Rabu, 10 Juni 2009

PROPOSAL METODE PENELITIAN KUANTITATIF; KOMUNITAS DISKUSI SEBAGAI GHIRAH PERUBAHAN MAHASISWA

A. Latar Belakang
Universitas Islam Negeri (UIN), yang dulu dikenal dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga adalah satu dari sekian perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki tradisi diskusi yang kuat. Realitas itu tidak bisa dilepaskan dari menjamurnya komunitas-komunitas diskusi di pojok-pojok kampus.”demikian marakknya kajian-kajian diskusi, dulu kita kesulitan mencari area yang bebas dari kerumunan-kerumunan mahasiswa” ujar Muhammad Shodiq sambil mengenang masa lalunya
Namun seiring dengan perputaran waktu komunitas-komunitas diskusi itu kian meredup bahkan menuju titik kepunahan. Hal ini bisa kita buktikan oleh minimnya kajian-kajian diskusi di pojok-pojok kampus saat ini. Saat ini kita jarang menemukan mahasiswa duduk membentuk lingkaran membahas, berdealektika, adu argumentasi serta mendiskusikan diskursus-diskursus suatu disiplin keilmuan atau memperpincangkan seputar realitas kebangsaan. Kalaupun ada, saat ini keberadaan komunitas diskusi bisa dihitung dengan jari. Padahal dulu kampus UIN Sunan Kalijaga sesak dengan kelompok-kelompok diskusi.

Ini merupakan fenomena menarik dan sekaligus permasalahan krusial yang mesti diperhatikan oleh elemen-elemen kampus, entah itu mahasiswa, karyawan, dosen, terlebih birokrat kampus mulai; tidak lain adalah jajaran Rektorat serta staf-stafnya karena beliaulah orang yang paling bertanggung jawab atas maju tidaknya out put UIN Sunan Kalijaga. Fenomena ini tidak bisa kita biarkan begitu saja, apalagi kita apatis. Permasalahan ini adalah permasalahan serius oleh karenanya kita mesti segara mencari penawar dari “krisis komunitas” ini. Kalau tidak, maka krisis komunitas akan terus berlangsung secara turun temurun yang pada akhirnya akan menjadi bongkahan karang yang sulit kita hancurkan.

Saya yakin semua mahasiswa sama-sama mengidealkan terciptanya iklim kampus yang akademis-ilmiah. Mahasiswa sudah bosan dengan aktifitas-aktifitas dan kebungkaman yang tanpa arti, tanpa makna dan esensi filosofis. Mahasiswa juga telah bosan dengan main stream berfikir bahwa ilmu pengetahuan hanya kita dapatkan dibangku kulia (kampus) apalagi hanya dari dosen. Lebih dari itu mahasiswa sangat jengkel dengan model pengajaran monoton (sistem ceramah) guru dikelas. Kita mengiginkan ruang-ruang dealektika yang lebih fleksibel, enjoy, alami serta mengasikkan. Menjamurnya kembali komunitas-komunitas diskusi merupakan jawaban dari sekian impian itu.

Kita lihat, bangunan-bangunan yang begitu megah pasaca konversi IAIN ke UIN dan mall-mall seperti halnya Carrefour, Saphir Square, Grand Stock Well dan banyak lagi yang lain merupakan salah satu indikasi atau motif meredupnya komunitas-komunitas diskusi yang ada. Tak heran model-model bangunan, life style yang semakin memanjakan mahasiswa menjadikan mahasiswa lebih asyik menikmati dan berbelanja dengan fasilitas-fasilitas mall yang ada disekelilingnya (baca; UIN). Belum lagi mahasiswa yang bisa dikatan kurang mampu ketika itu IAIN kini harus berganti juga pasca konversi ke UIN. Mahaiswa IAIN dulu yang rata-rata berasal dari menengah kebawah secara garis besar kini semakin berubah dengan beberapa style-style pakaian dan model-model rambut yang identik dengan zaman modern-posmodern yang telah mejangkint disekitarnya. Pada era antara 80-90an mahasiswa yang ber-rambut gondrong masih banyak ditemui di kampus IAIN Sunan Kalijaga yang sekarang UIN. Namun, sekarang sudah hampir tidak ada lagi disepanjang mata memandang.

B. Rumusan Masalah
Berdasar atas uraian latar belakang di atas, maka dapat disusun rumusan penelitian ini sebagai berikut:
1 Motif apa saja yang mempengaruhi meredupnya komunitas diskusi di UIN Sunan Kalijaga?
2 Seputar apakah komunitas-komunitas diskusi itu berdialektika?

C. Tujuan Penelitian
a. Proses belajar kepada dinamika sosial untuk menciptakan mahasiswa yang sadar akan realita kehidupannya untuk selalu progres dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
b. Memberikan pengetahuan dan merangsang nalar intelektual mahasiswa agar berfikir dan berperilaku secara kritis-partisipatif.
c. Meningkatkan wawasan dan pemahaman terhadap dialektika gagasan-gagasan mahasiswa.
d. Mempertajam kritis-intelektualitas dalam memahami Visi dan Misi komunitas diskusi mahasiswa.
e. Memahami peran dan fungsi mahasiswa sebagai kaum intelektual terdidik.

D. Tinjauan Pustaka
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa . Dilain pihak ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.

E. Definisi Operasional
Mahasiswa sebagai insan terdidik yang mempunyai pandangan kritis terhadap segala problematika kehidupan sosial masyarakat merupakan sebuah tanggungjawab besar yang harus ia jalankan. Tak cukup hanya sekedar kritis saja tentunya untuk melakukan sebuah perubahan sosial yang di inginkan seluruh elemen masyarakat demi terciptanya sistem atau tatanan yang tepat sasaran.

Hal ini dapat di lihat, sejarah Indonesia modern telah menunjukkan bahwa generasi muda yang diwakili oleh mahasiswa hampir selalu tampil sebagai penentu perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan bangsa. Setelah Indonesia merdeka, tampaknya gerakan kaum muda itu analog dengan perjuangan intelektual yang terjadi pada awal abad 20, dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Perubahan yang terjadi senantiasa ditentukan oleh kalangan muda kampus; mahasiswa.
Diskusi mahasiswa yang ada di kampus-kampus merupakan bentuk dari implementasi dan refleksi diri mahasiswa di bidang ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari bangku perkuliahan dan langsung diimplementasikan dalam bentuk riil sebuah diskusi dan pembacaan terkait isu-isu ataupun kebijakan yang dilakukan pemimpinnya guna menuntut perbaikan, mengkritisi dan menolak segala bentuk kebijakan sistem yang di bangun atas dasar kepentingan dan keinginan yang tidak jelas serta mengkungkung kreatifitas serta aktifitas mahasiswa dan masyarakat.

F. Kerangka Teori
Teori Interaksinisme Simbolik
Menurut Joel M. Charon, setidaknya ada tiga model pemikiran yang sangat mempengaruhi Mead, yaitu: filsafat pragmatisme, darwinisme, dan behaviorisme. Dari filsafat pragmatisme, setidaknya ada empat ide dasar yang nantinya juga menjadi pondasi dasar perspektif interaksionisme simbolik, yaitu: (1) segala sesuatu yang bersifat riil bagi kita selalu tergantung pada intervensi aktif kita sendiri, maksudnya, manusialah yang menginterpretasikan segala sesuatu; (2) pengetahuan bagi manusia selalu dikaitkan dengan situasi dan dinilai berdasarkan kegunaannya; (3) obyek yang kita alami dalam situasi tertentu selalu didefinisikan menurut kegunaannya bagi kita; dan (4) memahami manusia harus disimpulkan dari apa yang ia lakukan. Dari keempat ide tersebut setidaknya kita bisa menilai seberapa penting filsafat pragmatisme bagi perspektif interaksionisme simbolik yang memang menempatkan interpretasi sebagai poin penting dalam memahami perilaku manusia.

Kalau kita coba untuk merunut ide-ide awal dari para tokoh utama perspektif ini, seperti Mead, Cooley, Thomas, dan Park, yang kemudian disintesiskan oleh Blumer sebagai pencetus istilah interaksionisme simbolik hingga munculnya generasi penerus seperti Manford Kuhn melalui mazhab Iowa-nya serta Erving Goffman lewat dramaturginya, setidaknya ada beberapa istilah kunci yang perlu untuk kita pahami terlebih dahulu sebelum kita bisa menggambarkan lebih jauh bagaimana perspektif ini bekerja. Beberapa istilah kunci tersebut berkenaan dengan definisi tentang makna simbol, diri (self), interaksi sosial, dan masyarakat.

Dari nama perspektif ini saja kita bisa memahami sejauh mana urgensi simbol mempengaruhi seluruh konsep dasar dan cara kerja perspektif ini. Oleh karena itu, definisi tentang simbol perlu untuk kita kaji lebih jauh. Definisi tentang simbol yang dianut oleh perspektif ini tercermin dari ide-ide Mead yang kemudian dielaborasi lebih jauh oleh tokoh-tokoh sesudahnya, termasuk Blumer sendiri. Simbol dalam perspektif ini didefinisikan sebagai objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apapun yang disepakati untuk direpresentasikan. Bisa dikatakan, sebagian besar tindakan manusia merupakan simbol, karena ditujukan untuk merepresentasikan sesuatu melebihi kesan pertama yang kita terima, seperti orang akan tersenyum ketika menyukai lawan bicaranya, atau seseorang menyalakan lampu sinyal mobil untuk menunjukkan bahwa ia akan berbelok. Begitu juga dengan obyek lainnya. Bunga, misalnya, ia bisa menjadi simbol tetapi bisa juga bukan merupakan simbol. Ketika bunga digunakan sebagai obat-obatan atau untuk campuran makanan, maka ia bukanlah simbol. Tetepi apabila bunga digunakan untuk menyatakan rasa cinta pada orang lain maka ia menjadi simbol. Definisi tentang simbol seperti ini membawa kita pada tiga premis dasar dalam perspektif interaksionisme simbolik,sebagaimana yang diungkapkan oleh Blumer, yaitu: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki oleh sesuatu tersebut bagi mereka; (2) makna dari sesuatu tersebut muncul dari interaksi sosial seseorang dengan yang lainnya; dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui sebuah proses interpretasi pada saat seseorang berhubungan dengan sesuatu tersebut. Dari ketiga premis yang dilontarkan oleh Blumer ini, bisa kita simpulkan bahwa kedudukan makna simbol sangatlah urgen, sebab ia menjadi dasar bagi manusia untuk melakukan suatu tindakan. Disamping itu, hal ini juga mengindikasikan begitu pentingnya ketiga istilah kunci lainnya dalam memahami perspektif interaksionisme simbolik.

Istilah kunci kedua yaitu definisi tentang diri (self). Dalam perspektif interaksionisme simbolik, secara sederhana “self”didefinisikan sebagai suatu objek sosial dimana aktor bertindak terhadapnya. Maksudnya, kadangkala aktor atau individu bertindak terhadap lingkungan yang berada di luar dirinya, namun terkadang ia juga melakukan tindakan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Dengan menjadikan “diri” sebagai obyek sosial, seseorang mulai melihat dirinya sendiri sebagai obyek yang terpisah dari obyek sosial lain yang ada di sekelilingnya karena dalam berinteraksi dengan yang lain, ia ditunjuk dan didefinisikan secara berbeda oleh orang lain, semisal: “kamu adalah mahasiswa”, atau “kamu adalah mahasiswa yang pintar.” Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa “diri” akan selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali dalam interaksi sosial sesuai dengan situasi yang dihadapi. Dengan demikian, persoalan tentang penilaian dan identitas diri juga sangat terkait dengan situasi bagaimana seseorang harus mendefinisikan dan mengkategorikan dirinya. Salah satu contoh kongkret perubahan yang radikal tentang bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri terlihat jelas melalui studi Goffman tentang institusi penjara, tempat dimana para tahanan “dipaksa” untuk memanipulasi dunia personalnya melalui serangkaian isolasi, degredasi, maupun penghinaan diri sehingga ia harus mendefinisikan kembali konsep tentang dirinya.

Istilah ketiga yang perlu kita perhatikan disini adalah konsep tentang interaksi sosial. Dalam perspektif interaksionisme simbolik, interaksi sosial didefinisikan berkenaan dengan tiga hal: tindakan sosial bersama, bersifat simbolik, dan melibatkan pengambilan peran. Contoh yang sederhana untuk menggambarkan interaksi sosial adalah permainan catur. Ketika seseorang menggerakkan sebuah biji catur, seringkali ia sudah memiliki rencana untuk menggerakkan biji catur berikutnya. Namun, ketika pihak lawan merespon dengan menggerakkan biji tertentu, maka ia akan berupaya untuk menginterpretasikan langkah lawannya, mencoba untuk memahami makna dan maksud dari langkah pihak lawan dan kemudian berupaya untuk bisa menentukan langkah terbaik yang harus diambil, meski langkah tersebut berbeda dengan rencana sebelumnya. Dari contoh sederhana ini nampak jelas bahwa dalam interaksi sosial kita belajar tentang orang lain dan berharap sesuatu dari orang tersebut melalui pengambilan peran atau memahami situasi melalui perspektif orang lain untuk selanjutanya memahami diri, apa yang kita lakukan, dan harapkan. Oleh karena itu, interpretasi menjadi faktor dominan dalam menentukan tindakan manusia. Tidak seperti kebanyakan teoritisi psikologis yang melihat tindakan manusia berdasarkan pendekatan rangsangan dan respon, akan tetapi, setelah manusia menerima respon maka ia akan melakukan proses interpretasi terlebih dahulu sebelum menentukan tindakan apa yang harus diambil.

Istilah keempat yang cukup mendasar dalam perspektif interaksionisme simbolik adalah konsep tentang masyarakat. Sejalan dengan konsep-konsep dasar sebelumnya, yang lebih menekankan pada pentingnya individu dan interaksi, perspektif ini lebih melihat masyarakat sebagai sebuah proses, dimana individu-individu saling berinteraksi secara terus-menerus. Blumer sendiri menegaskan bahwa masyarakat terbentuk dari aktor-aktor sosial yang saling berinteraksi dan dari tindakan mereka dalam hubungannya dengan yang lain. Jadi jelas, bahwa masyarakat merupakan individu-individu yang saling berinteraksi, saling menyesuaikan tindakan satu dengan lainnya selama berinteraksi, serta secara simbolik saling mengkomunikasikan dan menginterpretasikan tindakan masing-masing. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa masyarakat merupakan produk dari individu yang dipandang sebagai aktor yang bersifat aktif dan selalu berproses.

G. Hipotesis
Akhirnya, bisa disimpulkan disini bahwa interaksionisme simbolik sebagai suatu perspektif melalui empat ide dasar. Pertama, sismbolik interaksionisme lebih memfokuskan diri pada interaksi sosial, dimana aktivitas-aktivitas sosial secara dinamik terjadi antar individu. Dengan memfokuskan diri pada interaksi sebagai sebuah unit studi, perspektif ini telah menciptakan gambaran yang lebih aktif tentang manusia dan menolak gambaran manusia yang pasif sebagai organisme yang terdeterminasi. Kedua, tindakan manusia tidak hanya disebabkan oleh interaksi sosial akan tetapi juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi dalam diri individu. Ketiga, fokus dari perspektif ini adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan pada waktu sekarang, bukan pada masa yang telah lampau. Keempat, manusia dipandang lebih sulit untuk diprediksi dan bersikap lebih aktif, maksudnya, manusia cenderung untuk mengarahkan dirinya sendiri sesuai dengan pilihan yang mereka buat.

H. Sample
Adapun sample dalam penelitian ini adalah Mahasiswa angkatan 2003, 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008 yang berjumlah 27 orang siswa. Dengan rencian :
- Sample Mahasiswa angkatan 2003: 2 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2004: 3 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2005: 4 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2006: 5 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2007: 6 orang
- Sample Mahasiswa angkatan 2008: 7 orang

I. Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sekitar Depan Gedung Multy Purpose dan halaman parkir Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.


J. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah deskriptif korelatif, yakni jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, seberapa eratnya hubungan tersebut, serta berarti atau tidaknya hubungan itu (Arikunto,2002).

K. Daftar Pustaka- Wersely, Peter, Pengantar Sosiologi sebuah Pembanding, Jilid 2, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992
- Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Sosial Psikologi Kelompok Terapan, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
- Nawawi, H. Hadari, Mimi H. Martini, Penelitian Terapan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
- Drs. Mardarlis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan proposal, Bunga Aksara, Jakarta, 2006
- Nasution, Prof. Dr. S. Metode Research Penelian Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta, 2006
- Berger, Peter L. Invitation to Sociology (New York: Anchor Books, 1963), hlm.106.
- Goffman, Erving Asylums: Essays on the Social Situation of Mental Patients and other Inmates (New York: Anchor Books, 1961), hlm.14-60.
- Blumer, Herbert Symbolic Interactionism: Perspective and Method (New Jersey: Prentice Hall, 1969
- Karim, M Rusli, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997
- Sanit, Arbi Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999.
- Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001
- Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001

Tidak ada komentar: