Jumat, 16 Mei 2008

SOSIOLOGI; NAHDLATUL ULAMA'; PERSPEKTIF FUNGSIONALISME

NAHDLATUL ULAMA; PERSPEKTIF FUNGSIONALISME*

I. PENDAHULUAN

Dalam beragama berkaitan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan khayalnya yang paling luas dan kadang juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling dalam dan sempurna, serta juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian kita tertuju sepenuhnya kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat [akhirat], namun agama (juga) melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia ini.
Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga yang telah didirikan di alam tersebut. Namun demikian agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang. Beribadat bersama-sama memakai lambang aliran keagamaan masing-masing telah mempersatukan kelompok-kelompok manusia dalam ikatan yang paling erat, sehingga terjalinnya suasana dan interaksi fungsional yang kokoh.
Sebagaimana di Indonesia saat ini, NU atau Nahdlatul Ulama’ yang dihuni oleh para Kiai-kiai yang dianggap orang suci merupakan salah satu dari berbagai macam aliran di indonesia. Masyarakat yang menganggap bahwa aliran sebagai sebuah prinsip dalam beragama, menentukan dan menjelaskan siapa yang dianut. Masyarakat desa yang cara berpikirnya lebih condong kepada tradisional lebih cocok dalam wadah aliran ini yang diklaim sebagai aliran tradisional. NU mempunyai andil besar terhadap pembentukan masyarakat serta mempertahankan eksistensi masyarakat tradisoanal yang banyak dihuni oleh masyarakat desa. Meski dalam realitanya banyak para generasi jauh berpikir moderat.
Fatwa-fatwa/kebijakan kiai yang dianggap sebagai hal yang sakral dan sesuai dengan norma, nilai dan budaya merupakan keyakinan aliran ini. Para anggota beranggapan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan merupakan suatu hal yang baik yang patut didukung dan dilaksanakan. Artinya memang teori ini (fungsional) pro-status quo kebijakan dianggap hal yang baik dan perubahan sosial yang cepat (revolutif) dianggap sebagai penyimpangan suatu sistem dan perlu pengembalian adanya sebuah stabilitas masyarakat. Dan selanjutnya akan kami bahas aliran ini (Nahdlatul Ulama) dengan meminjam perspektif teori fungsional.

II .PEMBAHASAN

A. Aliran-Aliran Keagamaan

NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah dalam Islam dan Protestan,* Lutheran,* Calvinism* dalam Kristen serta masih banyak lagi aliran keagamaan lain yang ada dimiliki masing-masing agama diberbagai penjuru dunia. Indonesia yang tingkat hiterogenitasnya tinggi merupakan wadah dimana aliran-aliran sewajarnya muncul sebagai sebuah upaya untuk mencita-citakan keadaan yang saling menguntungkan satu sama lain. Semisal Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah dan lain-lain dalam hal beragama, baik beribadah, interaksi sosial dan tindakan sosial yang menyangkut kepercayaan dalam memuja Tuhan yang Agung yang masing-masing mempunyai keyakinan dan interpretasi sendiri-sendiri sebagai makhluk Tuhan yang berakal. Di dalam ajarannya mengajarkan sebuah ketenangan, keteraturan yang nantinya mampu menciptakan sebuah keseimbangan dalam masyarakat..
Dalam ibadat keagamaan dihiasi dengan keindahan seni; [tetapi] juga berjalan baik dalam kehidupan yang paling sederhana sekalipun. Ide-ide tentang Tuhan membantu memberi semangat kepada manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik, atau bahkan ”berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya”.
Berbagai macam aliran keagamaan mempunyai ciri dan bentuk ajaran sendiri dalam pencapaiannya terhadap Tuhan. Bentuk rutinitas dan ajaran aliran yang dianggap sebagai sebuah bentuk stabilitas keberlangsunngan ajaran/tradisi mereka dalam hal mematuhi ajaran aliran keagamaannya yang tentunya dipercayai oleh anggotanya. Taruhlah, NU dengan Tahlil, Yasinan serta Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih dan lain-lain.

B. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama’

NU atau Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 1926 oleh sejumlah tokoh tradisional dan usahawan dari Jawa Timur. Sudah seringkali dinyatakan bahwa NU didirikan oleh kiai tradisionalis yang menyaksikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam reformis. Pengaruh Muhammadiyah dan Serikat Islam yang semakin meluas, demikian menurut argumen ini, telah memarginalisasikan kiai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin dan juru bicara komunitas muslim, dan ajaran kaum pembaru sangat melemahkan legitimasi mereka. Dikatakan NU didirikan untuk mewakili kepentingan-kepentingan kiai, vis a vis pemerintah dan juga kaum pembaru dan untuk menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang hadir lebih dahulu
Perbedaan mengenahi seputar persoalan-persoalan furu’iyah yang pada awalnya perbedaan dan pertentangan pendapat yang terjadi masih dalam batas wajar anatara pihak kelompok yang berpegang teguh pada tradisi ibadah dan ajaran madzhab dengan kelompok yang menghendaki adanya pembaruan dalam beragama tanpa terikat dengan madzhab.
Selain alasan di atas, semangat nasionalisme, basis sosial Islam tardisional dan peristiwa internasional yang juga menjadi alasan lain melatar belakangi lahirnya aliran keagamaan (Nahdlatul Ulama) ini. Kelompok Islam tradisional, kebanyakan mempunyai latar belakang kehidupan pesantren bahkan ada diantara mereka yang memimpin pesanten dengan sejumlah santri. Antara Islam tradisional dengan pesantren mempunyai kaitan yang sangat kuat dan merupkan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain basis sosial Islam tradisional adalah pesantren.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dipimpin oleh kiai dan mempunyai pondok yang digunakan sebagai tempat tinggal santri. Kegitan dalam pesantren merupakan pendidikan dan pengajaran kitab-kitab klasik. Pesantren dalam pengertian diatas lah yang nampaknya mempunyai relevansi yang kuat dengan Islam tradisional yang pada umumnya terletak di pedesaan meski ada juga di daerah industri/perkotaan.
Disamping itu di negeri Hijaz Ibn Sa’ud telah merebut kekuasan yang dulunya ditangan Syarif Husain dan bermaksud untuk membahsa pengaturan kota Makkah dan Madinah dan terjadinya polarisasi pandangan umat Islam indonesia khususnya Indonesia di Jawa. Sebab bagaimana pun juga Ibn Sa’ud dan pengikutnya adalah penganut ajaran Wahabi. Kelompok Wahabi ini terkenal terhadap segala sesuatu yang berbau pemujaan kepada wali dan orang yang sudah meninggal,melakukan pegahancuran terhadap makam-makam keramat dan menghilangkan praktek-praktek keagamaan yang dianggap bid’ah dan tentu saja membuat cemas golongan Islam tradisional di Indonesia. Dilain pihak membawa angin segar bagi kaum pembaru.
Abdul Wahab Hasbullah sebagai wakil dari kelompok Islam tradisional menghendaki agar delegasi yang dikirim ke Hijaz meminta jaminan Ibn Sa’ud untuk mneghormati madzhab-madzhab fiqh dan memperbolehkan praktek keagamaan secara tradisional. Demikian pula untuk meniadakan pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke makam orang-orang suci di Makkah dan sekitarnya, usulan ini dilontarkan oleh Abdul Wahab Hasbullah dalam pertemuan-pertemuan dengan ulama lain namun kurang mendapat sambutan bahkan kongres yang selalu didominasi oleh kaum modern ini tidak begitu menghiraukan usulan Abdul Wahab Hasbullah. Mereka lebih mendukung Raja Ibn Sa’ud.
Oleh karena Abdul Wahab Hasbullah beserta kelompok Islam lain tradisional semakin tidak mendapat tempat dalam berbagai forum, maka Abdul Wahab Hasbullah mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan sendiri. Akhirnya sebelum kongres Al-Islam ke-5 di Bandung yang sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 6 Pebruari 1926, Abdul Wahab Hasbullah dan para ulam di Surabaya mengadakan pertemuan dengan tujuan membahas pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Hijaz (Makkah). Pertemuan tersebut terlaksana pada tanggal 31 Januari 1926 di rumah Abdul Wahab Hasbullah, atas undangan Komite Hijaz.
Atas undangan disampaikan oleh Komite Hijaz, maka berkumpullah para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di kampung Kertopaten Surabaya, yaitu di rumah Abdul Wahab Hasbullah. Tugas utama Komite Hijaz ini adalah mempersiapkan pengiriman delegasi yang akan dikirim ke Muktamar Alam Islami Makkah dan mempersiapkan pertemuan para ulama terkemuka se Jawa dan Madura.
Tugas yang diamanatkan kepada komite Hijaz ini ternyata dapat dijalankan dengan baik. Artinya, pertemuan ulama dapat dilaksanakan pada tanggal 31 Januari 1926. Dalam petemuan tersebut menghasilkan dua keputusan penting. Petama, mengirim Abdul Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghana’im al Mishri untuk menghadap Raja Ibn Sa’ud, penguasa yang baru di Hijaz untuk memberikan kebebasan beribadah menurut madzhab empat. Kedua, mendirikan suatu Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Konon ketika itu ada dua pilihan nama untuk organisasi yang didirikan tersebut, yaitu Nadhudul Ulama dan Nahdlatul Ulama. Namun yang menjadi kesepakatan bersama adalah nama Nahdlatul Ulama (NU).

C. Definisi Aliran Keagamaan; Teori Fungsionalisme

Istilah fungsi, seperti kita ketahui menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama (dalam pembahasan ini aliran agama) atau lembaga sosial yang lain untuk mempertahankan [keutuhan] masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah dan masih dimainkan oleh atau aliran keagamaan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat-masyarakat tersebut.
Sarjana Amerika semua sependapat untuk menentang pendapat positivistis lama yang menyatakan bahwa agama muncul dalam kondidsi-kondisi kebodohan dan ketidakcakapan intelektual tertentu yang tidak akan bisa bertahan selama-lamanya. Mereka ingin menunjukkan bagaimana sifat kemanusian esensial tertentu seharusnya muncul dalam gejala-gejala keagamaan, dan untuk melakukan hal itu mereka menyatakan bahwa agama-agama berfungsi mendukung nilai-nilai dan aturan-aturan sosial. Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, ”teori fungsional” memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan; yang memolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Lembaga-lembaga yang kompleks ini secara keseluruhan merupakansistem sosial yang sedemikian rupa dimana setiap bagian (masing-masing unsur kelembagaan itu) saling tergantung dengan semua bagian yang lain, sehingga perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan.
Perlu ditegaskan bahwa menurut teori fungsional, masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, dimana masing-masing lembaga memilki fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi, dengan kompleksitas yang berbeda-beda ada pada setiap masyarakat baik masyarakat modern maupun masyarakat primitif. Contoh lembaga keagamaan berfungsi membimbing pemeluknya menjadi anggota masyarakat yang baik dan penuh pengabdian untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sejauh mana aliran keagamaan dapat menarik perhatian dan terus eksis untuk diburu penduduk bumi, dan seberapa stabil teori fungsionalis mencita-citakan adanya aliran keagamaan sebagai sebuah pandangan adanya keseimbangan? hal ini hanya bisa dijawab tergantung anggota perseorangan yang menganggap aliran keagamaan mempunyai dedikasi besar terhadap proses beragama dan masyarakat, serta sadar akan kesinambungan berbagai macan aliran keagamaan. Namun jika tidak maka prediksi yang sangat jelas sesuai dengan teori fungsional bahwa aliran keagamaan nantinya akan ditinggalkan oleh para pengikutnya. Untuk lebih jelasnya kita lihat pembahasan dibawah ini.

D. Fungsi Aliran Keagamaan (Nahdlatul Ulama) bagi Masyarakat

Menurut analisis pribadi ada beberapa hal fungsi yang melatar belakangi kenapa aliran keagamaan (Nahdlatul Ulama) ini di ikuti oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang kental dengan kultur tradisional dan mitos-mitos serta mistiknya. Adapun fungsi-fungsinya antara lain sebagai berikut:

a. Dapat membimbing untuk mencapai sebuah ikatan batiniyah terhadap Tuhan
b. Fans pada tokoh-tokoh tertentu (kiai) dan kharismatik kiai-kiai
c. Kesamaan cara berpikir dan problem solvingnya (pada kiai)
d. Ajaran keilmuannya menekankan atas hormat pada hal-hal yang dianggap sakral (wali, kiai dll)
e. Sebagai backing masyarakat kelak ketika di akhirat (yang salah dan benar)
f. Sebagai pedoman dalam bertindak maupun berpikir
g. Sebagai pendidik dalam sebuah wadah yang dianggap representatif terhadap keilmuan atau kultur setempat
h. Guna mengingatkan dalam berbuat, serta mematuhi atau taat pada orang yang lebih tua yang dianggap pernah maupun berjasa pada dirinya
i. Dianggap mampu mengotrol segala tindakan yang dianggap melanggar dari aliran yang dianut (NU)
j. Juga mengembangkan landasan keilmuan dengan metode tertentu yang dimiliki (karena relevan)
k. Tempat sharing terhadap permasalahan yang dihadapi maupun keilmuan yang sesuai dipelajari
l. Meningkatkan keyakinan sesuai kepercayaan alirannya
m. Membantu menyelesaikan problem serta sebagai menambah jaringan sosial dll.

Dalam beberapa kategori diatas kiranya begitu jelas apa fungsi aliran keagamaan. Dalam hal ini Nahdlatul Ulama sebagai sebuah wadah dimana para pengikutnya merasakan fungsi yang telah diberikan. Ketika Nahdlatul Ulama dianggap memberikan fungsi terhadap anggotanya maka aliran keagamaan ini akan terus eksis sebagaimana kuatnya anggapan anggotanya terhadapa fungsi yang telah diberikan dan itupun sebaliknya.
Nahdlatul Ulama dikatakan sebagai aliran keagamaan terbesar saat ini. Aliran ini hanya ada di Indonesia yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat. Ciri khas aliran ini seperti halnya yang diyakini oleh para pengikutnya dengan konsep sentral kharismatik para kiai-kiai dan fatwa kiai dianggap harga mati yang harus ditaati. Salah satu kemungkinan inilah yang dianggap sesuai atau relevan dengan kultur Indonesia yang lebih kepada mitos-mitos, tradisional dan mistisistik semisal, slametan orang meniggal dan ritual-ritual lain yang memang dulunya berasal dari agama Hindu menjadi konstruksi kultur mitos, tradisional dan mistik inilah yang mungkin menjadi alasan kenapa aliran ini (NU) diikuti.
Kharismatik seorang tokoh kiai merupakan ciri-khas aliran Nahdlatul Ulama sebagai wadah keagamaan masyarakat. Dalam konsep Weber karakter kharisma hanya mengenal determinasi batin dan batasan batin. Pemegang kharisma menyambar tugas yang layak baginya dan menghendaki kesetiaan dan pengikut berdasarkan misinya. Keberhasilannya menentukan didapat atau tidaknya hal-hal yang ia kehendaki itu. Klaim kharismatik menemui kegagalan bila misinya tidak diakui oleh orang-orang yang yang ia merasa di utus bagi mereka. Jika mereka mengakuinya, maka dialah tuan mereka-sejauh ia tahu bagaimana merawat pengakuan itu dengan ”membuktikan” dirinya. Tetapi ia tidak mendapatkan ”haknya” dari kehendak mereka, seperti yang terjadi dalam sebuah Pemilu. Justru sebaliknya yang berlaku: adalah kewajiban mereka yang menjadi sasaran misinya untuk mengakui sebagai pemimpin mereka yang memenuhi syarat kharismatis.
Para kiai kharismatik harus menunjukkan bagaiamana seorang kiai itu menjadi teladan contoh dan misi keagamaan atau dakwah yang baik bagi pengkutnya. Jika hal ini tidak mampu dibuktikan oleh para kiai yang ada di aliran keagamaan ini (NU), maka para kiai ini akan ditinggalkan dan tidak akan dipercaya atau tidak diakui kharisma kiainya oleh segenap pengikutnya. Artinya para kiai harus menunjukkan kharismatiknya sebagai kiai agar dipercaya.
Pemimpin kharismatik memperoleh dan mempertahankan otoritasnya semata-mata dengan mebuktikan ketangguhannya dalam hidup. Jika ia ingin menjadi Nabi, ia harus menampilkan mukjizat, jika ingin menjadi pengliama perang, ia harus melakukan tindakan heroik. Tapi yang paling penting, misi ilahiyahnya harus ”membuktikan” diri bahwa mereka yang pasrah sepenuh hati padanya akan tercukupi. Jika mereka tidak tercukupi, jelas ia bukan maharesi yang dikirim para dewa.
Lebih-lebih di Pulau Jawa yang memang konstruksi kultur tradisional dengan mistik atau mitosnya yang kuat. Selain itu desakan dan wajah pendidikan yang memang juga mampu mempengaruhi aliran ini untuk diikuti misalnya, Pesantren merupakan basis utama Nahdlatul Ulama berjuang dan berkembang juga hubugan yang sangat menonjol yang dicontohkan antara santri dan kiai yang menempatkan kiai sebagai pemimpin sentral khususnya pedesaan, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hadirnya seorang kiai ditengah-tengah masyarakat dianggap mempunyai kekuatan dan dapat melindungi serta membawa kepada keselamatan.
Dengan demikian kiai menjadi pemimpin dan tokoh dalam kehidupan santri dan juga masyarakat pedesaan. Merekalah yang menjadi kekuatan utama bagi aliran tradisonal ini. Selain Pesantren pendidikan formal yang dibungkus dalam sebuah kultur pesantren (MA swasta) juga menjadi alasan, kenapa aliran ini di amini sampai sekarang disamping itu juga LP Ma’arif NU merupakan bentuk kerjasama yang dilakuakan oleh pendidikan tersebut, dan wadah-wadah kepemudaan yang juga dianggap cukup representatif oleh kalangan pemuda (IPNU-IPPNU). Namun, lambat laun ketika nanti dunia sudah beralih dan mainstream manusia mulai tergeser sedikit maupun banayak dengan gempuran modernitas-globalisasi maka tradisionalitas akan luntur serta kepercayaan terhadap sebuah hal mistik atau berbau mitos akan beralih kepada ilmu pengetahuan. Dan inilah yang mungkin akan menyebabkan dan dipandang bahwa aliran keagamaan tidak memberikan sumbangan apapun terhadap masyarakat dan nantiya aliaran ini akan ditinggalkan karena mereka mendasarkan kepercayaannya terhadap Tuhan dengan agenda dunia yakni ilmu pengetahuan (deisme).

E. Nahdlatul Ulama, Perspektif Fungsionalisme

Ada tiga bentuk dasar/prinsip teori fungsional dalam hal memandang suatu permasalahan yang menjadi acuan dalam menganggapi suatu problem yakni tentang aliran keagamaan khususnya, antara lain;

Ø Pertama, Masyarakat dipandang sebagai suatu organisme yang terdiri dari bagian-bagian saling bergantung/terkait dan bekerjasama untuk sistem yang ada serta seluruh struktur sosial atau setidaknya yang diprioritaskan, menyumbangkan terhadap integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku.
Bahwa aliran keagamaan (NU) merupakan sebuah bagian-bagian dari agama tertentu yang satu sama lain saling bergantung atau berkaiatan sesuai fungsinya. Karena NU punya kelompok kiai-kiai masing-masing aliran mempunyai ciri kekhasannya sendiri-sendiri maka ciri/khas yang berbeda inilah berguna untuk saling sharing/berfungsi tambal-sulam apa yang belum dimiliki oleh kelompok kiai-kiai lain. Contoh, dalam diri NU ada berbagai macam massa kelompok kiai yang dalam setiap pengambilan keputusan pasti selalu merujuk pada sebuah pertimbangan yang ada karena ada unsur keseimbangan, dan hasilnya jelas tidak menguntungkan salah satu pihak dan bergantung satu-sama lain. Masing-masing kelompok kiai-kiai ini berfungsi atau bekerjasama untuk menjalankan maksud/tujuan masing-masing sehingga tercapainya sebuah keadaan stabil yang diinginkan anggota aliran Nahdlatul Ulama tersebut.

Ø Kedua, kelangsungan struktur atau Eksistensi atau pola yang telah ada dijelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang keduanya diduga perlu atau bermanfaat terhadap permasalahan masyarakat (tanpa adanya fungsi bagi sistem maka struktur akan hilang dengan sendirinya). Terletak pada besar kecilnya fungsi sistem.
Bahwa jika eksistensi maupun fungsi instansi dari aliran keagamaan itu dirasa kurang/tidak memberikan manfaat/dedikasi terhadap anggotanya, maka aliran keagamaan (NU) ini akan hilang dengan sendirinya, dan itu pun sebaliknya jika eksistensi maupun fungsi instansi dari NU sebagai aliran keagamaan dirasa memberikan manfaat/dedikasi terhadap anggotanya, maka NU sebagai aliran keagamaani akan terus eksis dengan sendirinya (perspektif fungsional). Contoh, jika Nahdlatul Ulama dianggap memberikan dedikasi buat anggotanya maka aliran ini akan terus eksis dengan sendirinya, dan sebaliknya, jika Nahdlatul Ulama dipandang kurang bahkan tidak maka NU akan hilang dengan sendirinya, tergerus oleh waktu.

Ø Ketiga, Pencapaian equilibrium atau harmonis dilaksanakan melalui sosialisasi nilai dan norma yang didapatkan melalui konsensus. Sifat homeostatic­ dari sistem sosial: bahwa sistem sosial bekerja untuk menjaga stabilitas dan mengembalikannya setelah adanya perubahan dari luar. Konsensus memandang norma dan nilai sebagai landasan masyarakat aliran keagamaan dalam pembahasan ini tentunya, memusatkan perhatian kepada keteraturan sosial berdasarkan atas kesepakatan diam-diam dan memandang perubahan sosial terjadi secara lambat dan teratur.
Dalam pandangan teori fungsional ini, sebuah konsensus dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat dari orang yang berada diatasnya (pemerintah maupun intistusi lain) yang diperuntukan bagi anggota aliran keagamaan itu semisal, dipandang sebagai upaya untuk berpikir (positive thinking) dan berbuat hal baik (do positive) yang jelas berdasar atas berdasar atas nilai, norma, budaya yang ada dan dibangun didalam aturan yang disepakati itu serta dianggap sebagai sebuah upaya baik untuk menciptakan keseimbangan dalam lairan keagamaan, dan inilah teori fungsional yang dianggap pro-status quo yaitu siapa yang mempunyai hegemoni tinggi dianggap sebagai sebuah upaya perbaikan dan perwujudan berdasar atas nilai, norma budaya yang ada, karena kebudayaan dalam pengertian ini merupakan suatu sistem makna-makna simbolis (symbolic system of meanings) yang sebagian diantaranya menentukan realitas sebagaimana diyakini, dan sebagian lain menentukan harapan-harapan normatif yang dibebankan pada manusia.
Dan jika dalam diri aliran Nahdlatul Ulama’ terjadi perubahan sosial yang cepat (revolutif) baik pengaruh dari luar maupun dalam, dianggap sebagai sebuah penyimpangan suatu sitem dan perlu adanya penjagaan serta pengembalian sebuah stabilitas. Contoh, jika Yasinan yang telah menjadi anjuran atau perintah kiai-kiai merupakan rutinitas dari Nahdlatul Ulama’ sebagai aliran keagamaan dan sekarang hampir sudah ditinggalkan oleh para pengikutnya dianggap penyimpangan maka dalam teori fungsional ini aliran ini (NU) akan menjaga stabilitas, rutinitas Yasinan ini akan terus diikuti dan mengembalikan stabilitasnya setelah ada perubahan dari luar (ditinggalkan). Juga setiap kebijakan yang ditetapkan oleh kiai-kiai (pemimpin) merupakan sebuah pandangan yang dianggap baik berdasar norma, nilai dan bidaya yang ada.

III .PENUTUP

Dalam aliran Nahdlatul Ulama menurut pandangan fungsional merupakan sebuah proses untuk mempertahankan [keutuhan] masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus serta bersifat evolutif. Setiap ada perubahan yang terjadi (revolutif) dianggap sebagai penyimpangan terhadap sistem dan aturan yang ada, segala bentuk apapun suatu fatwa/kebijakan dalam diri aliran ini (Nahdlatul Ulama) yang ditentukan oleh pemimpin (Kiai), intitusi dipandang sebagai sebuah tata nilai, norma dan budaya yang ada terdapat dalam sebuah kebijakan yang dibuat diperuntukkan para pengikutnya daipandang sebagai aturan yang baik (positive thinking).
Sebagai perspektif dalam memandang setiap gejala sosial, teori fungsional memandang masyarakat atau aliran keagamaan sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan; yang memolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Lembaga/organ-organ yang kompleks ini termasuk lembaga aliran keagamaan yakni Nahdlatul Ulama secara keseluruhan merupakan sistem sosial yang sedemikian rupa dimana setiap bagian (masing-masing unsur kelompok kiai itu) saling tergantung dengan semua bagian yang lain, sehingga perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan serta perubahan yang diinginkan tidak revolutif melainkan perubahan yang bersifat evolutif. Perubahan yang bersifat evolutif sangat mempengaruhi teori ini dalam memandang suatu perubahan sosial secara keseluruhan.
Dalam NU ada berbagai macam massa kelompok kiai yang dalam setiap pengambilan keputusan pasti selalu merujuk pada sebuah pertimbangan yang ada karena ada unsur keseimbangan/equilibrium, dan hasilnya jelas tidak menguntungkan salah satu pihak dan bergantung satu-sama lain. Masing-masing kelompok kiai-kiai ini berfungsi atau bekerjasama untuk menjalankan tujuan masing-masing sehingga tercapainya sebuah keadaan stabil yang diinginkan anggota aliran Nahdlatul Ulama tersebut.
Eksistensi maupun fungsi instansi dari aliran keagamaan itu dirasa kurang/tidak memberikan manfaat/dedikasi terhadap anggotanya, maka aliran keagamaan (NU) ini akan hilang dengan sendirinya, dan itu pun sebaliknya sebagai sudut pandang yang selalu melihat sebuah aturan, kebijakan sebagai sebuah tata norma dan nilai yang mengajarkan pada kebaikan dan stabilitas serta masyarakat dipandang sebagai konsensus-konsesus dengan persetujuan yang selalu dianggap ”ya’, sangat berbalik arah dengan teori lawannya yakni konflik.

DAFTAR PUSTAKA

Zainal Arifin, Ahmad, Sosiologi 2007, Handout Teori Sosiologi Klasik,
O’dea, Thomas F., 1986, Sosiologi Agama; suatu pengenalan awal, Rajawali, Jakarta
Nottingham, Elizabeth K., 1994, Agama dan Masyarakat; suatu pengantar sosiologi agama, Rajawali Pers, Jakarta
Ritzer, George-Goodman, Douglas J. 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta
Dr Zamroni, 1992, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta
Scharf, Betty R. 1995, Kajian Sosiologi Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta,
Bruinessen, Martin van, 1994, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, LKis, Yogyakarta
Amin, M. Mansyhur, 1996, NU & Ijtihad Politik Kenegaraannya, Al-Amin Press, Yogyakarta
Max Weber, 2006, Sosiologi, terjemahan dari ”Essays in Sosiology”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta


*hasil revisi dari judul aslinya "Aliran keagamaan; Perspektif Fungsionalisme" atas dasar masukan-masukan guna memperbaiki makalah ini.

Tidak ada komentar: