Rabu, 10 Juni 2009

Rekonstruksi Pendidikan Indonesia; Model Standar Kelulusan

Rekonstruksi Pendidikan Indonesia; Model Standar Kelulusan
Solusi atau Problem?



A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal menarik dan tak pernah habis untuk dibahas serta dikomentari. Berbagai macam problem yang muncul akibat kebijakan-kebijakan dan sistem pendidikan yang diterapkan menjadi titik yang urgen dan tentunya menarik untuk dibahas. Pembangunan pendidikan yang bertujuan memajukan taraf hidup anak bangsanya harus didasarkan pada pembangunan serius pendidikan bangsanya yang berorientasi pada jangka panjang. Namun, hal demikian sudah barang tentu memerlukan pembacaan, kritikan terkait pendidikan yang ideal, relevan dan cocok/tepat sasaran bagi kepentingan bangsa dan masyarakatnya. Pembangunan pendidikan negeri ini tak mungkin secara terus-menerus mengimpor model-model pendidikan bangsa lain, atau dalam bahasa lain mencontoh dari negara lain. Memang tidak ada salahnya meniru hal yang baik dan apalagi sudah jelas wujud keberhasilannya. Disisi lain pendidikan negeri ini harus bertumpu, berdasar pada local wisdom dari masing-masing kultur dan karakteristik yang tumbuh di dalam daerah, atau masyarakat itu sendiri. Tak lain hal ini untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan Indonesia agar lebih menghargai kearifan lokal dan lebih inovatif model pendidikannya tanpa ada plagiasi dari negara lain.

Kultur Indonesia jelas sangat berbeda dengan kultur yang dibangun atau berkembang di Eropa dan Amerika. Semestinya hal ini menjadi kontemplasi ulang pemerintah dalam mengkaji dan mengambil kebijakan. Agar kegagalan-kegalan yang telah terjadi dari setiap kebijakan yang diambil tidak terkesan coba-coba. Hal ini bisa dilihat bahwa setiap pergantian Mendiknas kurikulum (’94-KBK-KTSP) yang sudah mengakar dalam masyarakat dengan sangat terpaksa harus dirubah dan disesuaikan dengan peraturan Mendiknas. Belum lagi aturan-aturan UAN dengan standar kelulusan yang disalah satu pihak memberatkan pelajar SLTP dan SMA. Pendidikan bukan ajang untuk coba-coba. Problem pendidikan merupakan problem serius yang menjadi keharusan pemerintah untuk diselesaikan secara bijaksana dalam menerapkan aturan yang dibangun, karena pendidikan merupakan hal krusial yang tentunya dapat mempengaruhi komponen-komponen bangsa ini. Jika pendidikan suatu negeri itu bagus maka baguslah elemen-elemen bangsanya.

B. Pokok Bahasan
Reformasi pendidikan nasional secara mendasar melalui tata aturan perundang - undangan telah dimulai mulai sejak tahun 1999, yaitu sejak lahirnya Undang - Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mencantumkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia. Sementara itu, Undang - Undang Dasar 1945 Amandemen II Tahun 2000 menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia, sedangkan UUD 1945 Amandemen IV tahun 2002 telah mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang - kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Hal demikian benar adanya, namun itu semua (20% anggaran pendidikan) akan dipenuhi pemerintah pada 2009 nanti. Jadi masyarakat harus tetap terus bersabar untuk menikmati hak jaminan anggaran pendidikan negerinya sendiri. Berbagai macam kemajuan pendidikan Indonesia yang dicapai hampir membius kalangan pelajar dan pendidik. BOS (bantuan operasional sekolah) yang dicanangkan pemerintah bisa dibilang lumayan berhasil dalam mengentas dan mengurangi tingkat putus sekolah serta beban biaya generasinya. Selama kurun waktu 2005 - 2007, kata Mendiknas, program bantuan operasional sekolah (BOS) misalnya, telah membebaskan 70,3 persen murid SD/MI dan SMP/MTs dari pungutan biaya operasional. Sementara itu, lanjut Mendiknas, pada 2007 telah berhasil ditingkatkan kualifikasi akademik 81.800 guru hingga S1/D4 dan 8.540 dosen hingga S2/S3, serta sertifikasi bagi 147.217 guru di berbagai daerah.
Namun hal ini tidak cukup untuk membangun pendidikan Indonesia. Sistem yang dijalankan harus sesuai dengan kemampuan masing-masing sekolah serta relevan dengan skill yang dimilki anak didik. Artinya standar yang dipakai berdasar atas keadaan dan sarana dan prasarana yang ada serta yang telah tersedia dilingkungannya. Aneh jika standar kelulusan siswa baik tingkat lanjut maupun tingkat menengah harus semua diglobalkan (pukul rata) sementara sarana dan prasarana baik teknologi, informasi dan tenaga pengajar kurang mumpuni atau minim pengalaman serta kwalitas. Padahal kita selalu dituntut untuk mengkaji ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus melaju demikian cepat dan memperkuat arus globalisasi yang semakin deras memasuki berbagai sektor kahidupan. Derasnya arus globalisasi mendorong manusia memasuki arena pertarungan di atas gelombang pasang globalisasi, karena demikian itulah seorang dituntut memiliki berbagai bekal ilmu dan wawasan pengetahuan yang luas. Kompetensi intelektual dan ketrampilan skill yang dilandasi profesionalisme, kejelian melihat peluang dan keberanian mengambil sikap. Bisa dibayangkan tentunya jika standar kelulusan diberlakukan sementara penunujang pendidikan kurang bahkan tidak terpenuhi. Hal yang patut ditanggapi serius pemetintah sebagai instansi yang dianggap representatif dalam regulasi dan kebijakannya.

Disisi lain sejak adanya rekonstruksi sistem kurikulum pendidikan Indonesia dari ’94 ke KBK (kuriulum berbasis kompetensi) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara para murid belajar di kelas. Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkan dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Dalam kurikulum 2004 ini, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meski begitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya. Namun sejak tahun ajaran 2006/2007, diberlakukan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang merupakan penyempurnaan Kurikulum 2004 yang kemudian memunculkan standar kelulusan Ujian Nasional bagi pelajar lanjutan (SLTP) dan pelajajar menengah (SMA) membuat carut marut pendidikan dan cukup menjadikan momok bagi siswa-siswi yang merasa kekurangan media atau sarana memadahi dari pemerintah. Tak jarang terlaksananya Ujian Nasional menjadikan siswa-siswi mencari jalan singkat untuk menempuh kelulusan. Yang terjadi kongkalikong pihak sekolah dengan pihak lain demi lulusnya anak didik mereka. Untuk kasus kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional seperti dilaporkan, di antaranya oleh Kompas (Jumat, 25 April 2008, halaman 15), kecurangan terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Hal ini berbuntut pada ditangkapnya enam belas guru dan seorang kepala sekolah ditangkap. Mereka dipergoki mengubah jawaban 284 siswa peserta, tanpa diminta oleh siswa-siswi tersebut. Kejadian itu baru diketahui polisi setelah ujian naisional (UN) hari kedua tingkat SMA usai hari Rabu siang. Dari keterangan yang ada, para guru sepakat membetulkan jawaban soal UN siswa pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Mereka menilai mata pelajaran tersebut sulit sehingga perlu membantu siswa. Dari keterangan para guru, ide untuk membantu siswa itu berasal dari kepala sekolah. Karena jika anak didik mereka tidak lulus maka pihak sekolah harus bersiap malu dengan keadaan yang terjadi di anak didiknya, nama baik sekolah dipertaruhkan disana. Namun disisi lain dengan adanya standar kelulusan itu peluang besar bagi sekolah berstandar nasional untuk berlomba-lomba meraih prestasi merupakan hal posistif yang patut disadari pula, pantas dan maklum kiranya jika hal itu terjadi, karena mereka dilengkapi dengan sarana dan prasarana memadahi. Hal yang sangat jelas tentunya bagi rekonstruksi pendidikan di Indonesia dengan lebih mempertimbangkan berbagai aspek yang ada, karena acap kali UN di gelar ada sebuah upaya yang akn ditempuh guna meluluskan targetan sekolah atau anak didik dan kiranya menjadi sebuah PR (pekerjaan rumah) besar bagi pemerintah. Karena di setiap tahunnya pasti ada kasus-kasus yang muncul pasca terselenggaranya UN dengan standar kelulusannya. Data menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menerima sekitar 26 laporan dugaan kecurangan pelaksanaan ujian nasional (UN) untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang berasal dari berbagai provinsi di Tanah Air. Laporan dugaan kecurangan UN SLTA 2007 diperoleh antara lain dari Bandung (Jabar), Jakarta, Padang (Sumbar), Jember dan Ngawi-Jatim. Kasus-kasus tersebut kini tengah diselidiki secara intensif oleh Tim Itjen Depdiknas. Tak pelak jika hal-hal demikian selalu menjadi momok bagi siswa atau pun pengajar juga pemerintah tentunya sebagai pengambil kebijakan.

Belum selesai sistem kurikulum yang diagendakan pemerintah, muncul kurikulum baru alih-alih sebagai bentuk upaya rekonstruksi pendidikan modern. KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) merupakan model baru rekonstruksi pendidikan Indonesia. Melihat dari seringnya pemerintah melakukan perubahan sistem pendidikan tak jarang membuat komentar praktisi-praktisi pendidikan. Bahwa anak didik terkesan sebagai percobaan pemerintah dalam kebijakannya. Hal ini yang nantinya akan dikhawatirkan sebagai ajang munculnya statement miring dari masyarakat dan juga tak jarang membingungkan pengajar dalam memanage cara mengajar anak didiknya. Karena agenda yang dulu belum selesai (KBK) muncul agenda sistem baru yang juga tak kalah rumit dan membingungkan.

Namun dalam wujud kurikulum itu sendiri tak lepas dari berbagai macam elemen-elemn yang terkumpul di dalamnya. Dalam kurikulum ada berbagai macam komponen yang terkandung didalamnya, tidak semena-mena tentunya kurikulum itu dibuat sebagai acuan dalam pendidikan. Tidak cukup sebagai kumpulan matakuliah saja tentunya kurikulum itu. Kurikulum meliputi aspek isi, metode, orientasi, komposisi dan sistem evaluasi. Aspek-aspek dari masing-masing komponen inilah yang harus menjadi titik pokok pemerintah dalam memikirkan pembangunan atau untuk merekonstruksi pendidikan Indonesia agar lebih tepat sasaran dan lebih berkembang serta maju.

C. Tawaran Solusi
Tak pantas dan merupakan etika keilmuan bahwa tak cukup hanya dengan kritik saja, tapi harus ada upaya perubahan paling tidak sebuah tawaran gagasan atau ide yang dihasilkan. Sebagai sebuah bahan referensi untuk mewujudkan pendidikan negeri yang diinginkan. Masyarakat Indonesia yang besar dan tersebar di berbagai pulau yang demikian luas, tidak bisa masalah pendidikan diatasi dengan cara-cara konvensional seperti sekarang ini. Untuk itu perlu ada keberanian melaksanakan perubahan dengan cara sebagai berikut.
Pertama, melaksanakan perubahan pendidikan dengan cara pendidikan massal dalam hal kecanggihan teknologi informasi (TI) atau information communication technology (ICT) dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia. Pemerintah perlu meningkatkan peran pendidikan jarak jauh dengan menggunakan TI dan ICT ini.
Kedua, kearifan lokal masing-masing daerah atau otonomi daerah harusnya menjadi prioritas dalam meningktakan mutu pendidikan didaerahnya yang kemudian tumbuh berkembang sesuai atuaran yang telah ada. Karena hanya merekalah yang mampu menyelesaikan problemnya sendiri.

Dalam soal ini, pemerintah perlu belajar ke India atau China. Walaupun negara besar tersebut masih setingkat kita, soal penyelesaian pendidikan melalui TI atau ICT, mereka jauh lebih maju. Dengan cara ini pemerataan menikmati pendidikan bagi semua warga negara akan meningkat dan masalah pendidikan dalam maupun luar sekolah bisa diatasi. Dengan cara ini jumlah orang yang melek huruf (bisa membaca) bisa meningkat dan cara ini akan bisa memperkecil angka HDI (human development indeks) karena jumlah angka mereka yang buta huruf merupakan komponen dari perhitungan HDI.
Ketiga, penuhi segala kebutuhan pendidikan baik sarana dan prasarana yang ada sesuai standar yang dikeluarkan pemerintah. Artinya tidak ada timpang tindih antara kebijakan dan fasilitas (tenaga penagajar, ruang kondusif dan nyaman) dimasing-masing sekolah. Supaya proses KBM (kegiatan belajar mengajar) dapat terealiasasi dengan baik dan tepat. Jika hal ini tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah maka tak layak pemerintah menuntut kebijakannya dipenuhi oleh masyarakat.
Keempat, ciptakan kurikulum yang memuat, memotivasi berbagai macam skill yang dimiliki oleh pelajar. Memang KTSP bentuk dari agenda mengembangkan kreatifitas dan skill anak didik, namun bagaimana KTSP itu mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi anak didik itu sendiri.

Selanjutnya, semangat kerja keras perlu ditumbuhkan berdasarkan filosofi budaya luhur Ki Hajar Dewantara yang kita punyai: sing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani. Untuk mewujudkan pendidikan yang tepat sasaran dan tentunya mampu memberiakn inspirasi anak didik untuk belajar giat, berdedikasi tinggi untuk negeri, dan mampu memecahkan problem yang dihadapi bangsa dan negaranya. Sebagai tanggungjawabnya terhadap tanah air dan sekaligus sebagai generasi masadepan bangsanya.




Daftar Pustaka


- Vedi R. Hafidz dan Daniel Dakidhae, Ilmu Sosial dan kekuasaan di Indonesia, Equinox, Jakarta; 2006
- Buku Panduan Pembinaan dan Pengembangan Kegiatan Kemahasiswaan, UIN Suka tahun 2006
- http://www.depdiknas.go.id
- http://indonesiasaram.wordpress.com
- KOMPAS Jumat, 25 April 2008, hal.15
- http://www.eramuslim.com
- http://id.wikipedia.org

Tidak ada komentar: