunjukkan muatan tertentu, dan lebih lanjut memiliki sarana serta target yang menunjukkan atau diingini muatannya. Sementara qital [perang] merupakan akar kata dan derifasi bahasa yang menunjukkan muatan tertentu yang berbeda dengan asal kata ‘jihad’ begitu juga sarana dan targetnya.
Jihad tidak selalu beriringan dengan perang, meskipun terkadang dalam kasus tertentu juga beriringan. Masing-msing memiliki pendekatan dan target yang berbeda. Dan jihad merupakan hal pokok dalam kajian ini, sementara qital hanya sekedar aksidental yang mendesak dilakukan jika memang diperlukan sekali. Sebagaimana sejarah dan realitas yang telah dicontohkan Rasulullah serta sahabatnya dengan melakukan jihad di Makkah selama 13 tahun dengan menggunakan sarana-sarana jihad yang mengandung pendekatan hikmah, amar ma’ruf, nahi munkar, mau’idlah hasanah, kesabaran, dan militansi hingga mengungsi ke Ethiopia serta masih banyak lagi.

II. PEMBAHASAN

Hampir seluruh kitab-kitab klasik atau salaf yang dipelajari oleh kalangan pesantren orentasi jihad lebih kepada arah peperangan dalam mempertahankan eksistensi sebuah agama atau sebagai tindakan melindungi serta mempertahankan keberadaan sebuah keyakinan maupun kepercayaan yang ada pada periode dulu. Karena dulu peperanganlah yang menentukan eksis atau tidaknya sebuah kelompok dalam pembelaan terhadap agama, diri sendiri maupun yang lain.
Demikian pula Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mencoba melakukan hal yang sama dengan alasan dan sebab yang melatar belakangi untuk melakukan jihad dengan arti diatas. Orang-orang muslim yang dipimpin Nabi tidak akan mengawali sebuah peperangan tanpa ada serangan atau tekanan dari kelompok lain yang mengancam diri Nabi dan umat Islam demi mempertahankan agama yang diyakini. Dan mungkin dengan adanya indikasi demikianlah jihad diartikan sebagai perang. Untuk mengetahui arti jihad lebih lanjut akan kami bahas definisi jihad secara panjang lebar, jelas dan komprehensif agar tidak diartikan secara mono-perspektif, yang pada akhirnya memunculkan stereotip yang meresahkan.

A. Definisi Jihad
Kata jihad atau juhd artinya kekuatan, kekuasaan atau kesanggupan. Ia juga berarti masyaqah (kesukaran atau kesulitan). Kata jahd sama dengan kata thaqah dan wus’ (kekuatan dan kesanggupan). Kata jahada-yajhadu-jahdan, dan ijtahada, maknanya sama dengan kata jada (bersungguh-sungguh)
Dalam sebuah pendapat, kata jihad memiliki dua definisi atau dua pengertian: secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, jihad artinya berjuang atau perjuangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Atau dengan kata lain, jihad adalah pengerahan segenap kekuatan, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dalam peperangan. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah pernah bersabda, “tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Makkah, kecuali jihad dan niat”. Maksudnya adalah, bahwa setelah peristiwa penakluakan Makkah tidak ada lagi peristiwa hijrah. Demikian itu karena Makkah telah menjadi negara Islam. Yang ada hanyalah jihad dan mengikhlaskan niat dalam berjihad untuk menegakkan kalimat Allah.
Kemudian, ketika kata jihad itu dikaitkan dengan kata fi sabilillah, maka masuklah definisi terminologis. Menurut terminologis, jihad adalah memerangi kaum kafirin yang memerangi Islam dan umat Islam dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Itulah definisi jihad secara etimologi.
Menurut M. Halaby Hamdy (2000), dalam banyak kasus, jihad sering dikaitkan dengan perang agama (holy war), yakni perang kaum muslimin melawan orang-orang kafir, musyrik dan munafik. Sampai disini, jihad kemudian dipresentasikan sebagai kata kunci (key word) yang menjadi indikasi dan legitimasi bagi munculnya fundamentalisme dalam Islam. Artinya, fundamentalisme, sebagai model gerakan perlawanan, pada akhirnya mendapatkan infus dengan hadirnya kata jihad dan “perintah perang”dalam al-Quran. Akhir pun bisa ditebak, bahwa tidak ada gerakan fundamentalisme tanpa menyertakan kata politis paling penting dan sekaligus mejadi arus utamanya, yakni jihad atau perang agama (membela Tuhan). Sedemikian rupa, tidak ada kata jihad yang tidak melibatkan gerakan keagamaan.
Sejatinya, secara etimologis jihad merupakan isim masdar dari kata kerja jahada-yujahidu adalah berarti mencurahkan segala kemampuan untuk bekerja dalam menegakkan “kebenaran” yang diyakini berasal dari Tuhan. Muasal derifatif kata ini adalah jahada-yajhudu yang artinya bersungguh-sungguh dalam sutu masalah. Hanya saja, dalam beberapa kesempatan kata jihad sendiri memiliki makna yang khusus, yaitu peperangan untuk menjaga eksistensi agama. Atau dengan perkataan lain, seperti halnya fenomena yang tampak sangat populer hingga kini, jihad dimaknai sebagai upaya “melenyapkan kebatilan dan menegakkan kalimat Tuhan (li i’lai kalimatillah) di muka bumi”. Perwajahan konsep inilah yang kemudian melahirkan suatu image yang seolah-olah telah mencitrakan jihad dalam Islam bermakna sebagai “berperang demi agama”.
Dilain pihak, jihad juga bisa dimaknai sebagai proses metamorfosis dari jihad kecil ke jihad besar. Konsep ini memungkinkan bagi munculnya pemahaman bahwa ukuran jihad bersifat fleksibel; bisa menyusuaikan diri dengan apa yang dilakukan seseorang, serta seberapa besar bobot persoalan yang dihadapinya. Ini berarti pula, bahwa segala usaha manusia, dari yang paling kecil sampai yang paling besar apabila dilakukan secara sungguh-sungguh demi kehidupan yang lebih manusiawi dan kebaikan cita Islami-dapat dikategorikan sebagai jihad. Sedemikian rupa, jihad dari awalnya memiliki makna, operasi, dan sifat yang sangat luas. Ia meliputi seluruh rangkaian kerja manusia yang amat sangat mulia.
Hanya saja, dalam sejarahnya, gagasan tersebut selalu dihubungkan dengan model peperangan yang dilalukan oleh Nabi Muhammad saat mempertahankan diri dari orang-orang non-Muslim. Sehingga gagasan yang sebetulnya bermakna luas itu kini telah menyeret kelompok-kelompok Islam (yang memenag berhaluan keras) menafsirkan jihad sebagai tipologi perjuangan yang berorientasi dar al-Islam, atau dar al-harb (negeri yang layak diperangi). (Sugiyarto Az)
Dengan demikian, perlunya reinterpretasi atau tefsir kembali terhadap jihad, agar tidak terjadi politisasi sebuah kelompok maupun gerakan yang mengatas namakan jihad yang ditangkap sebagai usaha kebencian, pengerusakan dan peperangan yang ditangkap dari kehidupan sehari-hari untuk melawan kelompok-kelompok yang [dianggap] memusuhi Islam. Padahal seharusnya jihad ditafsirkan sebagai upaya atau usaha-usaha menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk kesanggupan ia dalam proses kehidupan bermasyrakat disekitar hingga terciptanya rahmatan lil alamin yang dicita-citakan Islam.

B. Tipologi Jihad
Jihad mempunyai makna dan tipe yang sangat kompleks sebagai sebuah paradigma pegangan hidup berbangsa dan bernegara. Berbagai upaya atau tindakan yang semestinya juga memang patut dianggap sebagai bentuk jihad, kemudian mereduksi menjadi makna tertentu yang sempit dan kaku. Akibatnya muncul tindakan-tindakan tertentu yang keluar dari tatanan kemanusiaan dengan mengatasnamakan jihad sebagai sebuah tindakan.
Perlu diketahui bahwa, jihad tidak terpaku dan tidak selalu berarti peperangan yang terus dilakukan untuk mempertahankan eksistensi diri maupun kepercayaan. Segala bentuk tindakan yang dilakukan secara sungguh-sungguh sebagai konsekuensi logis dari kehidupan dan bertujuan pada Tuhan juga merupakan jihad yang patut dikatakan juga sebagai jihad. Ada beberapa macam tipe jihad yang diklasifikasikan Nabi sebagai berikut:
- amar ma’ruf (perintah kebajikan)
- nahyu ‘anil munkar (mencegah/melarang kemungkaran)
- jujur dalam kesabaran
- dan membenci kemunafikan
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Jihad itu ada 4 jenis: Amar ma’ruf (perintah kebajikan), nahyu ‘anil munkar (mencegah/melarang kemungkaran), jujur dalam kesabaran dan membenci kemunafikan”.
Namun juga tidak menafikan tindakan lain yang selain empat diatas, ada berbagai macam kegiatan yang tentunya juga bisa dikategorikan jihad.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Berjihadlah terhadap orang-orang musyrik baik dengan hartamu, jiwamu, maupun dengan lidahmu”.

”Berangkatlah kalian baik dengan perasaan ringan maupun berat. Dan berjighadlah dengan harta dan jiwamu dijalan Allah” (at Taubah: 41)
Bahwa jihad tidak hanya menggunakan satu atau dua cara yang ditempuh, melainkan banyak cara untuk melakukannya, sebagaimana hadits yang telah disebutkan diatas.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Seorang mujahid (orang yang berjihad) adalah orang yang memerangi hawa nafsunya karena Allah”.
Sangat jelas ketika seseorang mengartikan jihad sebagai perang, namun yang kadang sangat tidak diterima banyak kalangan ialah makna perang secara tekstual (fisik). Padahal perang meliputi banyak hal seperti yang telah dicontohkan Nabi di atas, dan itu jelas merupakan suatu praktek dari pada jihad.

a. Amar ma’ruf
Sebagaimana yang telah dituangkan dalam Kitab-Nya bahwa amar ma’ruf merupakan anjuran yang diperuntukkan segenap umat mukmi di muka bumi ini. Sebgaimana firman-Nya;
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, meyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” [QS. Ali Imrân: 104].
Namun amar ma’ruf pun tidak semena-mena untuk dilakukan ada cara yang ditempuh ketika seseorang melakukannya. Dengan perkataan yang baik, jika ia menolak bantah dengan cara yang baik pula. Demikianlah Islam mengajarkan dengan asas kemanusiaan yang ada. firman Allah;
“Serulah (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan cara hukmah dan mau’idzah hasanah, dan banthlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapakah yang tersesat dari jalan-Nya. Dia mengetahui orang yang mendapat petunjuk” (al-Nahl: 125)

b. Nahyu ‘anil munkar
Meninggalkan hal-hal yang mungkar juga merupakan tindakan yang disebut dengan jihad. Karena begitu luasnya arti jihad. Seperti halnya firman Allah dibawah ini;
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” [QS. Ali Imrân: 110].

c. Jujur dalam kesabaran
Integritas tinggi merupakan bagian terkecil dari bentuk jihad yang kadang sering dilanggar umat manusia di jagad raya ini. Lebih-lebih ketika ia dalam keadaan jengkel terhadap seseorang inilah tantangan yang sangat berat tentunya. Firman Allah;
“Mereka itu diberi pahala dua kali* disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang Telah kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan”. (al Qashas; 54)

d. Membenci kemunafikan
Sudah sepatutnya bahwa kemunafikan merupakan hal yang dibenci seseorang, meski juga kadang tidak menutup kemungkinan sering dilakukan dengan berbagai alasan-alasan tertentu yang ia gunakan. Dan ternyata menbenci kemunafikan merupakan salah satu jenis jihad yang sebagaimana firman-Nya;
“Hai nabi, berjihadlah (melawan)* orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya”. (at Taubah; 73)

C. Tafsir Jihad
Sebagaimana menurut Madzhab Hanafi dalam “fathul qadir” oleh Ibn Hammam, “al jihad ialah mengundang orang kafir kepada agama Allah dan memerangi mereka kalau mereka menolak undangan tersebut”. al Kasani (al Badi’ 9/4299) “al jihad ialah berjuang dengan segala daya dan upaya, berperang di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dengan jiwa dan harta, lisan dan lain-lain”.
Demikian pula madzhab Maliki, “al jihad ialah memerangi orang kafir yang yang tidak terikat perjanjian demi meninggikan kalimatullah atau menghadirkan-Nya, atau menaklukan negerinya demi memenangkan agama-Nya”. Begitu juga dengan madzhab Syafi’i, al Bajuri berkata, “al ijhad artinya berperang dijalan Allah”. Ibn Hajar mengatakan bahwa menurut syariat, “al jihad adalah berjuang dengan sekuat-kuatnya untuk memerangi kaum kafir (Al Fatah 6/3)”. Madzhab Hanbali, “al jihad adalah memerangi kaum kafir (Mathalibu Ulin Nahyi, 2/497) atau menegakkan kallimat Allah (Muntahal Iradat, 1/302)”.
Allah mengizinkan jihad dalam arti perang bukan tanpa alasan yang jelas. Namun, peperangan yang mengatas namakan jihad diperbolehkan ketika individu ataupun kelompok diserang/dianiyaya lebih dulu karena untuk mempertahankan diri dan eksistensinya. Firman Allah;
“Telah di izinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena mereka telah dianiyaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka” (al-Haj: 39)
Bagi orang-orang yang berjihad dijalan-Nya, ia akan dijunjung derajatnya oleh Allah dan Ia akan selalu mendampingi orang-orang yang senantiasa berbuat kebijakan. Firman Allah dalam Kitab-Nya;
“Orang-orang yang berjihad dijalan Kami, niscaya Kami akan menjunjung jalan Kami kepada mereka. Dan sesungguhnya Allah benar-benar selalu bersama orang-orang yang berbuat kebijakan” (al-Ankabut: 69)
Seruan untuk berjihad dijalan Allah merupakan bentuk dasar dari sebuah jihad yang diinginkan. Jihad dijalan Tuhan adalah satu-satunya jalan dimana ia mengabdikan diri pada Tuhan. Mengajar, mencari ilmu memberi nafkah keluarga adalah contoh konkrit dari sebuah makna jihad dijalan Tuhan. Sebgaimana firman Allah;
“Dan berjihadlah di jalan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-Baqarah: 244)
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”. (al-Baqarah: 216)
Ayat (diatas) selanjutnya inilah yang menjadi harga mati bagi setiap gerakan keagamaan yang hari-hari ini terjadi di berbagai belahan dunia. Mereka memandang seakan-akan hal ini merupakan wajib ‘ain yang memang pada dasarnya harus dilakukan sebagai sebuah aturan agama. Padahal, arti wajib disini bukan yang berarti “fardhu ‘ain” melainkan wajib yang mempunyai makna “kifayah” . Sebagaimana demikian hukumnya adalah fardhu kifayah serta juga diterangkan sebagamana diatas bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah yakni yang cukup dilakukan oleh sebagian umat muslim di muka bumi.

III. PENUTUP

“Jihad sekarang bukan bagaimana mati di jalan Allah,
melainkan bagaimana hidup di jalan Allah”

(Jamal Al Bana)

Perlu ditegaskan lagi, bahwa jihad bukan semata-mata pengerusakan, peperangan fisik yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi sebuah keyakinan [agama]. Sebagai sebuah bentuk kesungguhan komitmen hidup dan dedikasi perjuangan manusia untuk meneruskan cita-cita ketuhanan atau khalifah fil alam jihad tak semestinya bermakna demikian. Memproses bagaimana sesuatu dapat menjadikan rahmatan lil alamain bagi umat manusia di muka bumi ini.
Maka reinterpretasi jihad merupakan sebuah disiplin intelektual manusia untuk menciptakan sebuah makna/tafsir maupun iklim yang kondusif, kontekstual sesuai dinamika sosial masyarakat saat ini. Meski dulunya jihad diinterpretasikan sebagai sebuah peperangan (fisik) yang terkesan sadis dan tidak manusiawi.
Pemikiran semacam inilah yang kiranya perlu dirombak kembali untuk mewujudkan paradigma baru guna menyongsong peradaban yang lebih humanis dan konstruktif tentunya. Reinterpretasi jihad sendiri bertujuan guna merubah mainstream manusia yang begitu lama membelenggu, dulunya sempit dan terkesan kaku sebagai pegangan hidup. Sekarang peradaban yang begitu kompleks, berkembang dan maju dalam bungkus globalisasi pergolakan dunia yang sekarang dengan mudah dapat berdampingan/berhadapan langsung dengan berbagai macam kultur, adat, bangsa dan negara, bahkan agama, lebih-lebih di negara yang mempunyai tingkat hiterogenitas tinggi seperti Indonesia.
Demikian, refleksi keilmuan kami sebagai bentuk konsistensi dan komitmen terhadap dedikasi pendahulu kami yang begitu gagah berani merelakan segenap kemampuan, kreatifitas dan tetes darah perjuangannya guna merebut kemerdekaan NKRI. Juga merupakan bentuk upaya kami demi mengisi kemerdekaan serta menginterpretasikan satu abad kebangkitan nasional. Mungkin kurang begitu sempurna kiranya makalah ini, kekhilafan yang patut dimaklumi sebagai manusia tentunya. Rangkaian maaf dan terimakasih atas atensi dan apresiasi teman-teman sekalian. Semoga gerak langkah keilmuan dan tanggungjawab sosial kita sebagai agent of sosial change senantiasa dalam bimbingan-Nya. Amin

DAFTAR PUSTAKA

Jamal Albana, 2005, Revolusi Sosial Islam (dekonstruksi Jihad dalam Islam), Pilar Media, Yogyakarta;
Ibn Al Manshur, Lisanul-Arab, Juz ke-4
Abdul Baqi Ramdhun, 2002, Jihad Jalan Kami, Era Inter Media, Solo,
Al Bajuri ala ibn Qasim Baerut, Juz ke-2
Dr. Abdullah Azzam, 1994, Perang Jihad di Jaman Modern, Gema insani Pers,
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Baerut, Darul Kutub
Zainuddin Abdul Aziz al Milibari, Fathul Mu’in, Toha Putra, Semarang,
Ahmad ibn Husain as Syuhair ibn Syuja’, Fathul Qarib, Hidayah, Semarang

Tidak ada komentar: