Rabu, 10 Juni 2009

Islam dan Budaya Lokal; Menyingkap Tradisi Upacara Tingkepan di Tuban Jawa Timur

PENDAHULUAN

Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu tradisi tidak menjadikan jenuh untuk dikaji dan diteliti oleh berbagai pihak. Namun adanya tradisi tentu tidak lepas dari ajaran-ajaran atau faham-faham kebudayaan dan keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Proses dan pergulatan di dalamnya pastilah ada. Tradisi tidak selamanya stagnan dan flugtuatif. Tradisi bisa saja terus berkembang dan sangat mungkin mengalami pergeseran makna dan bentuk ritual kebiasaannya, besar dan kecilnya bentuk pergeseran itu, karena tradisi diwarisi oleh generasi yang terus berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain bahwa, tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu. Dan tentunya tak salah kemudian proses kesinambungan itu terwujud dalam sebuah Akulturasi, asimilasi bahkan sampai pada Islamisasi kebudayaan yang ada dalam masyarakat tertentu.
Artinya, munculnya istilah Islamisasi merupakan sebuah bukti adanya pergolakan diranah interaksi dan proses sosialisasi kebudayaan ataupun penyampaian dalam kontek kepercayaan serta keyakinan tertentu pada masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat berpikir, bersinggungan langsung dan kemudian menerima kebudayaan serta kepercayaan itu dengan sadar dan apa adanya. Karna memang Islam hadir merupakan sebuah upaya untuk melakukan penyebaran diseluruh jagad raya ini. Tak jarang masyarakat menolak dan tidak menghiraukannnya. Namun karena Islam dengan konteks ajaran keagamaan yang membumi dan berbaur dengan keadaan kebudayaan sekitar maka ia dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Dan sampai sekarang pun ia senantiasa berbaur, berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga ia tetap eksis dilingkungan sekitarnya.
Sebagaimana Tuban dan Lamongan sebagai sebuah peradaban pesisir Jawa yang dihinggapi Islam dalam proses penyebarannya. Tak heran kemudian beberapa kebudayaan yang kemudian tercampur bahkan bergeser yang semula ke Hindu-Hinduan sekarang bergeser lebih kepada Islam seagai sebuah ajaran yang membumi dan kontekstual pada kebudayaan sekitar. Seperti manganan, sesajen, meminang dan ritual-ritual lain seperti sedekah laut dan upacara kehamilan seperti tingkepan di Tuban dan yang akan kita bahas pada halaman selanjutnya adalah tingkepan dalam tradisi masyarakat Tuban.

PEMBAHASAN

A. Tuban Selayang Pandang
Tersebutlah kisah, tatkala itu Raden Arya Dandang Wacana sedang membuka tanah yang masih berupa hutan bambu yang bernama Papringan, tanpa diduga – duga sebelumnya muncullah sebuah keajaiban dengan keluarnya air yang dalam istilah jawa disebut (meTu) dan (Banyune), dan jika dirangkaikan menjadi Tuban. Peristiwa itu oleh Raden Arya Dandang Wacana dijadikan sebagai tonggak sejarah dalam memberi nama tanah tersebut dengan nama Tuban, dan selanjutnya kita kenal dengan nama Kabupaten Tuban. Sementara itu sejarah pemerintahan Kabupaten Tuban diawali pada jaman Majapahit, tepatnya ketika peristiwa agung pelantikan Ronggolawe untuk menjadi adipati Tuban Pertama oleh Raja Majapahit Raden Wijaya. Peristiwa pelantikan itu dilaksanakan pada tanggal 12 Nopember 1293, yang pada akhirnya oleh Pemerintah Kabupaten Tuban tanggal 12 Nopember dijadikan sebagai Hari Jadi Kota Tuban.
Kabupaten Tuban adalah salah satu kabupaten yang berada pada ujung barat wilayah Propinsi Jawa Timur. Berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Blora (Prop. Jateng) di sebelah Barat, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lamongan dan sebelah Utara adalah Laut Jawa. Secara administrasi Kabupaten Tuban terbagi dalam 20 kecamatan yang terdiri dari 328 desa/kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Tuban 183.994.561 Ha, dan wilayah laut seluas 22.068 km2. Letak astronomi Kabupaten Tuban pada koordinat 111o 30' - 112o 35 BT dan 6o 40' - 7o 18' LS. Panjang wilayah pantai 65 km. Ketinggian daratan di Kabupaten Tuban bekisar antara 0 - 500 mdpl. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tuban beriklim kering dengan kondisi bervariasi dari agak kering sampai sangat kering yang berada di 19 kecamatan, sedangkan yang beriklim agak basah berada pada 1 kecamatan.
Struktur geologi Kabupaten Tuban berada pada cekungan Jawa Timur Utara dengan bentangan dari Semarang sampai Surabaya. Sebagian besar Kabupaten Tuban termasuk dalam Zona Rembang dengan struktur batuan endapan yang umumnya berupa batuan karbonat, sehingga domnasi perbukitan yang ada adalah perbukitan Kapur. Ditinjau dari segi litologi batuan sedimen yang ada di Kabupaten Tuban kaya akan bahan tambang galian Golongan C (pasir silica, dolomit, phospat, clay, ball clay dan trass)dan ada juga yang berupa golongan A.
Dalam kontek pariwisata Tuban mempunyai banyak tempat pariwisata seperti Goa Akbar, Pantai Boom, Masjid Agung, Makam Sunan Bonang, Goa Putri Asih dan banyak lagi yang lain. Beberapa kebudayaan pun banyak yang unik dan langka di Tuban salah satunya adalah tradisi perempuan meminang laki-laki. Tradisi ini sangat menarik dan unik.

B. Tuban; Upacara Tingkepan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama. Kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana.
Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf. Pembacaan Al-Quran (Surat Maryam dan Yusuf) mangandung makna permintaan. Surat Maryam mengandung makna, jika nanti bayi yang dilahirkan perempuan, maka bayi yang dilahirkan akan memilki kesucian seperti kesucian Maryam. Sedangkan Surat Yusuf dimaksudkan agar jika bayi yang dilahirkan laki-laki, maka ia diharapkan akan menjadi seperti Nabi Yusuf A.S. selain itu juga ada semacam bacaan lain yang harus dibaca pada ritual tingkepan ini seperti Barzanji atau Berjanjenan dengan harapan bahwa bayi yang akan dilahirkan kelak memilki sifat-sifat luhur sebagaimana isi kandungan kitab Barzanji, yaitu pujian terhadap akhlakul karimah Nabi Muhammad SAW. Prosesi upacara ini ada yang sangat sederhana dan ada pula yang sangat kompleks. Upacara tingkepan sederhana, kebanyakan biasanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, baik yang berlatar belakang petani maupun nelayan.
Jika hamil pertama, upacara itu antara lain dengan melakukan rujakan, yang terdiri dari serabut kelapa muda (cengkir) dicampur dengan gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam takir yang terbuat dari daun pisang yang dililiti janur muda, biasanya dua takir. Dua takir lainnya berisi nasi uduk yang atasnya diberi bahan-bahan memasak seperti: terasi, terong dua iris, lombok plumpung merah dua biji, tauge secukupnya, mentimun dua iris, brambang dan bawang secukupnya, dua biji ikan asin (gereh), daging masak beberapa iris dan dua buah udel-udelan. Kemudian ditambah tujuh telur, bucu pitu, dalam posisi yang ditengah besar dan dikelilingi oleh enam buah bucu lainnya kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem (ubi gembili, sawek tales, ganyong, telo dan sebagainya). Selain itu juga terdapat dua wadah terbuat dari bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh rupa, yaitu kembang melati, gading, kenanga, empon-empon, mawar dan matahari. Bunga-bunga ini disebut sebagai kembang setaman. Ditambah lagi dengan bubur putih merah dan dua kelapa muda (cengkir).

C. Prosesi Tingkeban, Kalangan Masyarakat Menengah ke Bawah
Kesederhanaan upacara ini dapat dilihat dari prosesinya yang sederhana. Pertama, Pak Modin (di Jogja istilahnya Kaum) maksud dan tujuan upacara sesuai dengan pesanan yang punya hajat, atau shahibul hajat. Dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah dan al-ikhlas sebanyak tiga kali, surat al-alaq dan surat an-Nas masing-masing sekali. Selanjutnya seluruh peserta upacara membaca Surat Maryam dan Surat Yusuf masing-masing sekali. Seluruh kegiatan bacaan ini menghabiskan waktu sekitar 30-45 menit. Keudian acar dilanjutkan dengan barzanji. Pak Modin dengan suara yang khas dengan lagu atau nada-nada membaca shalawatan, yang dilanjutkan dengan bacaan syair-syair barzanji, yang berisi silsilah nabi dan sejarah nabi, dan ditutup dengan bacaan sifat-siafat nabi. Acara ini ditutup dengan doayang dipimipin oleh Pak atau Mbah Modin.
Seluruh bahan mulai dari tumpeng, takir, cengkir (kelapa muda) dan lain-lain ditempatkan ditengah-tengah dan dibagikan kepada peserta secara merata selanjutnya dimasukan ke dalam tas kresek (plastik besar) yang berisi berkat . Sebagai pertanda akan pulang, maka mabah Modin mengucapkan bacaan Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad . Sembari bersalaman dengan tuan rumah, mereka mengatakan; kabul kajate (semoga hajat.keinginannya tercapai).

D. Prosesi Tingkeban, Kalangan Elite Masyarakat
Bagi orang kaya, upacara tingkepan juga menjadi persoalan yang kompleks. Kerumitan upacara ini menandakan yang melakukan adalah kaum elite, berstatus sosial tinggi. Upacara dimulaia pada pukul 4 sore, tentu saja setealah semua peralatan upacara selesai. Upacara dimulai dengan memohon doa restu atau sungkeman. Bapak dan ibu dari kedua belah pihak duduk di kursi ruang tamu dan kedua pelaku upacara berada dalam posisi membungkuk mengahadap pasangan orang tua.tanpa sepatah kata pun dari pelaku upacara atau pelaku cukup mendekatkan muka ke lutut orang tua, dan orang tua mengeluspundak anak dan menantunya, maka acara sungkeman pun selesai. Pelaku upacara menggunakan jarik panjang dan baju khas Jawa untuk acara sungkeman. Acara pun dilanjutkan dengan ganti pakaian baru, yang terdiri dari kain kebaya yang dililitkan sebatas dada bagian atas. Kemudian dimandikan dengan kembang tujuh rupa . Mulanya yang memandikan kedua orang tua, selanjutnya mertua dan terakhir suami. Ganti kain panjang pun dilakukan sebanyak tujuh kali dan dimandikan sebanyak tujuh kali pula. Acara dilanjutkan dengan memasukan kelapa muda (cengkir) kedalam pakaian oleh suaminya.cengkir itu pun dijatuhkan (dibanting). Jika cengkir pecah menandakan bayi yang akan dilahirkan nanti adalah perempuan dan jika cengkir tadi tidak pecaha maka bayi yang dilahirkan itu laki-laki. Tidak cukup sampai disitu, setelah ganti pakaian kering, acara dilanjutkan dengan dodolan dawet duwet kereweng . Kemudian malam harinya baru dilakukan upacara tingkepan dengan membaca Surat Maryam dan Yusuf dan dilanjutkan dengan dzibaan. Acara pun ditutup dengan doa. Dikalangan orang kaya, yang tidak menggunakan prosesi upcara rumit seperti itu biasanya cukup mengadakan pengajian besar-besaran yang disebut sebgai pengajian walimatul hamli atau perayaan kehamilan.

E. Analisis
Mulai dari pertama, bermacam-macam bahan yang dipersiapkan untuk melakukan ritual upacara tingkepan ini sangat bermacama-macam jenis. Mulai dari janur, polo pendem, cengkir, kembang tujuh rupa, dawet dan lain sebagainya, menjadikan penasaran dan alasan untuk mengetahui secara detail apa sebenarnya yang diinginkan dan diharpkan akan semua itu. Menurut analisis yang penulis ketahui dan beberapa sumber referensi bahwa;
Pada catatan di atas bahwa tingkepan didominasi oleh jumlah angka dua dan tujuh. Angka dua melambangkan dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan, yang salah satunya akan dilahirkan. Sedangkan angka tujuh melambangkan usia kandungan si jabang bayi. Tidak hanya itu punar dan polopendem melambangkan hasil bumi, selain itu bucu melambangkan cita-cita yang tinggi dan luhur yang digantungkan setinggi langit. Kembang setaman atau kembang tujuh rupa melambangkan suka cita atau juga masa kehamilan, sedangkan bagi orang kaya seperti mandi tujuh kali, ganti baju tujuh kali merupakan lambang masa kehamilan yakni ketujuh bulan. Dawet melambangkan rezeki yang melimpah dan dan uang pecahan genting melambangkan jenis koin emas yang berwarna menyala. Selanjutnya bubur putih merah melambangkan sperma laki-laki dan darah perempuan yang telah menyatu. Sedangkan kelapa muda melambangkan CengKir (kencenge pikir) atau keteguhan cita.
Seluruh rangkaian upacara di atas diharapkan sekaligus terkait dengan masa krusial yang dihadapi oleh bayi, yaitu saat menerima catatan amal dan garis nasibnya, apakah bahagia atau sengsara. Jadi melalui upacara tingkepan tersebut diharapkan bahwa bayi yang dilahirkan akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat bukan kesengsaraan.







DAFTAR PUSTAKA

 Syam, Nur, Dr. 2005, Islam Pesisir, LkiS, Yogyakarta,
 www.tuban.org
 Geertz, Cliford, 1981, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa;

Tidak ada komentar: