Rabu, 10 Juni 2009

SOSIOLOGI AGAMA; SEKULAR-SEKULARISASI-SEKULARISME

1. Pengertian dan Sejarah Sekular, Sekularisasi, Sekularisme
Sekular seringkali kita pahami sebagai ajaran yang menakutkan, sehingga kita harus menghindari ajaran sekular, mengingat ajarannya yang radikal yang dapat menggulingkan keimanan seseorang serta dapat membuat orang meninggalkan ajaran-ajaran agama yang ia imani. Istilah sekular sudah di kenal oleh golongan agamawan atau cendikiawan sejak puluhan tahun yang lalu. Tidak terkecuali Islam, agam Islam juga mempunyai pemahaman sendiri terkait dengan sekular, walau porsi pemahaman serta pengimplementasian dalam kehidupan sehari-hari sangat jauh berdeda dengan orang barat (Kristen). Sebab Islam dan Kristen mempunyai perbedaan yang sangat mendasar baik sebagai agama maupun sebagai suatu peradaban.

Setidaknya ada berbagai alasan mengapa paham Sekular muncul dikalangan orang barat pada saat itu, namun yang paling mendasar adalah problem trauma sejarah. Dalam perjalanan sejarahnya orang barat mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut zaman kegelapan. Pada saat itu gereja mendominasi semua hal yang berkaitan dengan masyarakat baik dari sector ekonomi, budaya, politik dll. Mereka juga mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan dimuka bumi ini. Bersamaan dengan itulah gereja memanfaatkan kekuatannya melakukan tindakan brutal yang tidak manusiawi. Berangakat dari itulah para cendikiawan, masyarakat pada umumnya ingin melepaskan diri dari belenggu gereja pada saat itu. Maka timbullah paham sekular yang secara tidak langsung menentang ajaran agama Kristen yang di intervensi gereja saat itu.
Dalam pemahami sekular, sekularisasi, maupun sekularisme, paling tidak kita akan mempunyai dua pijakan yakni, Islam atau barat (Kristen). Sebagaimana yang sudah tertulis di atas bahwa Islam dan Kristen berbeda, oleh sebab itu kita perlu memisahkan antarkeduanya dalam memahami ajaran sekular, sekularissasi, ataupun sekularisme, supaya tidak terjadi kerancuan atau benturan dalam memahaminya.
Namun sebelum kita beranjak jauh membahas sekular, sekularisasi, atau sekularisme, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengetahui apa sekular itu baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah sekular diartikan sebagai bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian, sehingga sekularisasi berarti membawa ke arah kecintaan kepada kehidupan dunia. Norma-norma tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sementara dalam ensiklopedi Indonesia, kata sekularisasi diartikan (latin: saeculum; waktu, abad, generasi, dunia) suatu proses yang berlaku sedemikian rupa, sehingga orang atau masyarakat yang bersangkutan semakin berhaluan dunia, dalam arti terlepas dari nilai-nilai atau norma-norma yang dianggap kekal dan sebagainya (1984: 3061).

Sekular diadopsi dari kata latin “seaculum”, yang mempunyai arti dua konotasi waktu dan lokasi: yakni waktu menunjukkan masa sekarang, sedang loksi menunnjuk kepada pengertian dunia. Artinya sekurlar adalah semua hal yang berakitan dengan dunia sekarang, peristiwa apa yang tetjadi dan berkembang di dunia ini.
Sedang konotasi ruang dan waktu yang dibawa dalam konsep sekular ini secara historis dibawa dari pengalaman dan kesadaran yang terlahirkan dari peleburan tradisi Gracco-Roman dan tradisi Yahudi dalam Kristen Barat, peleburan dari unsur yang saling berselisih dari dari pandangan dunia Hellenik dan Yahudi yang digabung dalam kekrisstenan dengan sengaja, inilah yang kemudian di kenal para theologi dan cendikiawan Kristen sebagai problematik. Mereka menganggap apa yang terjadi pada saat itu adalah pembohongan sejarah.

Sekularisasi didefinisikan pembebasan manusia, pembebasan dari agama, metafisika. Menurut paham sekularisasi, manusia harus terlepas dari pengerian relegius-semu. Penganut ini menginginkan manusia agar tidak terlena dengan dogma agama yang membuat manusia menjadi utopis dalam memandang hidup yang serba nyata ini dengan doktrin yang membuat mereka para penganutnya terlena oleh ajaran agama. Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek kehidupan sosial dan politik, namun juga menjalar keranah kultural. Itu artinya paham sekularisasi ingin membebaskan manusia yang terbelenggu oleh jerat agama, mitos-mitos yang selama ini mengikatnya, paham ini menginginkan mausia berada di atas pikirannya sendiri. Jadi, paham sekularisme intinya adalah pemisahan agama dari kehidupan. Dari doktrin ini melahirkan ide liberalisme yakni kebebasan: kebebasan beragama “freedom of believe” kebebasan berpendapat freedom of opinion” kebebasan kepemilikan “freedom of ownership” dan kebebasan berperilaku atau berekspresi “personal freedom”, pluralisme, relativitas kebenaran, dan sebagainya.

Sekularisasi juga didefinisikan sebagai pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapanya dalam membina kehidupan duniawi. Dan terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya. Paham ini adalah paham keduniawian, paham ini mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir. Tiada lagi kehidupan sesudahnya kita semua, yang hidup ini adalah makhluk sekuler, artinya kita sekarang masih berada di dalam alam sekuler duniawi karena belum pindah ke alam akhirat.

2. Pandangan dan Pikiran Tokoh
Sekular, Sekularisasi, maupun sekularisme dewasa ini bukan hanya dikenal orang barat, melainkan sekarang sudah masuk di kalangan kaum muslimin, namun seperti yang telah dibahas di atas bahwasanya sekular dan teman-temannya itu bukanlah merupakan produk dari Islam. Orang muslim atau para tokoh ulama’nya mempunyai berbagai pendapat terkait dengan Sekular. Pendapat yang ekstrim mengatakan paham sekular secara mutlak tidak diterima di dalam Islam, sebab paham Sekular ini dapat menimbulkan keraguan atau skeptis terhadap ajaran agama Islam. Pendapat yang lain mengatakan cara berfikir sekular sah-sah saja dipelajari, karena itu merupakan pendalaman daripada ajaran agama tersebut.

Muhammad al-Naquib al-Attas. Ia mengkaji masalah sekularisasi secara holistik, dalam arti ingin menjembatani pemikir Barat dan Muslim. Menurutnya, Islam tidak sama dengan Kristen. Karenanya, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Muslim.
Mengawali pendapatnya tentang sekularisasi, al-Attas membedakan antara pengertian sekular yang mempunyai konotasi ruang dan waktu, yaitu menunjuk pada pengertian masa kini atau dunia kini. Selanjutnya, sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dalam agama dan metafisika atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika atau terlepasnya dunia dari pengertian religius (dalam istilah weber), pembebasan alam dari noda-noda keagamaan, sekularisme yang menunjukkan pada suatu ideologi.

Selanjutnya, menurut al-Attas, Islam menolak penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekular, sekularisasi maupun sekularisme, karena semua itu bukan milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Dengan kata lain, Islam menolak secara total manifestasi dan arti sekularisasi baik eksplisit maupun implisit, sebab sekularisasi bagaikan racun yang bersifat mematikan terhadap keyakinan yang benar (iman).
Dimensi terpenting dari sekularisasi, menurut al-Attas, sebagaimana pendapat Harvey Cox, adalah desakrisasi atau penidak keramatan alam. Dimensi inilah yang tidak diterima oleh kalangan Kristen Barat. Sedangkan Islam menerima pengertian tersebut dalam arti mencampakkan segala macam tahayul, kepercayaan animistis, magis serta tuhan-tuhan palsu dari alam. Pengertian Islam tentang keramatan alam ini adalah pengertian wajar tanpa mendatangkan sekularisasi bersamanya.

Namun disini perlu dibedakan antara Sekularisasi dengan Sekularisme. Menurut pendapat Cox “Sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews). Jadi, intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Selain itu, lanjut Cox, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf tertentu, ia adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bible terhadap sejarah Barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme, yaitu idiologi (isme) yang tertutup”.

Sementara itu, pandangan para cendekiawan muslim Indonesia pun berbeda-beda dalam mendefinisikan sekularisme dan sekularisasi. Nurcholish Madjid, misalnya, melihat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme (ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating development). Proses pembebasan ini diperlukan umat Islam karena akibat perjalanan agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, yakni mana yang transendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi umat Islam.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, sekularisasi memperoleh maknanya dalam desakralisasi segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah (transendental), sehingga sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Dalam artian ini, konsep sekularisasi Nurcholish Madjid digunakan untuk membedakan bukan untuk memisahkan persoalan duniawi dan ukhrowi. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid mencoba memberikan penafsiran baru mengenai peristilahan tersebut, yakni sarana untuk membumikan ajaran Islam (Islamisasi atau pentauhidan).

Nampaknya, pengertian tersebut digunakan pada istilah sosiologi sebagaimana pendapat Talcott Parsons, Harvey Cox dan Robert N. Bellah yang lebih merujuk pada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu tahayul dalam beberapa aspek kehidupan. Jadi, sekularisasi tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan, akan tetapi seperti pendapat Bellah adalah devaluasi radikal. Oleh karena itu, Nurcholish Madjid juga mengajukan konsep-konsep seperti sekularisasi, desakralisasi dan rasionalisasi.

Sejalan dengan itu juga, Nurkholis Majid menambahkan “ Pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam”.

Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran
Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis.

Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasio. Dengan rasio inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep "Hari Dunia" dan "Hari Agama". Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al- Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/ spiritual keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat.
Sebelum Nurcholish menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar sekularisasi ada di dalam ajaran- ajaran Bible.

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaraan suatu nilai dihadapkan kenyataan material, moral atapun hitoris, menjadi sifat kaum muslimin.
Sekularisme dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifa Allah di dunia. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu dihadapan Tuhan.

Perbedaan sekularisme dan sekularisasi sebagai paham dan proses. Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin bahwa telah terjadi dan akan terus terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari kemudian dan prinsip ketuhanaan.
Namun karena gempuran kritik yang begitu gencar terhadap istilah sekularisasi itupun ditinjau kembali oleh Nurcholis madjid. Dalam tulisannya, “sekularisasi ditinjau kembali” Nurcholis mengatakan terhadap perbedaan istilah “sekular” sekularisasi dan sekularisme itu, maka adalah bijaksana untuk tidak mengunakan istilah-istilah tersebut dan mengantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.

Sebenarnya, subtansi pemikiran Nurcholis Madjid adalah ia ingin menempatkan hal-hal yang sifatnya dunia yang profan pada tempatnya dan yang sifatnya keakhiratan atau kaitannya dengan masalah teologis juga pada tempatnya. Namun tampaknya ia kesulitan dalam menemukan istilah yang tepat sehingga menimbulkan reaksi yang bertubi-tubi.
Dengan beberapa pandangan di atas sudah sangat jelas, bahwasanya orang yang mendalami suatu agama kita harus berproses agar kemantapan dalam menjalankan ajaran-ajran agama yang dianut ditak mentah, sekular merupakan jalan alternatif ntuk menuju apayang kita harapakan, dalam hal ini keteguhan iman.

Cara berfikir Sekular menurut saya bukan seperti halnya yang orang secara umum mendefinisikannya, artinya berfikir Sekular menurut saya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Contoh, dalam agama Islam mengenal yang namanya kiai sebagai pewaris nabi Muhammad s.a.w itu benar. Namun akan menjadi salah ketika kiayi tersebut tidak bisa disentuh, artinya kebanyakan masyarakat terutama sekali masyarakat tradisional mengagung-ngagungkan kiayianya sehingga ia menjaga jarak, tidak bisa duduk bersama untuk diskusi mempelajari agama. Jadi paham sekular menurut saya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan tidak ubahnya sebagai sebuah keadilan.




DAFTAR PUSTAKA

• Madjid, Nurcholish. 1989. Islam kemoderenan dan keindonesiaan. Bandung: Mizan.
• Madjid, Nurchlish.2000. Islam doktrin dan peradaban. Jakarta: Paramadina.
• http://swaramuslim.net
• Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafindo.
• http://www.insistnet.com
• Syed Muhammad Naquid Al-Attas, 1981, Islam dn Sekularisme, Pustaka, Bandung.
• http://www.geocities.com

Tidak ada komentar: