Jumat, 16 Mei 2008

AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR

AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR
Oleh: Abdul Khalid*

I. PENDAHULUAN

Ketahuilah, bahawasanya amar ma’ruf (menyuruh melakukan kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah melakukan kejahatan) adalah puncak tertinggi dalam agama. Ia merupakan suatu soal yang amat penting sekali, yang kerananya Allah s.w.t. telah mengutuskan para Nabi sekalian. Andaikata tugas ini dilengahkan dan segala jentera amar ma’ruf dan nahi munkar itu dicuaikan, sama ada dalam ilmu pengetahuan mahupun amalan, tentulah kesesatan bermaharajalela dan kejahilan terus akan melanda setiap orang, dan ketika itu negara akan menjadi rosak binasa manakala rakyatnya menjadi kacau bilau.
Oleh kerana itu maka sudah sepatutnya kita memohon perlindungan kepada Allah agar amar ma’ruf dan nahi mungkar ini tiada terlepas dari puncaknya, baik ilmu pengetahuan maupun amal perbuatan, sehingga hati manusia tiada terpengaruh oleh kekeliruan/kemunkaran, serta senantiasa hati itu ingat dan perhatian kepada Allah. Dan jangan sampai manusia sewenang-wenang menuruti kemauan hawa nafsu dan syahwatnya laksana binatang. Namun, jika hal itu terjadi menjadi sukar sekali kiranya menemukan Mu’min di atas muka bumi ini dalam artian benar-benar beriman, yang nantinya tiada menghiraukan nasehat orang dalam berpegang yang benar dan hak. Tiada perlindungan melainkan kepada Allah saja dan tiada pengharapan melainkan hanya kepada-Nya.
Sebagaimana kita lihat hari-hari ini, orang-orang yang suka melakukan kekerasan atas nama Islam selalu berlindung di balik slogan “amar ma’ruf nahi munkar”. Padahal apapun bentuk kekerasan dalam pandangan Islam tak bisa dibenarkan. Kekerasan hanya akan membuat citra Islam yang ramah menjadi seram dan menakutkan. Islam datang dengan damai, dan hanya mencita-citakan kedamaian, sehingga ajarannya bukanlah ajaran yang penuh acaman. Senada dengan hal ini, Muhammad Thahir ibn Asyur menyatakan bahwa syariat Islam bukankah syariat yang penuh dengan ancaman [Muhammad Thahir ibn Asyur, Maqâshid asy-Syarî’ah,]
Berangkat dari sinilah, maka membuka kembali tentang konsep “amar ma’ruf nahi munkar” menjadi sebuah keniscayaan, agar konsep ini tak disalah pahami oleh sebagian kelompok Islam yang suka melakukan tindakan kekerasan atas nama Islam dengan berlindung di bawah slogan “amar ma’ruf nahi munkar”.

II. PEMBAHASAN

A. Definisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Menurut Prof Hamka berpendapat bahwa asas kepada amar ma'ruf adalah dengan cara mentauhidkan Allah dan asas nahi munkar adalah dengan mencegah syirik kepada Allah. Amar ma'ruf dan nahi munkar berasal daripada peristilahan Arab yang bermaksud “memerintah perkara-perkara yang baik dan menjauhi perkara-perkara yang tidak baik”. Sebagaimana firman Allah dalam Kitab-Nya “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi penolong bagi setengahnya yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang daripada berbuat kejahatan dan mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat, serta taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 71)
Dalam Al-Qur'an dijumpai lafaz "amar ma'ruf nahi munkar" beberapa kali seperti dalam surat [Ali Imran; 104] “Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam) dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji) dan mereka yang bersifat demikian ialah orang-orang yang berjaya.”
Secara prinsipnya pengamal agama Islam dituntut untuk menyampaikan kebenaran dan melarang perkara-perkara yang tidak baik (mungkar). Hadis Rasulullah "Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". (HR. Muslim)
Berangkat dari sinilah, maka membuka kembali tentang konsep “amar ma’ruf nahi munkar” menjadi sebuah keniscayaan, agar konsep ini tak disalah pahami oleh sebagian kelompok Islam yang suka melakukan tindakan kekerasan atas nama Islam dengan berlindung di bawah slogan “amar ma’ruf nahi munkar”.
Pada dasarnya, tak ada yang menyangkal kalau “amar ma’ruf nahi munkar” adalah prinsip dasar Islam (mabda` islâmiy) yang disandarkan pada beberapa ayat Al-Quran. Seperti ayat, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, meyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” [QS. Ali Imrân: 104]. Dan dalam ayat lain dikatakan, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” [QS. Ali Imrân: 110].
Bagi kalangan Muktazilah, “amar ma’ruf nahi munkar” dijadikan sebagai dasar kelima ideologi mereka. Tetapi pandangan mereka tentang “amar ma’ruf nahi munkar” berbeda dengan aliran Khawarij baik dalam memahami dan menjalankan konsep “amar ma’ruf nahi munkar” ini.
Kalangan Khawarij menyatakan bahwa “amar ma’ruf nahi munkar” harus dilakukan oleh setiap orang muslim . Dalam mempraktekan konsep ini acap kali kali mereka menggunakan kekerasan lisan maupun fisik, baik pada rakyat biasa maupun penguasa. Sehingga mereka menjadikan pembrontakan pada penguasa sebagagai konsekwensi dari tuntuan “amar ma’ruf nahi munkar”. Akibatnya, yang disebut “ma’ruf “ adalah segala sesutu yang sesuai dengan pendapat mereka sendiri, sedang “munkar” adalah pandangan lawan mereka.
Sedang kalangan Muktazilah berpendapat bahwa “amar ma’ruf nahi munkar” hanya menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifâyah). Artinya, jika sudah ada sebagian orang yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain, dan harus amar ma’ruf nahi munkar dilakukan tidak dengan cara-cara kekerasan. Sebab, jika denga cara kekerasan betentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.
Menurut Syeikh Abdul Qadir Jilani, yang disebut dengan “ma’ruf” adalah segala sesuatu yang selaras dengan Al-Quran, sunnah, dan nalar. Sedang “munkar” adalah sebaliknya [Syeikh Abadul Qadir Jilani, al-Ghuniyyah, jilid I,h. 53]. Dalam konteks ini, Al-Quran dan sunnah harus dipahami sebagai nilai-nilai univeral, seperti keadilan dan kemaslahatan publik. Sedang nalar mesti dipahami sebagai nalar publik. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Apa yang dipandang baik oleh orang muslim, maka baik pula di sisi Allah” [Jalaluddin as-Suyûthî, al-Asybâh wa an-Nazhâir, h.]
Menarik untuk dicermati, ketika Syeikh Abdul Qadir Jilani memasukan nalar sebagai alat untuk mengatahui “ma’ruf” dan “munkar”. Dengan kata lain, Syeikh Abdul Qadir Jilani ingin menyatakan bahwa akal bisa mengetahui ma’ruf dan munkar. Pandangan ini tentu bersebrangan dengan kelompok yang menyatakan bahwa “ma’ruf” dan “munkar” hanya dapat diketahui melalui teks, yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang “ma’ruf” adalah segala sesuatu yang tak bertentangan dengan nilai-nilai universal ajaran Islam dan nalar publik. Sedang yang “munkar” adalah sebaliknya. Inilah patokan yang harus dijadikan pegangan untuk menilai apakah sesuatu itu ma’ruf atau munkar.
Dan hal yang mesti dipahami lebih lanjut adalah, bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak berlaku dalam persoalan-persoalan khilafiyah. Seperti, pernikahan tanpa wali, dan ziarah kubur. Kita tak boleh menganggap orang yang melakukan pernikahan tanpa wali atau orang yang berziarah kubur sebagai sesat, sehingga apa yang mereka lakukan harus dicegah.
Lebih lanjut, menurut Syeikh Abdul Qadir Jilani syarat amar ma’ruf nahi munkar adalah mampu menjalanknnya, tetapi selama tak membahayakan diri, harta, dan keluarganya [Syeikh Abdul Qadir Jilani, al-Ghuniyyah, jilid, I, h. 50]. Bagi saya, ketiga hal ini saja tidak cukup, tetapi harus ditambahi dengan syarat tidak menodai agamanya.
Demikian itu karena banyak sekali kita jumpai orang-orang yang berbuat kekerasan dengan mengatasanamakan agama dan berlindung di bawah slogan “amar ma’ruf nahi munkar”. Mereka meliki niat baik untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar, tetapi karena cara yang mereka tempuh tidak benar, maka akibatnya mereka justru menodai agamanya sendiri. Seperti kasus swiping orang-orang yang tidak berpuasa di Ciamis, yang dilakukan oleh salah satu ormas Islam. Cara yang mereka lakukan jelas akan merusak citra Islam itu sendiri.

B. Syarat-syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Definisi merupakan hal urgen yang patut diketahui dan dipaparkan sebagai sebuah pemahaman sejauh mana seseorang memahami problem yang ia hadapi dan sebagai merupakan sudut pandang secara jelas bagaiamana seseorang tersebut berpikir serta menanggapi setiap problem yang ada, seperti misalnya kali ini dalam permasalahan amar ma’ruf nahi munkar.
Agar doktrin amar a’ruf nahi munkar tidak gunakan dengan sewenang-wenang, maka harus ada batasan atau persyaratan bagi para penganjur kebaikan dan pelarang kemunkaran. Menurut Syeikh Abdul Qadir Jilani ada lima syarat yang mesti dipenuhi oleh para penganjur kebaikan dan pelarang kemunkaran.
Pertama, ia harus mengetahui betul apa yang dia perintahkan dan apa yang dia larang. Dengan kata lain, seorang penganjur kebaikan dan pelarang kemunkaran harus benar-benar memahami dengan baik akar persoalannya, sehingga dalam bertindak penh dengan perhitungan matang. Kedua, apa yang dia lakukan harus karena Allah dan demi menjunjung tinggi kalimat-Nya. Jadi, bukan karena untuk mencari popularitas.
Ketiga, anjuran kebaikan dan larangan kemunkaran yang dilakukan olenya haruslah dengan cara yang santun dan beradab bukan dengan cara kekerasan, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu. Allah berfirman pada Nabi, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentukah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” [QS. Ali Imrân: 159].
Sedang dalam hadits nabi dkatakan, “Seseorang tak layak untuk memerintahkan yang ma’ruf dan melaang yang munkar kecuali ia telah memeiliki tiga kualifikasi. Yaitu, mengetahui dengan baik apa yang dia perintah dan apa yang dia larang, bersikap lemah-lembut dalam menganjurkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar”.
Keempat, sabar, bijak, rendah hati. Allah berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar” [QS. As-Sajdah: 24]. Dan dalam kisah Lukam Allah berfirman, “Suruhlah manusia mengerjakan yang ma’ruf dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar da bersabarlah tehadap apa yang menimpa kamu” [QS. Luqmân: 17].
Kelima, menjalankan apa yang dia sendiri perintahkan dan meninggalkan apa yang dia sendiri larang. Hal ini agar apa yang dia perintahkan dan apa yang dia larang dapat diterima oleh orang lain. begitu juga agar ia tidak dicela di sisi Allah. Dengan demikian, amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang baik, bukan dengan cara-cara yang tidak terpuji.
Berikut akan dibentangkan tujuan-tujuan dari kitab ini, iaitu amar ma’ruf dan nahi mungkar serta kewajiban menyempurnakannya, keutamaannya dan kecelaan dalam melalaikannya.
 
C. Wajib Menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Tugas menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, iaitu menyuruh membuat kebaikan dan melarang dari membuat kejahatan menjadi wajib, ditilik dari beberapa ayat al-Quran al-Karim seperti berikut:
Allah berfirman:
“Wajiblah ada di antara kamu suatu tempat (golongan) yang menyeru (manusia) kepada melakukan kebaikan, menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang jahat. Mereka itulah orang yang berjaya (bahagia).” (ali-Imran: 104)
Ayat yang tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban hukum amar ma’ruf dan nahi munkar. Sebab perkataan waltakun yang bermaksud wajiblah ada merupakan suatu perintah, dan zahir sekali perintah itu menunjukkan kewajiban perkara yang disuruh. Kemudian dalam ayat itu diterangkan pula perkataan berjaya atau bahagia, yang mana pencapaian tingkat itu bergantung dengan melakukan perintah yang wajib tadi. Perhatikanlah firmanNya: Wa Ulaika Humul Muflihuun yang maksudnya: Mereka itulah orang yang berjaya (bahagia). Ternyata padanya bahwa tugas itu merupakan wajib fardhu Kifayah, bukannya fardhu ‘Ain, yang mana bila sesuatu ummat atau golongan menjalankan perintah atau tugas itu, maka gugurlah kefardhuannya ke atas seumum manusia yang lain.
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan setengah mereka menjadi pemimpin kepada setengah yang lain; mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan melarang dari mengerjakan yang jahat dan mereka mendirikan sembahyang.” (at-Taubah: 71)
 Allah S.W.T telah mensifatkan orang-orang yang beriman itu sebagai orang-orang yang menyuruh mengerjakan kebaikan, maka dengan itu siapa saja yang meninggalkan tugas menyuruh membuat yang baik itu ia termasuk keluar dari golongan orang-orang yang disifatkan oleh Allah S.W.T dalam ayat tersebut sebagai orang yang beriman:
“Allah telah meletakkan laknatNya ke atas orang-orang kafir dari kaum Bani Israel atas lisan (lidah) Daud dan Isa bin Maryam. Yang demikian disebabkan mereka menderhaka dan sering melanggar batas. Mereka itu selalunya tiada larang melarang terhadap kejahatan yang mereka lakukan. Alangkah buruknya perilaku yang mereka lakukan itu.” (al-Maidah 78-79)
  Ayat tersebut merupakan kemuncak ancaman dan kemurkaan dari Allah Ta’ala kerana yang menyebabkan mereka ditimpa laknat itu ialah kerana mereka meninggalkan nahi mungkar; iaitu mencegah orang dari melakukan kejahatan.
Allah berfirman S.W.T :
“Kamu sekalian adalah sebaik-baik ummat yang dilahirkan untuk kepentingan manusia, kamu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat kejahatan.” (ali-Imran : 110)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar itu paling utama sekali kerana Allah telah memberi kepujian kepada orang yang menjalankan tugas ini, sebagai sebaik-baik ummat di atas muka bumi ini.
Allah berfirman:
“Dan setengah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, kami pun menyelamatan orang-orang yang melarang dari membuat kejahatan dan kami menyiksa orang yang menganiaya itu dengan siksaan yang mengerikan tersebab mereka itu berbuat kejahatan.” (al-A’raf: 165)
Ayat ini pula menerangkan, bahwa mereka itu mendapatkan keselamatan dikeranakan mereka mencegah dari melakukan kejahatan.
Firman Allah:
“Dan tolong-menolong kamu atas kebajikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong atas dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)
Perintah ini adalah suatu kemestian dan maksud tolong-menolong itu ialah mengajak melakukannya dan mempermudahkan jalan kepada melakukan kebajikan serta menutup jalan-jalan yang boleh menyampaikannya kepada kejahatan, dan permusuhan sekadar kemampuan.
Sebagaimana firman Allah;
“Mengapa mereka tiada dilarang oleh ahli-ahli ilmu ketuhanan dan para pendita dari mengucapkan kata-kata dosa dan memakan makanan yang haram. Sungguh amat buruk segala apa yang mereka kerjakan.” (al-Maidah: 63)
Ayat tersebut menyatakan betapa berdosanya mereka disebabkan mereka telah mengaibkan perintah melarang membuat kejahatan.
Firman Allah:
“Mengapa tidak diperdapat dari angkatan (turunan) yang terdahulu dari kamu orang-orang yang mempunyai kelebihan, yang akan melarang manusia dari mengerjakan keburukan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil saja di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan.” (Hud: 116) 
Ayat ini telah menerangkan kepada kita, bahwa Allah Ta’ala telah memusnahkan semua mereka, kecuali sebahagian kecil saja dari orang-orang yang telah mencegah melakukan keburukan itu.
Allah berfirman dalam Kitab-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman jadilah orang-orang yang kuat memegang keadilan menjadi saksi bagi Allah sekalipun ke atas diri kamu atau kedua ibu bapa dan kaum kerabat.” (an-Nisa’: 135) yaitu amar ma’ruf juga ditujukan kepada ibu bapa dan kaum kerabat.

Seperti halnya firman Allah:
“Tiada mendatangkan kebaikan dalam banyaknya rapat-rapat rahasia mereka, melainkan yang mendatangkan kebaikan itu ialah bagi orang-orang yang menyuruh bersedekah, atau melakukan kebaikan, atau membuat perdamaian antara manusia. Barangsiapa yang mengerjakan itu kerana mengharapkan keredhaan Allah, akan Kami berikannya kepadanya pahala yang besar.” (an-Nisa’: 114)
Adapun khabar atau Hadis yang memberitakan tentang amar ma’ruf dan nahi munkar ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Bakar as-Siddiq r.a. dari Rasulullah s.a.w. sabdanya:
“Tiada ada suatu kaum pun yang melakukan maksiat-maksiat, sedang dalam kalangan kaum itu ada orang yang mampu mencegah mereka dari perbuatannya itu tetapi ia tiada berbuat, tiadakah ia merasa bimbang bahwa Allah hampir-hampir akan menimpakan siksa-Nya atas mereka sekalian.”
Selain ini, ada banyak lagi Hadis-hadis lain yang diriwayatkan dalam perkara ini, sampai tiada terkira banyaknya. Dalam dalil-dalil yang tersebut di atas, nyatalah bahwa tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar itu menjadi seperkara yang wajib, dan kewajibannya pula tiada terluput sama sekali, selagi ada kemampuan untuk melaksanakannya, kecuali jika sudah ada orang lain yang memenuhi tugas itu.

D. Kategori Amar Ma'ruf Nahi Mungkar

Di antara kewajiban-kewajiban terpenting adalah amar ma'ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar." Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini, bahwa di antara sifat-sifat wajib kaum mukminin dan mukminat adalah menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Allah S.W.T berfirman; "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dan yang mungkar, dan beriman kepada Allah." Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman. [HR. Muslim]

* Penulis adalah Mahasiswa angkatan 2007 Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora yang sekarang aktif di PMII "Humaniora Park" RaFak Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar: