Jumat, 16 Mei 2008

FIQH_USHUL FIQH

SEJARAH KEMUNCULAN,
PERKEMBANGAN MADZHAB DAN USHUL FIQH



I. PENDAHULUAN

Madzhab adalah sebuah pilihan hidup dalam menentukan dan bersinggungan langsung dengan sebuah pilihan akan hukum-hukum yang diinginkan dalam proses ia ber Tuhan. Keberadaan madzhab dan berbagai macamnya merupakan hal yang patut disyukuri sebagai sebuah khazanah intelektual manusia dalam proses pengejawantahan kreasi dari ciptaan Tuhan yang Maha dahsyat dan manusia adalah representasi Tuhan menurut perspektif Al-Farabi, serta bagiamana manusia harus meneruskan cita-cita Tuhan dalam proses dinamika di dunia ini sebagai khalifah fil alam.
Keanekaragaman bentuk madzhab dalam menentukan pandangan hukumnya dan pengambilan hukum-hukumnya dengan berbagai jalan serta syarat yang ia harus tempuh merupakan keagungan Tuhan yang tidak bisa dipungkiri. Para madzhab-madzhab lain, baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hanbali adalah putra-putra agung yang dimiliki orang Islam sebagai waratsatul anbiya’ penerus perjuangan lewat ajaran-ajaran hukumnya dalam menfsiri kehebatan nash-nash Tuhan dan hadits-hadits Nabi.
Eksistensinya sangat terasa dan tak akan terlupakan dalam pergolakan sejarah dunia Islam secara menyeluruh, siapapun mengakui kehebatan madzhab ini. Daya nalar, tafsir dan pengambilan hukum yang begitu hebat dengan melibatkan seluruh aspek keilmuan yang dimilikinya merupakan bentuk dedikasi yang sangat-sangat hebat.
Keadaan hukum yang kurang begitu jelas dapat terselesaikan dengan dasar-dasar bagiamana hukum itu di ambil dengan mengunakan metode-metode ijtihad, ushul fiqh atau yang lain yang dibentuk atau yang sudah dibukukan oleh para pendahulu kita, Imam Syafi’i sebagai pelaksana pembukuan terhadap metode-metode ushul fiqh pada waktu itu.
Ushul fiqh merupakan dasar hukum yang sangat urgen sebelum menentukan langkah kedalam pengambilan hukum fiqh, bahan mentah atau dasarnya ada di ushul fiqh. Perkembangan yang mencengangkan kiranya dalam perkembangan ushul fiqh sendiri yang sampai saat ini tetap eksis sebagai ilmu atau kaedah dalam pengambilan setiap keputusan yang berkenaan dengan hukum sekitar.
Namun, berbagai macam perspektif pasti terus mewarnai setiap kebijakan hukum yang ada, tergantung cara pengambilan dan madzhab apa atau siapa yang ia jadikan sebagai hujjah dalam pengambilan kebijakan tadi. Meski demikian, kiranya menjadi pelajaran dan renungan bahwa keberagaman perspektif yang dianut tidaklah menjadi stereotype yang membayangi dalam pengambilan kebijakan itu, karena pelangi tak kan tampak indah jika ia tak berwarna-warni.

II. PEMBAHASAN

MADZHAB

Madzhab merupakan bentuk independensi manusia sebagai makhluk Tuhan yang dengan hebatnya menginterpretasikan sebuah nash-nash maupun sunnah/hadits dengan koleksi keilmuannya yang dimiliki dengan sempurna dengan jalan ijtihad sebagai khazanah intelektual dan bentuk apresiasi seorang terhadap hukum-hukum yang belum ada atau pun bentuk kurangsetujunya ia terhadap pendapat-pendapat yang dilontarkan atau yang dicetuskan oleh para pendahulunya, karena mungkin dianggap kurang representatif serta belum mampu menjawab problem-problem yang terus berkembang sesuai dinamika zaman yang ada.

A. Sejarah Kemunculan
Berawal dari sebuah perbedaan pendapat dikalangan sahabat dan tabiin dalam furu’ dan belum terbukukannya fiqih pada waktu itu. Pemahaman hukum waktu itu tidak seperti pembahasan para fuqaha’ yang dengan segenap kemampuannya berusaha menjelaskan beberapa rukun, syarat, dan adab, membedakan suatu hal dari yang lain berdasarkan dalil-dalil, memperkirakan dan membicarakan peristiwa-peristiwa yang yang akan terjadi, lengkap dengan hukum-hukumnya, membatasi susuatu hal yang dapat dibatasi dan lain-lain.
Sebagaimana mereka menyaksikan Rasul shalat, mereka langsung mengikuti shalat, serta ketika Rasulullah wudlu dan disaksikan oleh para sahabat lalu mereka mengikuti tanpa menunggu penjelasan yang ini rukun yang ini adab. Beliau melaksanakan haji mereka mengikutinya. Walhasil, mereka berbuat seperti apa yang diperbuat oleh Rasul tanpa disertai penjelasan bahwa fardlu wudlu itu enam atau empat tidak pula diperkirakan muwalah sehingga dihukumi sah atau tidak, dan sedikit sekali mereka bertanya tentang hal semacam itu.
Perbedaan dari sebuah penalaran dan perbedaan pula dalam memahami sebuah ‘illat hukum merupakan beberapa akar kemunculan madzhab. Serta perbedaan penafsiran terhadap nash-nash al-Quran karena jelaslah berlainannya akal yang memahaminya. Hal ini yang menyebabakan atau merupakan indikasi munculnya madzhab dan berbagai penafsiran yang berbeda itu juga mengakibatkan muncul beberapa aliran madzhab.

B. Perkembangan Madzhab
Madzhab yang dulunya hanya ada di beberapa negara tertentu saja seperti halnya Irak, Arab dan sekelumit dari negara-negara Timur yang belum banyak dikenal oleh banyak kalangan sekarang madzhab terus berkembang diberbagai negara di belahan dunia, baik Timur maupun Barat, sesuai siapa yang membawa.
Demikian halnya di Indonesia, perkembangan madzhab mengalami kemajuan seiring proses penyebaran Islam sebagai sebuah ajaran normatif yang dianut dan dipercaya oleh sebagian penduduk dunia pada umumnya. Perkembangan madzhab tidak jauh dari mana Islam itu dan oleh siapa Islam itu sebagai agama dibawa dan dipelajari bahkan dianut oleh penduduk mayoritas di Indonesia. Hal inilah yang mungkin melatar belakangi proses berkembangnya madzhab di Indonesia yang pada umumnya penduduk dan sistem hukum maupun ajaran fiqih di Indonesia menganut salah satu madzhab empat yakni Imam Syafi’i sebagai pedoman. Karena hal itu tidak jauh dari orang-orang Arab dan India Selatan pada waktu itu, berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam di Indonesia yang dulu orang India Selatan ini menganut madzhab Syafi’i, akibat pengaruh yang dibawa oleh pedagang dan para mubaligh Arab yang menyiarkan ajaran Islam, sehingga Indonesia (pasai) yang menjadi tempat persinggahan para pedagagang Arab dan India, juga berpaham Syafi’i.sebagai bukti Sultan al Malikus Sahir raja pertama menganut paham Syafi’I diantara raja-raja Samudera Pasai. Kemudian pada perkembangannya, paham Syafi’I banyak berkembang diseluruh pelosok Indonesia yang dibawakn oleh para Wali di Indonesiayang terkenal dengan “wali songo”, mereka pun dalam pengajarannya berpedoman pada madzhab Syafi’i.
Dari jasa para wali yang gigih didalam mengajarkan Islam dengan berbagai cara yang sesuia dengan situasi dan kondisi pada waktu itu, maka lahirlah ulama’-ulama’ Jawa yang duduk dipesantren dan berperan serta dalam perjuangan bangsa, negara dan agama, dengan gayanya yang khas pesantren ala Syafi’i dengan bukti bahwa hampir seluruh kitab-kitab fiqih yang disajika sebagi pegangan adalah kitab fiqih yang bermadzhab Syafi’i. Hal demikian itu berkembang dan berlanjut sampai sekarang ini sebagai sebuah pilihan dalam bermadzhab.

III. USHUL FIQIH

A. Sejarah Kemunculan
Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala segala persoalan hokum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hokum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Quran. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut Hadits atau Sunnah. Al-Quran dan penjelasannya dalam bentuk hadits disebut “Sumber Poko Hokum Islam”.
Al-Quran turun dalam bahasa arab. Demikian pula hadits yang disampaikan Nabi, juga berbahasa arab. Para sahabat Nabi mempunya I pengetahuanyang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafadznya dan maksud dari setiap ungkapanya. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan NAbi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mengetahui rahasia dari setiap hokum yang ditetapkan Allah. Karenanya, mereka tidak merasa memerlukan sesuatu di balik itu dalam usaha mereka dalam menformulasikan hokum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaedah bahasa dalam memahami al-Quran dan hadits Nabi yang berbahasa Arab itu.
Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka mencarai jawabannya dalam al-Quran. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam al-Quran, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadits Nabi. Bila dalam hadits Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka mneggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadits. Mereka selalu mendasarkan pertimabangan pada usaha”memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi dasar penetapan hukum syara’.
Dengan cara sepeti itulah Muaz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog diantara keduanya sewaktu Muaz diutuis Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan qadhi.

Nabi : “Bagaimana cara anda menetapkan hukum bila kepada anda dihadapkan
perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah.”
Nabi : “Bila anda tidak menemukan jawabannya dalam kitab Allah?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum dengan sunnah Nabi.”
Nabi : “Bila dalam sunnah, anda juga tidak menemukannya?”
Muaz : “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah dalam ijtihadku.”

Jawaban Muaz dengan urut-urutan seperti itu mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad SAW.
Allah berfirman dalam kitab-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, pastuhlah kamu kepada Allah dan patuhlah kamu kepada Rasul dan orang-orang yang memimpin urusanmu. Bila kamu berselisih pendapat sesuatu, kembalikanlah kepada Allal dan Rasul.” [surat al-Nisa’ (4): 59]
Suruhan Allah dalam ayat ini untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Suruhan untuk mentaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama’ mujtahid dalam menetapka hukum, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam bidang hukum.suruhan untuk memulangkan hal dan urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan qiyas dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran, hadits dan tidak ada pul ijma’ atau kesepakatan ulama’ mujtahid.dengan demikian dalil hukum syara’ yang disepakati dikalangan ulama’ jumhur adalah empat yaitu al-Quran, Hadits atau Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa dimana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaedah-kaedah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami al-Quran dan hadits yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Kemudian para ulama’ mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaedah atau aturan permainan yang dijadiak pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan asasa dan kaedah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan mengguanakan bahasa Arab secara baik. Disamping itu, juga memperhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggungjawab hukum. Kaedah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.

B. Perkembangan Ushul Fiqh
1. Periode Sahabat

Ilmu ushul fiqih bersamaan munculnya dengan ilmu fiqih meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqih dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqih. Sebenarnya keberadaan fiqih harus didahului oleh ushul fiqih, karena ushul fiqih itu adalah ketentuan atau kaedah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqihnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqih datang belakangan.
Perumusan sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat yaitu pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqih telah ada pada waktu perumusan fiqih itu. Para sahabat diantaranya Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali ibn Abi Thalib umpamanya pada waktu mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukum cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia minum akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan tuduhan berbuat zina.” Dari pernyataan Ali itu, akan diketahui bahwa Ali rupanya mengguankan kaedah “sad al-dzari’ah”
Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tenyang wanita hamil yang kematian suami iddahnya adalah melahirakan anak, mengemukakan argumennya dengan firman Allah dalam surat al-Thalaq (85) ayat 4, meskipun juga ada firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) yang menjelaskan bahwa isteri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 surat al-Thalaq datang sesudah ayat 234 surat al-Baqarah (2).
Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan fatwanya ia menggunakan kaedah ushul tentang “naskh-mansukh”,. Dari apa yang dilakukan Ali dan Ibnu Mas’ud contoh diatas kita dapat memahami bahwa para sahabat dala melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak dirumuskan secara jelas.

2. Periode Tabiin
Pada periode tabiin lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang ulama’ tabiin tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul; umpamanya Sa’id ibn Musayyab di Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di Irak. Masing-masing ulama’ ini mengetahui secara baik ayat-ayat hhukum dalam al-Quran dan mempunayai koleksi yang lengkap tentang hadits Nabi. Jika mereka tidak menemukan jawaban hukum dalam al-Quran atau hadits, sebagian mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha istinbath hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha’I dan ulama’ Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan ‘illat hukum dari nash dan menetapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan dikemudian hari.
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa metode yang digunakan dalam merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan bentuknya. Namun, perbedaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqih.
Sebagaimana Abu Hanifah dengan menggunakan qiyas dan istihsan dalam menggali hukum, sedangkan Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang hidup dikalangan penduduk Madinah, Imam Malik yang dianggap pantulan dari aliran Hijaz menggunakan maslahat mursalah yang tidak digunakan ulama’ jumhur sebagai imbangan dari istihsan yang digunakan Abu Hanifah sebagai pantulan dari aliran Irak. Hal ini berlanjut setelahnya, Imam Syafi’i penerus selanjutnya sebagai tokoh yang dianggap penggagas peletak pedoman dalam metode berpikir yang disebut “ushul fiqih”. Yang kitab pertama di karang adalah Ar-Risalah sebelum kitab itu belum ada kitab ushul fiqih. Dan dipergunakan sebagai sumber-sumber penetapan hukum setelahnya, yaitu pada masa tabi tabi’in, yang dulu hanya diketahui dan berkembang di negara-negara tertentu sekarang sudah merambah di berbagai negara-negara belahan dunia dan di Indonesia khususnya.

3. Periode Sekarang
Ushul fiqih merambah diberbagai belahan negara didunia sebagai ilmu yang mengantarkan pada sebuah jalannya hukum yang akan ditentukan. Meski ushul fuqih dulunya dipelajari sedikit atau sebagian dari jumlah negara Islam di dunia ini, karena memang persebaran Islam pada waktu itu masih kurang menyeluruh. Namun, lambat laun peersebaran Islam mengalami peningkatan dan memicu akan perkembangan dalam mempelajari ushul fiqih, baik negara maupun umat Islam umumnya.
Perkembangan ushul fiqih dalam periode sekarang lebih kami fokuskan pada perkembangan ushul fiqih di tanah air sebagai bentuk analisis kepedulian kami terhadap Indonesia. Perkembangan ushul fiqih sudah sangat menjamur dikalangan pesantren-pesantren tradisional yang masih memegang teguh ciri khas tradisionalitasnya dengan setiap sub-sub dari pelajaran yang wajib dikaji. Berbagai ajang adu argumen dan musyawarah tentang ushul fiqih maupun fiqih pada umumnya diselenggarakan untuk mengkaji dan menggali hukum baik dengan dengan Bahtsu Masail, Tarjih, Hisbah atau pun yang lain.
Tidak ketinggalan pula sekolah-sekolah agama di tanah air sebagai materi pelajaran yang diajarkan oleh guru-guru pembimbing, baik itu ditingkatan dasar, menengah maupun atas, tidak hanya tiga dilokus sentral tadi saja, bahkan hal demikian diajarkan pula ditingkatan perguruan tinggi yang berbasis ke-Islaman.
Perkembangan demikian itu tidak luput dari peran aktif setiap anggota terkait dalam mengembangkan khazanah-khazanah pengetahuan yang dimiliki Islam sebagai sebuah entitas ajaran yang penuh dan kental dengan keilmuan Timurnya.





DAFTAR PUSTAKA

K.H Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Pustaka Tarbiyah, Jakarta; 1995
Prof. Dr. H. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 1, Logos wacana ilmu, Jakarta; 1997
Al-Dahlawi, Syah Waliyullah, Lahirnya Madzhab-madzhab Fiqh, Rosda Karya, Bandung; 1989
Djamaluddin, A. Syinqithy, Sejarah Legislasi Islam, Al-Ikhlas, Surabaya; 1994
Hasan, M. Ali, Perbandingan Madzhab, Rajawali Pers, Jakarta; 1996

Tidak ada komentar: