Jumat, 16 Mei 2008

TULISAN

SATU ABAD KEBANGKITAN NASIONAL
;Sebuah Refleksi Kebangsaan

Oleh: Munir Boshe*

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 agustus 1945, merupakan titik akumulasi beratus-ratus tahun perjuangan panjang rakyat Indonesia. Ada banyak titik sejarah dimana rakyat menginginkan kemerdekaan penuh dari penjajah. Awalnya, kemerdekaan yang diperjuangkan hanya parsial dan bersifat kedaerahan saja. Perjuangan kemerdekaan mulai menjadi gerakan nasional sejak munculnya Budi Utomo yang didirikan oleh para mahasiswa STOVIA pada 20 Mei 1908. Budi Utomo, kendatipun hanya berupa gerakan kultural, dinilai sebagai gerakan pertama menuju Indonesia Merdeka (Silalahi, 2001).
Munculnya Budi Utomo tidak lepas dari fenomena kebangkitan yang terjadi di daratan Asia. Pada tahun 1905 Jepang berhasil mengalahkan tentara Rusia di Port Arthur dan Selat Tsushima. Sebelum kemenangan Jepang ini, masyarakat kulit berwarna diangggap masyarakat inferior dan selalu berada di bawah bayang-bayang orang-orang kulit putih.
Pasca kemenangan Jepang ini kemudian muncul Revolusi Tiongkok tahun 1911, Marxisme, Pan Islamisme, Perjanjian Versailles, yang mengakui hak-hak bangsa untuk mengatur dirinya sendiri, berdirinya Volkenbold, Gerakan Irlandia, dan Gerakan Swadeshi (Civil Disobedience) di India, berperan besar dalam melahirkan Pergerakan Nasional di Indonesia.
Muncullah kemudian organisasi-organisasi gerakan di Indonesia yang multidimensi. Jalan gerakan yang ditempuh waktu itu berbeda-beda. Ada yang memilih di jalur politik, jalur ekonomi, keagamaan, pendidikan dan lain-lain. Namun yang tidak dapat dilupakan oleh sejarah adalah pasang-surutnya organisasi gerakan di Indonesia. Tidak banyak organisasi gerakan yang dapat bertahan lama karena mendapat tekanan ataupun dilarang oleh pemerintah kolonial waktu itu.

Satu Abad Kebangkitan, Sebuah Spirit Perjuangan
Kebangkitan nasional telah sampai pada hitungan satu abad, terhitung sejak tahun 1908. Momentum ini akan menjadi sejarah baru bagi bangsa ini apabila bangsa ini mampu menempatkannya pada posisi analitik dan reflektif. Sebab melalui refleksi akan terlahir skenario baru demi perubahan bangsa Indonesia yang hingga hari ini mengalami krisis multidimensi.
Sejak 1997, diawali dengan krisis moneter, ekonomi bangsa mulai carut marut. Krisis ini tidak an sich berpengaruh pada perokonomian semata, tetapi merambat pada aspek yang lain, seperti pendidikan, politik, pengelolaan sumber daya alam, bahkan pada tingkat kebijakan Negara yang bersifat prinsipil. Political will pemerintah untuk mengoptimalkan sumber daya ekonomi dalam negri hingga kini belum mampu melepas diri dari lilitan utang luar negri.
Pada ranah politik, lahir berbagai ideologi politik sektarian yang—disadari atau tidak—dapat mengancam keutuhan NKRI. Panggung politik bangsa ini hanya menyajikan drama pertarungan antar kelompok yang sedang berebut kursi kekuasaan. Kepentingan-kepentingan bangsa yang semestinya menjadi front line hanya berada di last line. Teori politik kekuasaan Machiavellialistik (menghalalkan segala cara untuk meraih sebuah kepentingan politik kekuasaan) mengakar kuat dalam benak dan otak para politisi.
Demikian pula dalam bidang hukum. Aparat bangsa ini mengalami impotensi dalam memutuskan kasus-kasus hukum. Banyak kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), maraknya mafia peradilan dan lain-lain menjadi tidak tersentuh dan mengambang dan akhirnyan hilang ditelan waktu. Benar kiranya pernyataan Whie Collar Criem bahwa keseriusan pemerintah dan aparat hukum di Indonesia untuk menegakkan supremasi hukum ada dibawah lampu remang-remang.
Dalam bidang pendidikan, angka anak putus sekolah makin meningkat. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana umum(publik) tidak lagi bisa diakses oleh semua golongan. Dalam persoalan akses pendidikan, berbagai kebijakan pemerintah justru mempertegas garis demarkasi si miskin dengan si kaya. Pendidikan kemudian bersujud pada pada kepentingan market global yang ternyata membodohkan bangsa. Pengelolaan sebuah lembaga pendidikan dirangkai layaknya sebuah perusahaan yang mampu memproduksi manusia agen-agen global.
Aspek ekonimi tidak jauh bernasib serupa. Penyediaan lapangan kerja mengalami jalan buntu. Tingginya angka pengangguran mencapai +40 ribu jiwa, proses privatisasi dan komersialisasi disegala bidang, tersendatnya iklim investasi, melemahnya nilai tawar usaha kecil menengah, serta menguatnya konglomeralisasi wajah baru, menandakan bahwa reformasi bangsa ini belum sepenuhnya maksimal. Sehingga tidak mustahil jika angka TKI dan TKW setiap tahunnya meningkat drastis.
Dari sekian kondisi ini, dengan momentum satu abad kebangkitan, mampukah bangsa ini membuat skenario baru yang mempunyai visi-misi mengangkat bangsa dari krisis multidimensi serta membebaskan bangsa dari penjajahan bentuk baru? Duahal yang layak kita lakukan: refleksi dan merencanakan esok yang lebih baik.


Esok bukanlah misteri bila hari ini kita mau berbuat yang terbaik untuk bangsa!
(jangan lupakan ngopi bersama!)


*Munir Boshe adalah Mahasiswa Prodi Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora yang sekarang aktif di PMII sebagai Ketua Umum "Humaniora Park" RaFak Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar: