Jumat, 16 Mei 2008

ANTROPOLOGI; MALIOBORO

MALIOBORO; TROTOAR DAN PEDAGANG KAKI LIMA

I. PENDAHULUAN

Sesuai data yang ada pada kami, selaku kelompok empat tinjauan kami lebih mengarah kepada pedagang-pedaganag yang ada ditrotoar jalan malioboro, tidak termasuk yang ada di depan toko-toko besar. Beberapa wawancara yang telah kami lakuakan sebaai kerja tim, kami mencoba melontarkan beberapa macam pertanyaan yang masing-masing anggota mempunyai ciri dan independensi pertanyaan masing-masing sebgai sebuah upaya kemandirian yang telah menjadi dasar sebuah analisis.
Angkringan dalam bahasa Jawa berarti nangkring atau nongkrong. Dan nasi kucing adalah nasi seukuran porsi kucing yakni sekepalan tangan (sego sak kepel) ditambah sak ipit sambel bandeng, sambel teri atau oseng tempe . Porsinya pancen mungil tapi rasanya, mak nyusss! Enak tenaaan!
Lauknya bermacam sate, seperti sate telur puyuh, sate usus, sate kikil dll. Ada juga bacem tahu tempe , bacem kepala dan ekor, eh ceker ayam, tempe mendoan, goreng pisang dan tahu goreng. Minuman juga beraneka, ada teh panas, wedang jahe, kopi jahe, susu jahe, wedang kopi, kopi susu, wedang tape, wedang jeruk.
Sate-sate ataupun bacem-bacem bisa langsung disantap bersama nasi kucing. Namun kalau kita ingin sate atau bacem itu berasa nanas (panas), kita bisa minta tolong Lik Agus, Lik Joko, Lik Beni dan Jeng Beni atau Jeng Ambar, sing jogo warung, untuk membakarnya terlebih dahulu.
Suasananya ditanggung Jogya banget. Kita bisa nangkring atau lesehan sebetah-betahnya, boleh sendiri, boleh berdua atau berombongan tanpa khawatir diusir. Warung Angkringan buka hingga larut malam kok.
Nyantai dan nyantap, enak dan murah, Wiiih, siapa yang tak suka? Harga makanan cukup murah, sebungkus nasi kucing Rp 1.000,- Setusuk sate Rp 2.000,- Sepotong bacem atau gorengan Rp 5.00,- Segelas minuman sekitar Rp 1.000,-
Tidak hanya itu, anda dapat bernostalgia dan mendengarkan keluh kesah pedagang ini langsung. Suasana yng begitu nyaman setting bentuk angkringan yang agak tertutup menjadi salah satu cirri khas angkringan ini.
Ada juga para penjual makanan lesehan Malioboro, membangun warungnya hanya dengan memasang tenda plastik warna seragam kuning. Keberadaan warung lesehan ini cukup menambah keramaian dan maraknya Malioboro di malam maupun siang hari.

II. PEMBAHASAN

A. Sekilas Malioboro
Kawasan Malioboro sebagai salah satu kawasan wisata belanja andalan kota Jogja, ini didukung oleh adanya pertokoan, rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tak ketinggalan para pedagang kaki limanya. Untuk pertokoan, pusat perbelanjaan dan rumah makan yang ada sebenarnya sama seperti pusat bisnis dan belanja di kota-kota besar lainnya, yang disemarakan dengan nama-merk besar dan ada juga nama-nama lokal. Barang yang diperdagangkan dari barang import maupun lokal, dari kebutuhan sehari-hari sampai dengan barang elektronika, mebel dan lain sebagainya. Juga menyediakan aneka kerajinan, misal batik, wayang, ayaman, tas dan lain sebagainya. Terdapat pula tempat penukaran mata uang asing, bank, hotel bintang lima hingga tipe melati.
Keramaian dan semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya pedagang kaki lima yang berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan dagangannya, hampir semuanya yang ditawarkan adalah barang/benda khas Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi para wisatawan. Mereka berdagang kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain kerajinan ayaman rotan, kulit, batik, perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit, sepatu kulit, hiasan rotan, wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak, blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai model/tulisan dan masih banyak yang lainnya. Para pedagang kaki lima ini ada yang menggelar dagangannya diatas meja, gerobak adapula yang hanya menggelar plastik di lantai. Sehingga saat pengunjung Malioboro cukup ramai saja antar pengunjung akan saling berdesakan karena sempitnya jalan bagi para pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi kanan dan kiri.
Dan ini juga perlu di waspadai atau mendapat perhatian khusus karena kawasan Malioboro menjadi rawan akan tindak kejahatan, ini terbukti dengan tidak sedikitnya laporan ke pihak kepolisian terdekat soal pencopetan atau penodongan, dan tidak jarang pula wisatan asing juga menjadi korban kejahatan dan ini sangat memalukan sebenarnya.

B. Analisis
Kawasan Malioboro yang tidak pernah sepi masih menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat, khususnya wisman (wisatawan mancanegara) yang datang, sehingga belum lengkap kalau jalan jalan di Jogja belum menyusuri kawasan Malioboro. Banyak komunitas pedagang kecil termasuk angkringan dan pedagang kaki lima menyatu dengan pemilik toko besar di kawasan ini. semuanya hidup rukun dan saling toleransi. Pak Hadi Pranoto atau Rukino sapaan akrabnya termasuk sosok lelaki yang gigih berjuang untuk mempertahankan hidup dan mengais rejeki sebagai pedagang angkringan di malioboro. Maka gerobak dorongnya sejak pukul 8 pagi hingga 5 sore selalu on time mangkal di depan Kantor Gubernur DIY.
Di Malioboro.ia tidak sendirian, ia bersama teman-temannya yang sudah sangat begitu akrab senatiasa menemani dan sesekali membantunya ketika ada masalah. Sebagai kepala rumah tangga dirinya tak gentar untuk mengais rezeki, sudah menjadi rutinitas tentunya sebagai upaya mempertahanakann hidup ditengah-tengah pergolakan dunia yang sudah sangat maju ini.
Beliau mangkal jualan dari pagi sampai sore. Setelah lewat jam itu, giliran komunitas pedagang lesehan hingga larut malam bahkan mendekati pagi hari. Dirinya berharap meski makin marak dan banyaknya saingan ia semoga tetap laku dan eksis jualannya serta selalu berharap dagangan angkringannya jangan asmpai di gusur. Karena dirinya yakin, malioboro tanpa angkringan tidak akan hidup dan pasti kehilangan salah satu ciri khasnya.
Hal senada juga diungkapkan Presiden Komunitas malioboro Sujarwo Putera dan Ketua K4 Tri Dharma , Budiarto menurut keduanya, komunitas para pedagang kecil termasuk angkringan, kakilima dan sebagainya harus dipertahankan.fakta membuktikan belum lama ini, ketika ribuan anggota pedagang se- malioboro urun rembug soal penetapan Sultan dan paku alam, kawasan malioboro sepi total selama 24 jam. Orang jadi takut mau lewat malioboro, begitu juga dengan para pedagang toko, mall mereka miris dan takut kalau buka karena malioboro seperti kota mati. Ini bukti dan fakta para pedagang kecil kaki lima ini justru memiliki 'bargaining kuat' soal pariwisata Jogja.
Seperti kita lihat, sebuah komunitas yang ssngat alamiah karena mempunya cita-cita sama. Rutinitas seperti yang telah tercantum menurut wawancara yang terlampir, mengindikasikan sebuah komunitas yang terbangun dari upaya yang bersifat alamiah meski juga ada intervensi pemerintah untuk menertibkan jalannya komunitas ini. Rutinitas tersebut seperti pergantian jam kerja yang satru pagi satunya lagi sore merupakan sekelumit contoh bentuk keteraturan yang ada.
Keteraturan yang dibungkus dalam agenda PEMDA merupakan indikasi upaya perbaikan yang sedang berlanjut, meski demikian ada yang bermain untuk salinh menguasai dan merekayasa sebagaimana penentuan tenpat dimana ia harus berjualan. Hal ini tidak bias dipisahkan falam proses pencarian tempat yang dianggap strategis tentunya. Demikian ini mungkin yang memicu adanya perebutan tempat.
Banyka yang sudah menyadari bahwa kinerja Pemda agak sedikit berjalan lambat dalam proses perpanjangan surat izin berjualan, karena ini juga akan mengganggu eksisitensi pedagang selanjutnya ketika ada terjadi keslahpahaman SatPol PP seumpama ketika ada penertiban.
Manusia dan kelompok tertentu banyak menghiasi pinggiran jalan Malioboro. Adanya para komunitas pedaganag sebagai sebuah perlindungan hidup terhadap ancaman yang ada seperti halnya penggusuran yang dapat merugikan anggota-anggotanya. Ada semacam iuran yang dibangun dan tentunya diperintukkan demi kesejahteraan anggota merupakan bentuk yang konkrit dari kesadaran dalam sebuah komunitas tertentu. Iuran yang ditarik tidak memberatkan anggota seperti halnya hasil wawancara terlampir, ada kelompok PEMALNI dan Tri Dharma yang masing-masing anggotanya dikenahi iuran untuk kesejahteraan diri mereka sendiri.
Meski banyak sekali kelompok-kelompok yang terbagi beberapa bagian, toh nyatanya mereka akur-akur saja dalam hal apapun terutama bersaing dalam mencari pelanggan. Jumlah anggota yang berbeda tidak mempengaruhi mereka (komunitas) dalam berjualan.
Sepertyi kita lihat sekaranag, Malioboro Yogya kini sudah sangat padat. Saya sedikit kecewa melihat bagaimana Malioboro yang asri dengan pepohonan hijau kini menjadi terlihat berasap disiang hari dan semakin sempit jalannya.
Kiri kanan jalan pertokoan tertutup dengan pembatas jalan yang menambah sempitnya jalan. Ah berbeda sekali dengan bayangan dulu ketika Malioboro asri dan tenang. Tampaknya tranportasi jalan sudah menghabiskan badan jalan menambah suasana bising dan polusi. Mungkinkah Malioboro bisa menjadi jalan bebas polisi, bebas motor dan mobil? Kalau ini bisa dikembalikan, Malioboro dengan lesehan dan pusat kerajinan akan menambah nilai pariwisata Yogya.
Ada yang menarik dalam analisis kami, bahwa ketika kami mengawasi bentuk bangunan yang tentunya banyak dari peni ggalan zaman dulu menghiasi Malioboro. Tingginya rumah ada mitos tersendiri yang tersembunyi disana, menurut keterangan yang ada dan inio juga hasil dari wawancara kami bahwa tingkat tingginya rumah di Malioboro tidak boleh melebihi dari tiga tingkat, karena alasannya menurut mitos, dibawah ini (jalan Malioboro) merupakan aliran kawah gunung yang terlihat jelas dan pas ditengah (menghadap) keratin jogjakarta ketika dilihat di jalan Malioboro. Ini menunujukkan bahwa mitos yang ada di Mlaioboro masih kental dan sulit untuk dihilangkan. Berbagai saksi sejarah senantiasa menghiasi Malioboro sebgai sebuah peradaban jogjakarta. Sebuah pusat dimana berbagai macam etnis, suku, golongan ada di jalan ini (Malioboro)
Keramaian dan semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya pedagang kaki lima yang berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan dagangannya, hampir semuanya yang ditawarkan adalah barang/benda khas Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi para wisatawan. Mereka berdagang kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain kerajinan ayaman rotan, kulit, batik, perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit, sepatu kulit, hiasan rotan, wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak, blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai model/tulisan dan masih banyak yang lainnya. Para pedagang kaki lima ini ada yang menggelar dagangannya diatas meja, gerobak adapula yang hanya menggelar plastik di lantai. Sehingga saat pengunjung Malioboro cukup ramai saja antar pengunjung akan saling berdesakan karena sempitnya jalan bagi para pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi kanan dan kiri.

II. PENUTUP

Malioboro sebagai landmark kota jogja yang merupakan suatu kawasan pusat perdagangan sejak jaman Belanda. Hal ini dapat dilihat dari bentukan-bentukan bangunan bergaya kolonial yang masih tersisa di kawasan tersebut. Selain itu juga dapat dilihat pengaruh pecinan pada bentukan bangunan di kawasan tersebut. Kawasan Malioboro hingga kini berkembang menjadi pusat perbelanjaan yang cukup signifikan di Jogjakarta. Malioboro telah menjadi icon yang dapat menarik pengunjung baik dari dalam maupun luar negri dengan beragamnya barang yang dijual, baik khas lokal maupun modern. Ada kekurangnyamanan visual dikarenakan kawasan tersebut cukup panas dan ”kering”.
Meski demikian, daya tarik Malioboro bagi wisatawan, harus diakui, salah satunya karena keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang berjajar di sepanjang jalan sejauh hampir dua kilometer ini. Sejak pagi hingga pertokoan Malioboro tutup pukul 21.00 WIB, para PKL menggelar barang dagangannya. Bermacam barang jualan khas Yogya, seperti kerajinan kulit, wayang, sandal, sepatu, perhiasan perak, pakaian batik, blangkon penutup kepala, dan jenis suvenir macam gantungan kunci, batu akik, hingga keris pun dijual di trotoar pertokoan Malioboro.
Para PKL ini menggelar dagangannya menempati kiri-kanan trotoar pertokoan Malioboro. Mereka menggunakan peralatan gerobak, sebagian meja, dan ada yang hanya beralaskan plastik untuk tempat menggelar barang jualannya, sehingga tampak ramai dan kadang harus berdesak-desakan, terutama pada musim liburan sekolah atau bertepatan dengan libur panjang nasional.
Perkembangan perdagangan dan pariwisata yang pesat di Malioboro, menurut dia, berakibat pada tumbuhnya toko dan hotel di kawasan tersebut. Peluang ini dimanfaatkan PKL yang memadati kedua sisi Jalan Malioboro tersebut. PKL di Malioboro memang punya daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik dari luar negeri maupun domestik. "Ini tentu saja memberi peluang bagi pedagang dari luar kota Yogya, seperti dari Madura, Palembang, Lampung, Jambi, Riau, dan Minangkabau serta dari Wonosari (Gunungkidul) untuk mengadu nasib di Malioboro,"

Tidak ada komentar: