Pendahuluan
Industrialisasi merupakan bentuk kecil dari modernitas akibat dari dinamika dunia. Bagaiamana tidak, Indonesia yang dulu kokoh dan kuat dalam hal pangan berdasar atas sistem agraria dan laut yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok kerja warganya bergeser, beralih pada pekerja buruh pabrik dan TKI. Sampai saat ini pun buruh dan TKI belum jelas nasibnya dan pemerintah terkesan tutup mata. Hal itu didasari atas maraknya protes dan tuntutan demonstran 1 Mei 2008 (May Day) kemarin. Mereka hanya ingin hasil kerjanya pada kaum-kaum borjuis dianggap, dihargai sepantasnya demi sejahteranya seluruh buruh di negeri ini.
Dampak industrialisasi menyebabkan tuntutan kehidupan yang lebih tinggi dalam proses mempertahankan hidup. Jelas nantinya menggeser sedikit, banyak daya nalar dan berpikir masyarakat. Masyarakat yang dulu nyaman dengan bertani sebagai pekerjaan pokok kadang harus rela melihat generasinya (anaknya) ogah mengikuti jejak langkahnya. Iming-iming kota besar dengan bebagai macam fasilitas industri, gaji yang agak lumayan besar. Akibatnya, fakumnya pertanian yang menjadi sumber pokok Indonesia (agraria) harus merelakan pemudanya bersimpuh lutut pada kaum-kaum borjuis yang terus dengan angkuhnya memeras tenaga. Imbasnya Indonesia menjadi pemasok TKI paling besar, Malaysia, Arab Saudi, Brunei dan lain-lain, lihat (suarapembaruan.com dan www.tempointeraktif.com).
Namun hal ini berbanding terbalik. Padahal pemerintah Indonesia pernah bertekad untuk mencapai swasembada beras dalam tempo lima tahun ketika Repelita I dimulai pada tahun 1969. Negara tidak berhasil mencapai tujuan ini, namun swasembada beras menjadi tujuan implisit dan eksplisit dalam semua kebijakan pertanian Indonesia sampai tujuan tersebut dicapai 15 tahun kemudian pada tahun 1984, 1994 dan tahun kemarin 2008. Misi ini sesungguhnya merupakan misi yang sangat berat bagi Indonesia, yang relatif mudah direncanakan namun jauh lebih rumit dan sukar dalam pencapaiannya.
Untuk mengerti pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya. Ketika harga beras melonjak sampai pada titik dimana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.
PEMBAHASAN
Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud. Gambaran tersebut seharusnya tidak lantas mengisolir perekonomian nasional sebagaimana kerap dicurigai sebagian kalangan. Kerja sama dengan negeri-negeri lain di seluruh dunia, tentu sangat penting sehingga perlu dipererat. Namun kerja sama tersebut bukan dalam bentuk hubungan yang eksploitatif tapi, hubungan yang setara dan saling memajukan. Bahkan, apabila kedaulatan dan kemajuan berhasil dicapai, akan semakin membuka potensi kita memajukan negeri-negeri terbelakang lain yang saat ini masih senasib.
Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern, dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif, negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme. Tanpa ketahanan ekonomi, kedaulatan negeri ini - terutama kedaulatan rakyatnya - berhenti sebatas cita-cita.
Menjelaskan program industrialisasi nasional secara konkret, baik rangkaian transaksi maupun variabel-variabelnya, bukan perkara sederhana. Sebabnya, transaksi dan variabel industrialisasi merupakan peta jalan, menuju cita-cita industrialisasi nasional yang berhubungan dengan rincian dalam aspek mikro maupun makro ekonomi sebagaimana pertanian yang menjadi khas pencaharian penduduk Indonesia. Tapi, di sini saya coba mengurai dalam batasan secara umum, dengan berangkat dari apa yang ada, serta menghadirkan apa yang seharusnya sudah ada tapi belum ada, dalam syarat sebagai negeri modern dan berkeadilan sosial.
Variabel kerja pokok yang saling berhubungan dalam batasan tersebut: pertama, bagaimana program industrialisasi nasional dapat melindungi lahan pertanian dan faktor lingkungan, sehingga tidak semakin hancur karena pencemaran limbah-limbah pabrik yang merusak. Kedua, bagaimana program industrialisasi nasional dapat mengambil-alih atau melakukan proses transfer kepemilikan atas sumber daya produksi vital, energi, teknologi dan ilmu pengetahuan, yang masih dikontrol oleh korporasi asing ke dalam kontrol negara (meski tidak harus berbentuk BUMN, melainkan lewat pengetatan kebijakan ekonomi); ketiga, bagaimana program industrialisasi nasional dapat menciptakan dan mengembangkan sumber daya produksi baru tentunya tnpa meninggalkan pertaniain (agraria) sebagai tonggak pencaharian penduduk pada umumnya. Pada tahap awal (sumber daya produksi baru tersebut), diciptakan dan dikembangkan menurut kebutuhan memajukan sektor-sektor produksi vital yang masih tertinggal dari segi teknologi dan sistem produksi seperti, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Mungkin bagi sebagian pembaca, persoalan imperialisme atau neoliberalisme sebagai bentuk mutakhir imperialisme, sudah sering ditelaah. Namun, pengantar pada dua sub judul berikut sengaja ditampilkan untuk mengerucutkan masalah.
Menilik pada sejarah kehadirannya, seluruh industri termaju di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Bila dibandingkan, sistem yang berjalan sekarang hanya kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial, yang sempat terinterupsi sejenak di masa revolusi kemerdekaan dan separuh masa pemerintahan nasionalis Soekarno. Latar belakang sebagai negeri yang perekonomiannya bergantung pada asing ini, membawa kerawanan yang sudah diramalkan sedari awal. Padahal rata-rata adalah agraria mata pencahariannya.
Akhir 1960-an sampai dekade 1970-an, industri tambang menjadi primadona dengan sebagian besar hasil eksploitasi dibawa ke luar negeri, baik barang dagangan maupun akumulasi keuntungannya. Pada dekade 1980-an industri manufaktur mulai berkembang, sebagai akibat kebijakan deregulasi pada sektor finansial. Deregulasi sendiri merupakan hasil desakan ekspansi finance capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa negeri berkembang—karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi pada sektor produktif di negeri-negeri asal (kapitalis maju). Peran finance capital ini, selain melahirkan pembangunan jalan raya, pelabuhan, bendungan, infrastruktur lainnya, dan industri manufaktur, juga melahirkan praktek rente besar-besaran. Selain oleh utang luar negeri, praktek rente juga kian disuburkan oleh kredit-kredit yang begitu mudahnya dikeluarkan oleh bank-bank dalam negeri. Utang-utang tersebut, kini menjadi jerat atau dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan ekonomi sesuai kehendak korporasi internasional. Selain itu masih harus dibayar oleh negara dengan pemotongan terhadap hak-hak rakyat akan jaminan kesejahteraan.
Modal yang masuk dalam bentuk utang dan spekulasi tadi, baik pada sektor pertambangan, manufaktur maupun yang sekedar berputar di pasar modal, tidak memberi landasan bagi industri yang mandiri, dan tanpa arah strategis yang jelas. Sampai saat ini, Indonesia masih harus membeli bahan baku setengah jadi hasil olah teknologi dari luar. Contohnya, hasil pertambangan bauksit masih harus dikirim ke Jepang untuk dapat diolah menjadi alumunium, dan banyak contoh lainnya. Mesin-mesin juga masih didatangkan dari luar, karena investasi yang masuk tidak berkepentingan memroduksi mother machine (induk mesin/mesin pencetak mesin). Satu-satunya perusahaan di Indonesia yang pernah memiliki induk mesin adalah PT. Texmaco Engeneering, namun tidak berlangsung lama karena bangkrut (dibangkrutkan?). Ketergantungan lainnya adalah terhadap pasar (dengan semboyan: orientasi ekspor), sementara seringkali kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.
Dalam penetrasi modal demikian, sektor pertanian menjadi sasaran praktek eksploitasi kota terhadap desa. Saat industri manufaktur tumbuh pesat pada dekade 80-an dan 90-an awal, tenaga produktif pertanian sama sekali tidak berkembang. Industri hanya menyentuh sektor pertanian sebagai pasar, sehingga proyek-proyek di pedesaan pun dilakukan semata untuk memuluskan tujuan tersebut. Bila dilihat sekilas, pembangunan infrastruktur jalan raya, bendungan, pengenalan terhadap bibit dan pupuk jenis baru, tampak menguntungkan masyarakat desa. Namun, karena tujuannya bukan untuk memajukan pertanian maka, dampak yang dihasilkan pun merugikan dalam jangka panjang. Misalnya, dampak penggunaan pupuk pada kesuburan tanah, dsb. Ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi sehingga, tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Bidang pendidikan menerima ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan yang sama sekali tidak mengembangkan cara berpikir kritis.
Kelemahan dalam perkembangan tenaga produktif (teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga dari (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.
Semua kebijakan ini bekerja sama dan berperan penting dalam kemajuan pembangunan sektor pertanian Indonesia. Kemajuan ke arah swasembada beras tidaklah gampang. Impor beras yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini telah banyak memberatkan para petani. Keterpurukan sektor pertanian di lndonesia bisa dikatakan dimulai ketika pemerintah Orde Baru mempraktikkan program pertanian yang berorientasi kepada “Ideologi Revolusi Hijau” tahun 1970-an hingga 1980-an. Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah. Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. lronisnya harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah.
Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni:
Menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
Memperpuruk tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme. Kebijakan lmpor beras adalah pemenuhan kesepakatan AOA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AOA terdiri dari:
1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri., baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya.
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.
3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.
Dampak pemenuhan kesepakatan AOA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di lndonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan AOA WTO, lndonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun.
Sementara itu, beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985 dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi ekologis. Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975, ”Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan. Namun demikian, fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam, bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan” (Timmer 1975, hal.198, dalam Prawiro 1998, hal. 175).
Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan ’shared poverty’ (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin. Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa mengubah struktur sosial secara besar-besaran, ”Setiap usaha untuk mengubah arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk diatas lahan pertanian di Jawa yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis” ( Geertz 1963, hal. 146, dalam Prawiro 1998, hal. 176).
Hasil survei LSM KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) tahun 2003 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektar kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektar untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp. 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain. Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektar yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp. 3,5 juta hingga Rp. 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp. 1 juta sampai Rp. 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp.700ribu/bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini. Padahal, Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
2. Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian.
3. Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan.
Kebijakan pemerintah saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.
Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, diantaranya :
1. Dari segi sarana dan prasarana, tidak ada dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian pada industrialisasi yang kadang pula kurang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para politikus membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum. (http://www.kompas.com)
Analisis
Bergesernya pemikiran masyarakat tentang bagaimana cara mempertahankan hidup untuk memenuhi kebutuhan pangan menjadi titik pokok bahasan kali ini. Hal ini disebabkan modernisasi dan industrialisasi yang terus menggerogoti indonesia. Meski memang modernisasi Barat didahului oleh komersialisasi dan industrialisasi, sedangkan di negara non-Barat, modernisasi didahului oleh komersialisasi dan birokrasi. Jadi, modernisasi dapat dilihat terlepas dari industrialisasi-di Barat modernisasi disebabkan oleh industrialisasi, sedangkan dikawasan lain modernisasi menyebabkan industrialisasi. Yang jelas, baik modernisasi maupun industrialisasi menyangkut unsur penting pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan ekonomi tak dapat terjadi terlepas dari industrialisasi, dan industrialisasi ini senantiasa menjadi bagian integral dari modernisasi.
Dalam analisis ini, para petani yang dulunya banyak dan mampu menghasilkan hasil panen yang baik harus rela sebagian tanah yang ia miliki dijual kepada kaum-kaum borjuis. Bahkan tidak menuntut kemungkinan birokrasi dalam menentukan kebijkakan seolah-olah dengan bebasnya konversi lahan pertanian dengan bebas. Padahal, sejak awal adanya kaum borjuis ingin memonopoli dan menindas serta mengeksploitasi besar-besaran negeri ini. Tak dielakkan lagi, kemudian muncullah kapitalisme yang jelas hanya ingin mengeksploitasi dan merusak Indonesia sebagai lahan subur dunia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Belum lagi penciptaan mitos pasar-global yang selalu menghantui rakyat dan sistem perekonomian Indonesia. Kenyataan ini dilihat dalam kurun waktu yang cukup begitu singkat pada tahun ’90-an tanah persawahan yang dulu luasnya berhektar-hektar menyempit akibat dibangunnya pabrik-pabrik industri yang dalam taken kontraknya jelas-jelas kurang begitu menguntungkan pemerintah dan penduduk setempat terutama. Meskipun sekrang sedangn marak-maraknya perbincangan tentang nasionalaisasi aset-aset bangsa dan perjelas pembagian labanya.
Masalahnya adalah di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masyarakat, termasuk dunia bisnis, justru sering menghendaki campur tangan pemerintah, walaupun dalam retorika, mereka menghendaki deregulasi. Antara deregulasi dan intervensi sering sangat kabur batas-batasnya. Sebagai contoh PP No.20/1994 yang dinilai bertentangan dengan UU PMA No.1/1967. Di satu pihak peraturan itu memang lebih memperlancar masuknya modal asing dan penanaman modal umumnya. Di lain pihak hal itu mengandung campur tangan pemerintah atau yang menguntungkan grup-grup bisnis besar tertentu.
Sebelum itu, pada tahun '60-an pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemerosotan sehingga menimbulkan krisis politik pada tahun 1965-1966. Higgins, ekonom yang pernah bekerja di Indonesia, juga menyebut perekonomian Indonesia hingga pertengahan ’60-an sebagai the chronic droup-out, belajar dari pengalaman itu pemerintah Orde Baru mengundang kembali modal asing untuk melaksanakan industrialisasi lewat UU No.1/1967. segera setelah membuka pintu kepada modal asing, pemerintah Orde Baru juga memberi kesempatan kepada modal dalam negeri untuk melaksanakan tugas yang sama melalui UU No.1/1968. Sebagaimana di duga dan telah di sadari, misalnya oleh Menteri EKUIN pada waktu itu, Sri Sultan H.B IX, pemodal dalam negeri yang telah siap adalah pengusaha non-pribumi. Sekali lagi, industrialisasi semasa Orde Baru mengahadapi ganjalan baru dalam sistem pemilikan. Pada dasawarsa ’80-an menjadi jelas bahwa golongan etnis inilah yang mendominasi perekonomian. Monopoli dan oligopoli dipersoalkan. Ini di ikuti dengan identifikasi gejala konglomerasi. Sebagian besar aset industri dan perusahaan-perusahaan besar pada awal ’90-an ternyata berada di tangan golongan etnis tersebut.
Pemilikan pribadi modern ini sesuai dengan negara modern, yang pelan-pelan dibeli oleh orang-orang yang mempunyai milik dengan cara perpajakan--telah jatuh semuanya ke dalam tangan orang-orang ini lewat hutang nasional, dan kehadiran negara itu telah menjadi tergantung sepenuhnya kepada kredit komersial, yang diberikan kepada negara oleh para pemiliki-pemilik, yaitu kaum borjuis, sebagaimana tercerminkan oleh naik turunnya dana negara di bursa saham.
Seperti halnya di Jepang pada awal tahun-tahun modernisasinya hasil pajak tanah merupakan bagian terbesar dari seluruh hasih pajak, yang bagi pemerintah Jepang merupakan biaya untuk usaha modernisasinya. Pada tahun 1868 bagian itu adalah 68, 7 % dan pada tahun 1877 83,2%. Sementara itu ini berarti, mahwa petani di Jepang harus memikul korban yang berat untuk modernisasi yang dipaksakan itu. Ini terbukti dari kenyataan, bahwa selama periode 1868-1912 telah terjadi 210 kali pemberontakan petani. Dilihat dalam lingkup masyarakat pedesaan sendiri mungkin modernisasi itu dipandang sebagai suatu yang tidak menyenangkan, yang maunya sedapat mungkin hendak dihindari, atau sebagai sesuatu yang terpaksa harus diterima, suatu yang merugikan kehidupan dan tata cara sendiri. Belum lagi para pemimpin negara yang feodalis terus menggerogoti tanah rakyat dengan segenap kekuasannya.
Dilain pihak pandangan tentang kota-kota besar mengakibatkan daya pikir pemuda yang sekarang terkesan hura-hura (hedonis) belaka menjadi indikasi cukup signifikan dalam dunia pertanian. Mereka (pemuda) menganggap bahwa bekerja di kota lebih-lebih Jakarta sebagai kota metroplitan, di pabrik industri merupakan sebuah kebanggaan yang mahal harganya. Akibatnya sangat jelas mereka melakukan perpindahan dari desa ke kota (urbanisasi) hanya untuk mencari pekerjaan dikota dan berharap dengan mudah mendapatkannya. Dalam pandangan ini, mungkin industrilisasi sebagai kepentingan para pemimpin/kaum-kaum borjuis untuk mengkosongkan lahan pertanian, membeli dengan uang yang ia miliki dan mengeruk habis/eksplotasi sumber daya alam di Indonesia, sebagai gantinya iming-iming gaji dan kahidupan kota yang hedonis belaka.
Semua itu dimungkinkan oleh adanya uang. ”Barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak-cendikia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya--sejauh satu sen.” Carlyle dan Marx sepakat bahwa misteri uang, yakni transendensinya, sebagaimana terungkap melalui pakaian yang menandai perbedaan kelas dan perbedaan kekuasaan, menyangga tatanan sosial. Keduanya sama-sama berpendapat bahwa berbelanja untuk menjaga penampilan adalah sesuatu yang perlu, meskipun Karl Marx, tidak seperti Carlyle, mengangap keperluan semacam itu teramat sangat irasional. (Dalziel Duncan, Hugh, 1997)
Ada beberapa faktor yang seolah-olah mengusir penduduk dari pedesaan, dan engganya untuk menjadi petani sehingga pertanian fakum tanpa orang. Ada faktor-faktor yang menyebabkan hal semacam itu, diantara:
a. Daya tarik ekonomi dari kota (industri), orang berharap akan mendapat pekerjaan di sana dan dengan demikian mendapat uang. Bagi banyak orang ini suatu keharusan, karena di desa-desa tidak ada mata pencaharian lagi atau tidak ada kesempatan untuk mencari uang. Orang-orang mencari perbaikan nasib di kota atau mencari kesempatan kerja yang dipandang lebih sesuai dengan pendidikannya di sekolah. Bertani menjadi hal yang dianggap level rendah, tidak sesuai dengan pendidikannya.
b. Pekerjaan yang lebih sesuai dengan pendidikan, ialah usaha untuk mengangkat posisi sosialnya dengan cara pergi ke kota dan bekerja di pabrik sana. Pendidikan modern menciptakan pola nilai dan pola harapan baru. Anggapan kehidupan kotalah yang sesuai dengan pendidikannya itu. Akibatnya pertanian fakum tanpa perhatian.
c. Kota-kota itu merupakan daya tarik, karena fasilitas pendidikan di situ di nilai lebih baik dari pada di pedesaan. Dilain pihak orang tua yang ingin agar anaknya dapat memanfaatkan kesempatan baru untuk naik status sosialnya, ketika pindah ke kota. Daya tarik itu juga dapat timbul karena adanya fasilitas-fasilitas sosial lainnya, kemudian daya nalar anak akan terbiasa dengan kehidupan serta fasilitas di kota dan enggan kembali ke desa untuk meneruskan dan memberdayakan bidang agraria.
d. Kota merupakan daya tarik sebagai pusat kesenangan dan hiburan dan sebagai tempat dimana orang dapat mencari pengalaman baru dalam bayangan suasana hangat dan meriah. Jelas daya tarik yang satu ini, kelap-kelip lampu kota hedonisitas kehidupan malam kota, hura-hura pemuda membuat miring pikiran pemuda, akhirnya kehidupan di desa dan menjadi petani merupakan hal yang dianggap menurunkan martabatnya sebagai pemuda.
e. Life style dan gengsi yang menjadi tren pemuda membuat fakumnya penerus pertanian bagi proses agraria negeri ini. Merupakan imbas dari adanya industrialisasi yang disebabkan oleh modernisasi yang merebak di desa-desa.
f. Iming-iming atau tawaran gaji yang dianggap cukup menggiurkan dari pihak industri (pabrik) untuk menjadi buruh yang sampai saat ini tidak jelas diperhatikan nasibnya. Belum lagi pembagian kerja dan jabatan dalam produksi pabrik-pabrik industri yang nantinya akan menyebabkan stratifikasi antara orang yang atas dan bawah berdasar atas kepetingan-kepentingan semata. Menurut Marx, kelas-kelas akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beraneka ragam, yang memungkinkan terjadinya surplus produksi.
Kemungkinan industrialisasi terus berjalan, berdasar logika industrialisme maka masyarakat industri akan mengikuti pola-pola tertentu sejalan dengan kebutuhan sistem industrial. Beberapa ciri yang lebih umum dari masyarakat industri adalah: 1) terjadinya kemerosotan pengaruh dan kewibawaan lembaga-lembaga keagamaan serta pemisahan urusan politik, ekonomi dan keduaniawian umumnya dengan masalah agama yang bersifat pribadi, 2) tumbuhnya masyarakat kota dengan perilaku yang mengikuti budaya kota, 3) masyarakat mudah bergerak dan berubah menurut tempat dan jenis pekerjaan, 4) proses politik menjadi semakin demokratis, 5) pecahnya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan dan ikatan-ikatan primodial lainnya yang digantikan dengan ikatan-ikatan baru, dan 6) pudarnya hubungan-hubungan tatap muka, kebersamaan, alami, akrab atau paguyuban (gemeinshaft) digantikan dengan hubungan patembayan (gesellshaft) yang didasarkan kepada kepentingan dan konflik.
Telah jelas kiranya, bahwa beberapa faktor di atas merupakan indikator yang menunjukkan adanya beberapa efek atau dampak yang kurang baik bagi pertanian dalam hal ini petani sebagai subyek. Pertanian harus sangat diperhatikan oleh negara dengan sistem agraria menggunakan konsep yang jelas dan yang paling penting adalah demi terciptanya kesejahteraan rakyat indonesia. Sebagaimana laut pun merupakan lahan yang sangat bagus untuk tetap terus menjadi perhatian pemerintah dalam memakmurkan rakyatnya ini. Indonesia sebagai negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar semestinya mampu mensejahteraan rakyatnya dan harus tetap melindungi tumpah darahnya, demi tercapai harapan-harapan bangsa dan negara sesuai pembangunan nasional yang direncanaka. Semoga tetap semangat Indonesiaku.
PENUTUP
Dengan alasan kompleks di atas nasib pertanian dan kesejahteraan petani pun menurun drastis baik dari produk penghasilan, pemuda-pemudanya maupun orang tua mereka. Tidak mempunyai penerus yang menghidupkan sawah atau ladanganya. Lama kelamaan tanah yang ia punya akan dijual dan kaum borjuis yang akan mengambil alih. Berbagai cara memperdaya, membius masyarakat dan meraup seganap keuntungan dengan skala besar. Kepentingan-kepentingan yang konspiratif dilakukan oleh para birokrasi pemerintahan guna mengeruk keuntungan besar dengan adanya lahan kosong yang ingin dijual oleh petani tersebut. Selanjutnya kemiskinan yang terus mengintai rakyat indonesia.
Maka industrialisasi merupakan hal yang seyogyanya dihindari [industrialisasi boleh ada, namun harus jelas bagaimana mensejahterakan (take and give) negara maupun buruh/pegawainya, sesuai UMK (upah minimum kerja), UMR (upah minimum regional) dan yang terpenting bukan orang-orang asing yang menguasainya, agar aset negara tidak dimonopoli dan di eksploitasi, serta para petani masih tetap eksis tanpa ada intervensi dari pihak industri maupun pabrik setempat. Bagi kalangan pekerja tradisional maupun modern seperti halnya petani, imbasnya jelas seperti di atas mulai dari hasil produksi, lahan pertanian menyempit, kekurangan penerus, sampai harga yang mengalami kongkalikong. Hal di atas bukan untuk pribadi tentunya, melainkan untuk kehidupan bangsa, negara, generasi selanjutnya dan kekuatan pangan di negeri Indonesia yakni agraria dan tentunya mampu bersaing tingkat global.
DAFTAR PUSTAKA
Lauer, Robert H., 2003, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta
Prof. Dr. Schoorl, J.W 1982, Modernisasi; Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta,
www.suarapembaruan.com
Prof Dr Bachtiar, Wardi MS., 2006, Sosiologi Klasik, Rosdakarya, Bandung,
www.suaramerdeka.com
Dalziel Duncan, Hugh, 1997, Sosiologi Uang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
www.tempointeraktif.com
Ba Yunus, Ilyas-Ahmad, Farid 1996, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Mizan, Bandung,
Dr. Nasikun, 2007, Sistem Sosial Indonesia, Rajawali Perss, Jakarta,
M. Dawam Raharjo, 1999, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta,
Geertz, Clifford (1963), Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, Berkeley: University of California Press.
Anthony Giddens, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, Jakarta,
Ritzer, George - Goodman, Douglas J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta.
Departemen Penerangan 1969, vol. 2a, hal. 10
Prawiro, R. (1998), “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi”, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar